15 April 2007

Marxisme (3)

Guru-Guru Karl Marx

“Ilmu harus diburu untuk ilmu itu sendiri. Ilmu tidalk boleh menjadi kesenangan untuk diri sendiri. Orang-orang yang memiliki nasib baik untuk terjun dalam pencarian ilmu, pertama-tama harus menempatkan pengetahuannya demi kepentingan kemanusiaan. BEKERJA DEMI KEMANUSIAAN !”

(Karl Marx)


Satu hal yang sangat mengesankan dari Karl marx, setiap kali dia menulis dan menuangkan pemikiran ke dalam berbagai karyanya (khususnya Das Capital), dia selalu menyertakan nama orang yang pendapatnya telah ia kutip, di dalam kurung setelah kutipan. Sekecil dan sesederhana apapun pendapat itu. Akibatnya, tulisan Marx kurang enak dibaca dan membingungkan bagi sebagian pihak, saking banyaknya kutipan yang ia tuliskan. Para kritikus Marx menyebut marx sebagai penulis yang narsis. Namun demikian, hal ini telah menunjukkan setidaknya dua hal pada kita, yakni betapa banyak dan luas buku-buku ilmu pengetahuan yang dibaca oleh Karl Marx. Dan kedua, betapa tinggi penghargaan Marx terhadap orang yang pertama kali mengatakan tentang ‘ini’ atau tentang ‘itu’, sehingga harus diabadikan dalam setiap tulisannya.
Dengan demikian, sesungguhnya sangat sulit untuk menemukan siapa saja yang termasuk sebagai guru Marx ?. mungkin karena terlalu banyaknya disiplin ilmu yang ia pelajari (dari filsafat, ekonomi, hukum, sastra, psikologi, sosiologi, dan sebagainya). Namun demikian, ada beberapa pemikir pendahulunya yang benar-benar mempengaruhi marx secara filosofis maupun teoritis. Sebelum dilanjutkan, perlu dipahami, bahwa konsep ‘guru’ di sini bukan berarti orang yang secara langsung bertatap muka dan mengajari marx tentang sesuatu hal, melainkan ‘guru’ disini adalah para tokoh yang pemikirannya dianut, dikritisi, dan bahkan ditentang oleh Marx, yang kemudian mempengaruhi hasil ‘ijtihad’ Marx sebagai pemikir dan teoritisi sosial. Ini adalah sedikit dari guru marx yang banyak itu.

G. W.F. Hegel (1770-1831)
Georg Wilhelm Friederich Hegel lahir sebagai anak pertama dari tiga bersaudara yang berasal dari keluarga menengah yang tinggal di Stuttgard, Jerman bagian selatan. Ayahnya hanya seorang pegawai rendahan, namun ibunya mengenyak pendidikan yang cukup tinggi untuk ukuran wanita saat itu. Pendidikannya dimulai dari gymnasium Stuttgard, kemudian ke seminari terkenal di universitas tubingen (1788). Ia pernah menjadi pengajar yang tidak pernah digaji di Universitas Jena. Namun, dalam kehidupannya kemudian, ia menjadi seorang filsuf Jerman yang dikenal dengan sebutan ‘bapak idealisme modern’. Salah satu bunyi gagasan utamanya adalah, bahwa “yang nyata adalah rasional, dan karena itu yang rasional adalah satu-satunya yang nyata” [1]. Untuk mengukuhkan tesis ini, Hegel Muda menuangkannya ke dalam The Phenomenology of Spirit (1807), yang berisi konstruksi Hegel terhadap proses-proses kesejarahan manusia, untuk kemudian berusaha meninggalkan kungkungan dogma dan tradisi sejarah yang beku yang selama ini ditafsirkan oleh kristen tradisional, menuju pada sebuah sistem yang rasional.
Bagi Hegel, mengetahui adalah dimana subjek yang mengetahui dan subjek yang diketahui saling mengembangkan, sehingga tidak pernah sama atau selesai. Apa yang hari ini disepakati sebagai pengetahuan, hari esok akan dilengkapi dan disempurnakan, dan penyempurnaan pengetahuan ini melalui proses negasi (penyangkalan). Ciri penyangkalan dialektis itulah, yang kemudian dikenal dengan dialektika (triadik, atau dalam bahasa jerman disebut aufheben). Intinya, pengetahuan adalah sebuah on going process. Hegel menyimpulkan, bahwa pengetahuan manusia itu berkembang dan bertambah secara dialektis, hal ini ditulisnya dalam Phenomenology of Mind. Dialektika pengetahuan tersebut berjalan terus menerus, hingga sampai pada suatu titik akhir (kesadaran dialektika total), yang disebut sebagai pengetahuan absolut. Sampai pada titik inilah, kemudian Marx, seorang pengagum Hegel, mulai berpikir kritis. Ketika filsafat (di tangan Hegel) sudah mencapai pengetahuan absolut, lalu bagaimana selanjutnya ?. pertanyaan inilah yang kemudian menuntun Marx berdialektika untuk menyempurnakannya. Rumusan sementaranya, Filsafat pasca Hegel, harus menjadi Praktis (praxis) !.
L. Feurbach ( 1804-1872)
Ludwig Feuerbach terkenal dengan manuscript utamanya, Das Wesen das Christentums (Hakekat agama Kristiani). Dari karyanya inilah lahir kritik agama dari Feuerbach. Semula, Feuerbach ingin menjadi pendeta protestan, namun setelah dia mengikuti kuliah-kuliah Hegel, dia justru berbalik menjadi seorang atheis yang radikal. Dia menyangkal filsafat Hegel yang menyatakan, bahwasanya dalam kesadaran manusia, Tuhan mengungkapkan dirinya. Kita merasa berkehendak dan bertindak menurut selera kita, tetapi sebenarnya di belakang kehendak dan tindakan kita tersebut ada “Roh semesta” di belakangnya yang menggapai tujuannya. Feuerbach menyerang gagasan Hegel ini. Menurut Feuerbach, seolah-olah Hegel mengatakan bahwa yang nyata adalah Tuhan (yang tidak kelihatan) dan manusia hanyalah seperti wayang yang begitu saja digerakkan. Jelas ini melanggar logika rasionalitas. Bahwa yang sesungguhnya nyata adalah manusia, bukan Tuhan. Tuhan yang ada dalam pikiran manusia, bukan manusia yang ada dalam pikiran Tuhan. Lebih jelas, Tuhan ciptaan manusia, bukan manusia ciptaan Tuhan !
Sebaiknya anda jangan tercengang terlebih dahulu, Agama dimata Feurbach, juga memiliki sisi positif. Yakni agama mampu menjadi alat proyeksi diri dan hakekat manusia. Dengan agama, manusia mampu melihat siapa dirinya, bahwa ia makhluk yang kreatof, penyayang, baik, berbelas kasih, dan sebagainya. Tetapi celakanya, ia justru lupa bahwa proyeksi itu adalah gambaran dirinya sendiri. Seperti pelukis yang melukis angan-angannya ke dalam kanvas, setelah jadi, ia terlalu mengagumi karyanya, dan lupa bahwa itu adalah hasil karyanya sendiri...bahkan ia sampai menyembah dan mengharapkan berkah dari ciptaannya itu sendiri. Begitulah kira-kira interpretasi dari kritik agama Feuerbach. Kesimpulannya, manusia hanya dapat mengakhiri keterasingan itu dengan meniadakan agama dan menjadi dirinya sendiri. Bukan Tuhan yang maha kuat dan adil, melainkan manusia yang seharusnya bisa menjadi kuat dan adil. Kritik terhadap agama akan reda ketika muncul ide bahwa manusia adalah makhluk paling tinggi.
Filsafat materialisme semacam inilah, yang kemudian memberi semangat dan membakar Marx untuk menemukan cara pandang lain terhadap filsafat hegel, dan tentang persoalan dunia pada umumnya. Dengan mengambil dialektika Hegel dan Materialisme Feuerbach itulah, seluruh teori marx tentang kerja dan produksi manusia menemukan landasannya.
[1] T. Z. lavine. 2003. Hegel :revolusi dalam Pemikiran. T. Z. lavine. Yogyakarta : Jendela, hal v

No comments:

Post a Comment