15 April 2007

Marxisme (5)

Hubungan Produksi (relation of production)

Basis atau dasar nyata, dalam terminologi Marxisme, adalah bidang produksi kehidupan material. Basis sendiri ditentukan oleh dua faktor, yaitu tenaga-tenaga produktif (produktivkrafte) dan hubungan-hubungan produksi (produktionsverhalt-nisse). Tenaga produktif adalah kekuatan yang digunakan oleh manusia untuk mengerjakan dan mengubah alam. Tiga unsur dalam tenaga produktif adalah : alat-alat kerja, manusia dengan kecakapan masing-masing dan pengalaman-pengalaman dalam produksi. Sedangkan hubungan produksi adalah hubungan kerjasama atau pembagian kerja antara manusia yang terlibat dalam proses produksi. Maksudnya adalah struktur pengorganisasian sosial produksi (Franz-Magnis Suseno, 2001:143).
Menurut Marx, hubungan-hubungan produksi itu sendiri juga ditentukan oleh perkembangan tenaga-tenaga produksi. Hubungan-hubungan tersebut juga tidak tergantung kepada kemauan orang, melainkan akibat dari tuntutan objektif produksi. Misalnya, alat-alat kerja sesungguhnya dikembangkan bukan karena menuruti selera manusia, melainkan karena tuntutan untuk terus berproduksi secara lebih efisien. Kaitannya dengan struktur sosial masyarakat, bagi Marx, kelas sosial bukanlah sesuatu yang kebetulan, melainkan ditentukan oleh tuntutan efisiensi produksi dan otomatis juga oleh perkembangan tenaga-tenaga produktif material itu sendiri.

Keterasingan/alienasi
Setelah memahami hakekat pekerjaan di atas, maka kita paham bahwasanya pekerjaan merupakan sarana realisasi diri sebagai seorang manusia. Sehingga, dalam kebebasan dan universalisme kerja, bekerja seharusnya menjadi kegiatan yang gembira, menyenangkan dan, memberikan kepuasan. Namun apa yang terjadi dalam kenyataan ? pekerjaan tidak membuat manusia merealisasikan hakekat mereka, melainkan justru membuat mereka terasing/teralienasi. Pekerjaan dalam era industri modern, dengan mekanisasi dan teknologi canggih yang dipakainya, telah membawa manusia pada keterasingan akan dirinya sendiri, dengan produk buatannya, dan tentu saja dengan lingkungan dan dunia sosialnya.
Sebagai contoh buruh yang bekerja di pabrik, mereka bekerja sesuai dengan jadwal yang sudah diatur oleh majikan, kemudian mereka bekerja untuk membuat sesuatu barang yang sama dalam jumlah yang besar. Hal yang dilakukannya bersifat monoton dan berulang-ulang setiap harinya. Dengan demikian, buruh merupakan contoh orang yang bekerja dengan terpaksa. Hasil kerjanya tidak bisa lagi menjadi representasi dari si buruh. Si buruh tidak akan pernah merasa bangga dengan karya ciptaannya. Karena ia hanya membuat sebagian kecil dari produk sebenarnya. Misalnya, pabrik pembuat sepatu, mungkin seorang buruh hanya bekerja membuat sol sepatu saja sepanjang hari. Tanpa berhak membuat bagian lain, seperti lubang tali, cap merk, dan sebagainya. Dengan demikian, sang buruh terasing dengan produknya. Bahkan ia tidak pernah merasa, bahwa sepatu yang sudah jadi dan dijual dari pabrik itu adalah hasil karyanya. Tidak ada kepuasan. Sebab dia hanya menjadi bagian kecil dari sistem produksi raksasa itu. Dengan demikian, bekerja menjadi kehilangan arti di mata para buruh (terasing dengan pekerjaannya).
Dalam spesialisasi pekerjaan tersebut, dimana setiap orang mengerjakan satu hal saja, membuat seseorang tidak mampu lagi untuk bertindak bebas dan universal. Pemahaman yang kemudian terbentuk adalah, bahwa ia bekerja untuk sekedar mendapatkan upah darii pekerjaannya. Dalam pekerjaannya, manusia tidak mengembangkan diri, tetapi justru memiskinkan diri. Inilah bentuk keterasingan manusia terhadap pekerjaannya.
Konsekuensi langsung dari berbagai keterasingan manusia dari hakekatnya di atas adalah keterasingan manusia dari manusia lainnya. Pekerjaan upahan menyebabkan keterasingan manusia terhadap sesamanya. Hal ini sebagai akibat, hilangnya fungsi sosial dari pekerjaan. Kelas pekerja (buruh) harus terasing dari kelas pemilik (majikan) akibat kepentingan objektif mereka yang berbeda satu sama lain. Pemiliki menginginkan profit sebesar-besarnya dengan meminimalisir upah buruh. Sedangkan buruh, juga berlomba mendapatkan upah dan fasilitas yang layak dari hasil kerjanya. Tidak hanya buruh terasing dari majikan, namun buruh juga terasing dengan buruh lainnya, dan majikan terasing dengan majikan lainnya. Hal ini disebabkan karena munculnya kompetisi atau persaingan. Antar buruh terasing karena saling bersaing dalam bekerja dan mendapatkan upah. Ditambah spesialisasi kerja dan konsentrasi hanya pada satu hal, menyebabkan interaksi sosial antar buruh juga terhambat.
Penanda dari keterasingan manusia dari hakekatnya yang paling jelas adalah kekuasaan ‘uang’. Dimana orang hidup dan bekerja untuk mecari uang. Uang mampu memenuhi kebutuhan manusia, meskipun uang hanya alat tukar yang tidak lebih mahal dari barang aslinya. Orang menjadi sangat egois dan melupakan hakekat bahwa eksistensinya sebagai manusia diakui dengan cara menyenangkan dan bermanfaat dari orang lain. Namun, bersamaan dengan keterasingan manusia terhadap manusia lain, maka fungsi sosial dari pekerjaan itu juga ikut terasing.
Teori Tentang Nilai lebih
Marx membicarakan teori tentang nilai lebih dengan terlebih dahulu membahas teori tentang pekerja. Logikanya, pekerja atau buruh adalah golongan yang menjual tenaga kerjanya. Tenaga kerja itu kemudian dibeli oleh pemilik modal, dengan cara menggantinya dengan upah. Upah itu diberikan dalam bentuk uang, yang berarti tenaga seorang pekerja diukur dan ditukar dengan standar nilai uang....dst

No comments:

Post a Comment