15 April 2007

Tentang Perempuan Bercadar (1)

ADA APA DENGAN CADAR ?
by : Yanu Endar Prasetyo
Pencarian identitas perempuan muslim yang ‘benar’, memang selalu menarik dan tak pernah lekang dimakan jaman. Sudah tak terhitung banyaknya, perdebatan tentang simbol-simbol tertentu yang dianggap pantas dan seharusnya mencirikan seorang muslimah yang baik. Identifikasi diri muslimah itu, sangat berpengaruh terhadap interaksi sosial di dalam masyarakat. Sebelum melangkah lebih jauh, pertanyaan pertama yang penting untuk dijawab adalah, bagaimana Islam memandang perempuan yang “baik” dan “benar” dalam berpenampilan di tengah masyarakat? Kemudian, seberapa besar aturan tersebut mempengaruhi perilaku para penganutnya (muslimah)?
Al Quran menjawab :Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Dan yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang . Menurut beberapa ahli, ayat di atas jelas ditujukan hanya kepada Nabi dan keluarganya, serta kepada keluarga kaum mukminin. Tetapi, perintah itu kemudian diperkuat dan diperluas lagi jangkauannya di dalam ayat yang lain : “Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Ayat di atas, jelas diperuntukkan kepada seluruh kaum perempuan yang beriman, di manapun mereka berada. Dari sini, pada mulanya Islam memandang semakin tinggi kedudukan sosial perempuan muslim (istri Nabi), maka semakin disiplin pula aturan dalam berpakaian. Semakin rapat ia menutup dirinya, semakin mulia kedudukannya di mata Islam. Baru kemudian, Al Quran juga memberikan rambu-rambu yang sama bagi setiap perempuan yang beriman. Meskipun aturan berpakaian itu nampak jelas, ada juga beberapa perkecualian dan keringanan bagi perempuan dengan kondisi tertentu. Misal, untuk perempuan yang sedang haid dan mengandung, atau perempuan yang sudah tidak memiliki hasrat untuk menikah dengan laki-laki . Beberapa alasan logis seorang perempuan muslim diwajibkan menjaga cara berpakaiannya, antara lain untuk menjauhkan wanita dari gangguan laki-laki jahil, menjadi indikator keluhuran budi (akhlaq) perempuan, mencegah timbulnya fitnah birahi lelaki, dan memelihara kesucian agama wanita yang bersangkutan .
Menurut Al Quran, wanita memang tidak boleh menampakkan diri di hadapan umum secara kurang sopan. Tetapi, Al Quran tidak lantas menjelaskan secara spesifik, dengan apa harus ditutup? apakah mereka wajib menggunakan tutup muka atau cadar? atau perlengkapan lain seperti yang sering dipakai oleh banyak perempuan muslim selama berabad-abad? Al Qur’an kemudian memerintahkan nabi Muhammad, agar ketika istri-istrinya berbicara dengan laki-laki lain (para sahabat), mereka harus berada di balik dinding pemisah. Sebagian berpendapat, perilaku semacam ini semata-mata dikarenakan alasan kesopanan . Pertanyaannya, apakah aturan ini berlaku universal bagi seluruh muslimah di dunia? Ahmad Galwash (1973), dalam The Religion of Islam, menceritakan ketika masyarakat madinah di bawah Nabi Muhammad terbentuk, perempuan berpartisipasi penuh bersama laki-laki dalam seluruh ritual ibadah. Tapi setelah itu, perempuan menjadi terisolir karena sebuah hadits yang sering dikutip. Hadits itu menerangkan bahwasanya tempat beribadah yang baik bagi perempuan adalah di rumah, dan yang paling baik lagi adalah di dalam kamar pribadinya sendiri.
Dari sini, lahir pola pengasingan terstruktur terhadap perempuan. Ia dibatasi dalam sebuah ruang yang hanya bersifat domestik. Peran-peran publiknya di kurangi secara terstruktur, yaitu melalui order (fatwa) dari lembaga-lembaga agama yang berkembang. Akibatnya, pengasingan mulai menjadi hal yang melekat dalam kehidupan perempuan muslim. Apalagi sejak munculnya kerajaan-kerajaan muslim. Pola pengasingan tersebut semakin tumbuh dan berkembang menjadi sebuah norma yang dianut banyak komunitas muslim di berbagai belahan dunia. Termasuk, praktik penggunaan cadar atau tudung muka bagi perempuan. Sebelum membahas lebih dalam tentang cadar (sebagai bagian dari pengasingan perempuan muslim) kita perlu memahami definisi dari beberapa istilah penting yang saling terkait. Khususnya istilah hijab, jilbab, dan cadar itu sendiri. Seperti dalil sebelumnya, Al Quran memerintahkan kepada istri-istri Nabi agar berada di balik dinding, jika ada sahabat laki-laki yang ingin menemuinya. Dari aturan ini, kita mulai mengenal istilah hijab.
Dalam bahasa Arab, Hijab berarti menutupi, mencegah, dan menghalangi . Hijab perempuan adalah penutup apa saja yang menutup seluruh jasad dan perhiasan seorang wanita, dari pandangan lelaki asing. Penutup itu dapat berupa kain maupun rumah (dinding). Hijab yang terbuat dari kain, dalam bahasa Arab ada yang disebut jilbab dan ada yang disebut khimar . Khimar itu sendiri memiliki kesamaan arti dengan mukena’, ghudfah, musaffa’, dan syilah. Sifat pemakaian khimar ini biasanya diletakkan di atas kepala, dan diulurkan hingga ke dada perempuan. Sementara itu, definisi jilbab lebih spesifik daripada hijab. Jilbab adalah kosa kata yang sering terdengar dan banyak dipakai dalam bahasa Indonesia. Istilah jilbab diambil dari AL Quran Surat Al Ahzab : 59 , yang berarti pakaian untuk menutupi kepala dan badan perempuan, di atas baju, serta berfungsi untuk menutup . Jilbab dikenal pula dengan sebutan mula’ah, milfahah, ridha’, ditsar, kisa’, dan iba’ah. Pakaian ini merupakan pakaian umum yang dikenakan oleh kaum perempuan di jazirah Arab. Sampai di Indonesia, jilbab berkembang sebagai sebuah mode pakaian yang modern dan dinamis. Jilbab pun kini memiliki segmentasi pasar tersendiri. Ia menjadi pelengkap gaya hidup bagi muslimah yang tinggal di perkotaan.
Sedangkan Cadar, atau dalam bahasa Arab disebut An-Niqab, adalah sesuatu yang berguna untuk menutupi seluruh wajah perempuan, kecuali kedua mata atau sesuatu yang tampak di sekitar mata. Dinamakan penutup wajah (An Niqab) karena masih ada lubang di sekitar daerah mata yang berguna untuk melihat jalan . An Niqab dikenal pula dengan sebutan Al Barqa’ atau Al qina, yang berarti kain yang menutupi seluruh wajah muslimah, kecuali kedua matanya. Fenomena perempuan bercadar inilah, yang beberapa dekade belakangan ini makin berkembang di berbagai tempat di Indonesia. Meski ini adalah fenomena lama, namun tidak banyak orang yang kemudian tertarik untuk membahas persoalan cadar dan perempuan muslim di Indonesia. Salah satu karya klasik tentang cadar dan perempuan di Indonesia, justru ditulis oleh Snouck Hurgronje , tokoh antagonis dalam catatan sejarah perjuangan Indonesia. Masa dimulainya praktik penggunaan cadar oleh perempuan muslim memiliki banyak versi. Konon, pemakaian cadar itu dimulai sejak kaum muslim mengadakan kontak dengan Bizantium, dan masih terus berlanjut hingga kini di berbagai negeri berpenduduk Islam .
Pada saat itu, pemakaian cadar dijalankan di beberapa tempat, seperti di Syiria, Irak, dan Persia, serta banyak diadopsi oleh perempuan Islam golongan atas yang tinggal di kota. Secara umum, cadar tidak terlalu dikenal di kalangan muslimah pedesaan . Karena, di desa mereka tidak berhadapan langsung dengan orang-orang yang asing. Selain itu, pemakaian cadar dianggap menghalangi mereka dari berbagai jenis pekerjaan tradisional. Di sisi lain, pakaian-pakaian tersebut, oleh bangsa Barat seringkali dianggap sebagai sebuah tekanan. Selain itu, dengan bercadar, telah memungkinkan perempuan untuk bisa mengamati orang lain, tanpa bisa diamati. Jadi, cadar otomatis memberikan para pemakainya sebuah tingkat anonimitas (tanpa identitas) yang tinggi dan dapat dimanfaatkan pada kesempatan tertentu. Menurut Snouck, pemakaian cadar bukanlah hal yang fenomenal. Jauh hari sebelumnya, kalangan Kristen juga memakainya. Sampai kini, kalau kita jalan-jalan ke Timur Tengah dan sempat berkunjung ke gereja-gereja kaum Koptik dan mungkin gereja Kristen Ortodok di Lebanon, kita akan menjumpai fenomena cara berpakaian yang sama dengan kalangan muslim. Lelakinya memakai baju jubah dan perempuannya memakai cadar .
Awalnya, Snouck melihat fenomena umat Islam dalam menyikapi hal ini. Ia menyatakan bahwa cadar adalah kewajiban yang ditetapkan oleh fiqih terhadap perempuan. Namun, banyak juga perempuan Islam yang tidak mematuhinya. Ia memberikan contoh tentang perilaku gadis-gadis pedesaan di Siria dan para petani di Mesir, pada abad 19 M, yang tidak memakai jilbab dalam keseharian mereka. Gadis-gadis di Kirgistan juga baru memakai jilbab ketika sudah menjalani pernikahan. Bahkan, ia mengajukan data sejarah yang cukup menarik, bahwa pada zaman Usman Pasha menjadi gubernur di Hijaz, tidak ada kain penghalang permanen bagi kelompok ( jamaah ) laki-laki dan perempuan .Snouck nampaknya percaya, bahwa jilbab lebih merupakan tradisi wilayah Timur, daripada tradisi Islam itu sendiri. Menurutnya, berpakaian dalam Islam adalah berpakaian sesuai kepantasan (ma'ruf). Padahal, kepantasan sendiri sangat tergantung dengan konteks waktu (zaman) dan tempat (makan). Lokalitas sangat berperan dalam menentukan, apakah sebuah pakaian itu pantas atau tidak?
Polemik penggunaan cadar ini terus berlangsung dari waktu ke waktu. Hingga pada pertengahan tahun 1920-an, pernah muncul gerakan massal meninggalkan cadar. Pelopornya adalah seorang feminis, Huda Sya’rawi. Ia melepas cadarnya di Mesir, setelah tiba dari sebuah pertemuan internasional tentang perempuan. Gerakan lepas cadarnya itu, lalu diikuti oleh perempuan muslim lainnya. Mereka pun kemudian berlomba mengadopsi pakaian gaya Barat sebagai alternatif baru. Sampai sekarang! Akan tetapi, gejala Islam kontemporer, ternyata cenderung mengarah pada fenomena yang justru berlawanan dengan semangat feminisme. Sebagai konsekuensi globalisasi, fundamentalisme berkembang dimana-mana .
Ditambah, hehidupan manusia modern terus terancam resiko yang semakin beragam. Akibatnya, banyak manusia berbondong-bondong kembali kepada pencarian spiritualitas sejati. Pergulatan mencari tuntunan spiritual baru itu menggejala kuat di berbagai belahan dunia. Tak terkecuali, bagi setiap perempuan muslim yang gelisah dalam mencari identitas dan jati dirinya. Fundamentalisme telah melahirkan fanatisme-sektarian yang makin memperlebar jurang perbedaan dan jarak sosial antar kelompok beragama. Bahkan, sektarianisme juga menggejala kuat di dalam masing-masing agama itu sendiri. Sektarianisme, senantiasa mengusung simbol untuk memperkuat identifikasi dan solidaritas mereka sebagai sebuah kelompok. include di dalamnya, bendera, gaya, penampilan, jargon-jargon, cara berpakaian, dan produk-produk tertentu yang dikonsumsi. Propaganda simbolik ini, selain sebagai pilihan rasional individu, merupakan manifestasi dari pandangan kaum muslim yang anti terhadap imperialisme Barat. Selain itu, ekspresi ini disadari juga sebagai wujud keprihatinan terhadap kemerosotan moralitas umat manusia. Dalam hal berpakaian, mereka berusaha mencari model pakaian tertentu. Harapannya, dengan pakaian itu mereka dapat diidentifikasikan dengan Islam. Pakaian “Islami” tersebut, secara umum dipilih sendiri oleh para muslimah, bukan berasal dari sesuatu yang dipaksakan oleh laki-laki .
Bagi sebagian perempuan muslim, identitas pakaian itu harus selaras dengan pandangan hidup yang mereka yakini. Sehingga, muncullah berbagai pakaian muslimah yang berlabel Islami atau syar’i (legal) tadi. Meneropong sejarah, di Iran, Revolusi Islam di bawah Imam Khomeini telah menekankan kembali pentingnya penggunaan cadar bagi perempuan. Padahal, cadar dulunya sempat dilarang oleh pemerintah Iran yang terpengaruh oleh Barat. Meskipun, sebenarnya masih perlu dicermati, apakah cadar yang dipilih oleh perempuan Iran masa itu, benar-benar didorong oleh kesadaran religius atau hanya sebuah produk simbolik yang dipaksakan oleh Revolusi? Berbeda dengan yang terjadi di Mesir dan Iran, Saudi Arabia justru menyajikan sebuah studi kasus yang menarik perihal pertentangan antara ide-ide Islam dengan realitas kontemporer. Kaum perempuan di Arab Saudi dikenal segan memasuki arena ketenagakerjaan. Penyebabnya adalah sikap-sikap keagamaan konservatif yang mengharuskan mereka bercadar dan tertutup. Bahkan, mereka tidak diijinkan untuk sekedar mengendarai mobil, atau naik sebuah taksi dengan orang asing. Akibatnya, mereka tidak dapat berpartisipasi pada ruang sosial dan profesional yang sejajar, dan bersama-sama dengan laki-laki. Maka, tidak heran jika Arab Saudi mengimpor banyak tenaga kerja asing dari luar negeri (termasuk Tenaga Kerja Indonesia) sebagai langkah menutup kekurangan tenaga kerja. Meskipun, mereka menyadari hal itu bukan sebuah alternatif jalan keluar yang benar-benar mereka inginkan.
Ketika perempuan muslim kontemporer makin bersikap konservatif, baik dalam hal moral maupun keagamaan, menunjukkan pergeseran pandangan, bahwa “kebebasan” yang ditawarkan Barat tidak lagi memberi jalan keluar. Kebebasan tersebut hanya menghasilkan banyaknya angka perceraian, istri yang ditinggalkan tanpa perlindungan suami, memburuknya hubungan laki-laki dan perempuan, serta kebebasan seksual yang melanggar etika dan susila. Tak heran, hijab perempuan yang lebih ketat menjadi sebuah tawaran solusi moral.Tak hanya berhenti di sini, kontroversi pemakaian cadar dan hijab bagi perempuan muslim masih terus berlanjut hingga Abad 21. Kali ini terjadi di Eropa. Warga muslim Belanda mengecam usul pemerintah untuk melarang wanita mengenakan burqa’ atau busana yang menutup wajah di tempat umum. Kelompok-kelompok muslim di Belanda mengatakan, larangan itu akan membuat satu juta warga muslim di negara tersebut merasa dijadikan korban dan disisihkan. Kabinet Belanda menyatakan, burqa’ menganggu ketertiban dan keselamatan umum. Tahun lalu, mayoritas anggota parlemen Belanda mengatakan bahwa mereka menyetuji pelarangan. Padahal, sekitar 6 persen dari sekitar 16 juta warga di Belanda adalah muslim .Sama halnya dengan yang dilakukan pemerintah Inggris. Namun, tidak seperti pemerintah Belanda dan Inggris yang berusaha membakukan larangan pemakaian cadar dan burqa’ di muka umum, masyarakat Inggris justru cenderung bisa menerima dan toleran. Berdasarkan survei yang dilakukan British Broadcasting Corp (BBC) , hanya sepertiga warga Inggris yang mendukung larangan tersebut. Sebaliknya, setengah lebih warga Inggris dapat menerima dan menoleransi muslimah yang menggunakan pakaian penutup, sepeti burqa dan jilbab, di tempat-tempat umum tertentu.
Disamping Belanda dan Inggris, untuk pertama kalinya Vatikan melontarkan pendapat atas perdebatan tentang pernggunaan cadar yang melanda Eropa . Vatikan menganggap, cadar dapat menghambat integrasi warga Muslim dan masyarakat Eropa. Kardinal senior Vatikan, Kardinal Renato Martino mengungkapkan kekhawatirannya melihat banyaknya imigran Muslim di Eropa yang mengenakan cadar. Uskup Agostino Marchetto, yang juga mengurusi masalah imigran di Vatikan mengatakan, perlu adanya dialog dengan warga Muslim agar mereka mengerti bahwa konsekuensi dari tradisi beberapa agama, tidak selalu positif di masyarakat tempat sekarang mereka berada. Pemerintah Italia pun berusaha untuk membuat apa yang disebut sebagai Charter of Common Values, untuk membantu para pemuka Islam lokal berintegrasi dengan masyarakat Italia yang jumlahnya bertambah dengan cepat. Tetapi, nampaknya upaya itu bukanlah hal yang mudah.
Di saat berbagai tekanan, baik atas nama negara (pemerintah) maupun hegemoni modernitas yang semakin gencar, fenomena muslimah bercadar tidak serta merta redup. Tapi justru kian berkembang. Tidak hanya trend di Eropa, tetapi juga di Amerika dan negara-negara dunia ketiga, seperti di Asia dan Afrika. Begitu pula, ketika isu demokrasi dan pengarusutamaan gender semakin membumi, mereka justru berpandangan sebaliknya. Bagi sebagian kecil perempuan muslim kontemporer, sistem sosial Islam dengan kekuasaan laki-laki atas perempuan dalam keluarga misalnya, justru dianggap memiliki jaminan lebih. Mereka pun merasa puas untuk melimpahkan kekuasaan dan haknya kepada suaminya, ayahnya, atau laki-laki, sebagai bentuk solidaritas dan wujud cita-cita membentuk tipe keluarga yang ideal. Demikian pula dalam soal berpakaian. Mereka berkeyakinan, bahwa hanya Islam (seperti yang dimaksudkan di dalam Al Quran dan Al Hadits) sebagai jalan terbaik yang dipilihkan Tuhan untuk manusia. Cadar, bagi para pemakainya, tentu bukan sekedar sebuah simbol atau identitas yang hampa dan tanpa makna. Di balik cadar muslimah tersebut, tersimpan muatan pengetahuan dan pengalaman unik (unique experience). Harus dipahami, bahwa setiap muslimah adalah aktor yang selektif. Di tengah perebutan hegemoni simbolik antara liberalisme barat dan fundamentalisme (fanatisme-sektarian) umat beragama, seorang muslimah harus memilih. Perempuan harus memiliki prinsip. Kecuali, jika Ia memang tidak peduli sama sekali dengan kehidupan maupun cara beragamanya. Muslimah harus melakukan refleksi dan mendefinisikan ulang, setiap situasi dan pengalaman keagamaan yang mereka alami.
Pada akhirnya nanti, masing-masing individu itulah yang akan menjadi juri untuk memutuskan, identitas simbolik manakah yang dianggap paling ‘benar’ dan ‘tepat’ dikenakan oleh seorang muslimah saat ini? Berjilbab ? Bercadar ? atau tidak memilih kedua-duanya ?

1 comment:

  1. sip deh. bercadar=radikalitas?

    masmpep.wordpress.com

    ReplyDelete