15 April 2007

Tentang Perempuan Bercadar (2)

Perempuan Dimata Islam
by : Yanu Endar Prasetyo

Saat ini, lebih dari satu milyar manusia yang mengakui dirinya sebagai penganut tradisi Islam
[1]. Artinya, ada setengah milyar lebih perempuan muslim yang hidup dan tinggal di berbagai belahan dunia[2]. Dengan jumlah sebesar ini, siapapun yang berbicara persoalan perempuan dalam dunia Islam, harus berhati-hati. Agar terhindar dari generalisasi yang menyesatkan, penyederhanaan yang berlebihan, dan pembatasan-pembatasan yang cenderung bias oleh pemahaman tertentu. Dalam kajian ilmiah keagamaan, Islam sendiri dapat dipandang dari tiga dimensi. Satu, Islam sebagai doktrin, yaitu Islam yang masih murni dalam Al Quran [3] dan Al Hadits [4]. Dua, Islam sebagai teologi, yaitu Islam yang sudah merupakan penafsiran dari keduanya. Tiga, Islam yang telah ada dalam bentuk peradaban, atau disebut Islam historis[5].

Oleh karena itu, pembahasan lengkap tentang perempuan dimata Islam, harus mencakup ketiga dimensi tersebut. Dengan melihat perempuan dalam ruang doktrin dan sosio-historis itulah, kita akan menemukan perbedaan penafsiran dan konstruksi makna atas peran sosial perempuan itu sendiri. Pertanyaan Sosiologis yang ditujukan kepada umat Islam, seringkali terkait dengan kedudukan (status sosial) jenis manusia yang disebut dengan ‘perempuan’ (muslimah) ini. Benarkah kaum perempuan, memiliki kedudukan yang lebih rendah daripada laki-laki? Benarkah muslimah memang terbatas atau dibatasi ruang gerak sosialnya? Lalu,, siapa yang membatasi? dan seberapa besar batasan Sosiologis yang diberikan kepada muslimah dalam menjalani kehidupan sehari-hari?

Diskursus tentang perempuan dalam Islam ini, pada intinya menyangkut dua hal, yaitu bagaimana fungsi dan peran perempuan dalam masyarakat? Secara hukum, Islam memandang perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama
[6]. Dasar tersebut, diuraikan dengan jelas di dalam Al Quran surat An Nisa’: 1 [7] Ayat tersebut menjelaskan awal mula perkembangan peradaban manusia. Diawali dari penciptaan laki-laki dan perempuan yang sederajat, kemudian terus berkembang dan hidup saling melengkapi. Hal ini diperkuat oleh sebuah Hadits yang berbicara tentang kesamaan kedudukan laki-laki dan perempuan di mata Islam :

“ Semua manusia adalah sama, bagaikan gigi-gigi sisir. Tidak ada tuntutan kemuliaan seorang Arab atas seorang Ajam (bukan Arab), atau seorang kulit putih atas kulit hitam, atau seorang pria atas seorang wanita. Hanya ketaqwaan seseorang yang menjadi pilihan Allah
[8]

Akan tetapi, dalam persoalan tertentu, Islam mendudukkan perempuan dan laki-laki dalam timbangan yang berbeda. Contoh, dikatakan dalam surat An-Nisa’: 34
[9], bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita! Alasannya, Tuhan telah melebihkan tanggung jawab laki-laki atas perempuan. Seperti kita ketahui, dalam hukum Islam, laki-laki memiliki kewajiban menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk kaum perempuan (istri) dan keluarganya. Meski demikian, banyak pihak yang berargumentasi bahwa ayat tersebut hanya berlaku dalam lingkup keluarga. Hal ini dipertegas lagi dalam surat Al Baqarah ayat 228 [10], yang menyebutkan bahwa para suami memiliki satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.

Beberapa tafsiran ayat diatas, mungkin telah dianggap ‘mengganggu’ bagi para aktivis perempuan muslim kontemporer itu sendiri. Begitu pula bagi non-muslim maupun masyarakat barat, terutama kaum feminis. Ayat ini menjadi bahan perdebatan yang tak kunjung habis dari kaum apologis muslim, yang berhasrat untuk membela agama mereka
[11]. Sementara itu, para pemerhati hak-hak perempuan, menganggap penafsiran atas hukum Islam selama ini banyak yang bias patriarkhi dan diskriminatif bagi perempuan. Profesor Sosiologi Marokko, Fatima Mernisi [12], mengatakan dalam Beyond the Veil (2003), bahwa di dalam tradisi muslim, berbeda dibandingkan dengan Barat. Mernissi berpendapat, karena perempuan dianggap aktif secara seksual, maka perempuan harus ditutup. Dilakukan segregasi antara laki-laki dan perempuan. Perempuan harus dikontrol, karena dianggap sebagai ancaman terhadap mayarakat beradab. Menurut KH. Husein Muhammad [13], surat An Nisa ayat 34 dan Al Baqoroh 282 tersebut harus dianalisis dan dimaknai secara kontekstual. Pembacaan yang hanya berdasarkan teks, akan menghasilkan kesimpulan ayat-ayat Al Quran yang saling bertentangan. Pada satu sisi, AL Quran memastikan adanya kesetaraan dan keadilan, tetapi pada sisi lain, seperti tidak mengakui hal itu.

Di dalam sistem sosial masyarakat Islam, Al Quran menempatkan perempuan ke dalam tiga dimensi besar, perempuan sebagai anggota umat beriman (1), anggota keluarga (2), dan anggota dalam masyarakat (3). Pertama, sebagai anggota umat beriman, Islam memberikan hak dan peran yang sama antara perempuan dan laki-laki. Baik untuk urusan ibadah (hubungan dengan Tuhan) maupun muammalah (hubungan antar manusia). Tidak ada kelebihan laki-laki atas perempuan
[14]. Sehingga, perempuan dalam pandangan Islam, juga memiliki peran dan arti penting dalam dimensi spiritual.

Kedua, perempuan sebagai anggota keluarga. Dalam hal ini, perempuan digambarkan sebagai pilar utama dalam keluarga. Secara historis, Islam telah membawa perubahan revolusioner atas peran dan kedudukan perempuan di dalam keluarga dan masyarakat
[15]. Sebab, pada masa pra-Islam (jahiliyah), perempuan memiliki status sosial yang sangat rendah. Bahkan, kehadirannya di dunia dianggap sebagai aib. Penjelasan ini tertuang dalam surat An-Nahl ayat 58-59 [16], yang menceritakan perlakuan kejam masyarakat pra-Islam terhadap anak-anak mereka yang berjenis kelamin perempuan. Masyarakat Arab masa itu, hanya memiliki dua pilihan jika mempunyai bayi perempuan. Tetap memelihara mereka, tetapi dengan menanggung malu dan kehinaan, atau mengubur mereka hidup-hidup. Namun, setelah kedatangan Islam, persepsi terhadap anak perempuan tersebut berubah total [17]. Sejak itu, perempuan tidak lagi dipandang rendah dan dianggap sebagai aib keluarga. Ia justru dianggap sebagai pilar utama dalam rumah tangga. Perempuan dimaknai sebagai pendidik dan penanam utama nilai-nilai dan aturan Islam (syariat ) semenjak dini kepada anggota keluarga yang lain. Dengan demikian, perempuan dipandang memiliki fungsi sentral sebagai agen sosialisasi primer di dalam keluarga.

Ketiga, perempuan sebagai anggota masyarakat. Berbeda dengan dua dimensi sebelumnya, ketika Islam berbicara peran perempuan di dalam masyarakat, kita akan menemukan perbedaan pandangan dan perdebatan di antara kelompok umat Islam yang satu dengan yang lain. Persoalan ini menjadi sangat Sosiologis, tatkala terdapat pembatasan dan pengaturan tertentu atas nama agama, terhadap identitas, perilaku, dan peran perempuan dalam bermasyarakat. Akibatnya, struktur dan kultur masyarakat muslim pun tergantung pada konstruksi pemahaman masyarakat itu sendiri. Maka dari itu, tidak heran jika di antara komunitas muslim yang satu dengan yang lain, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain, dan negara satu dengan negara yang lain, memiliki pemahaman yang berbeda terhadap peran dan kedudukan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat.

Secara normatif, memang doktrin Islam telah memberikan porsi yang proporsional bagi laki-laki dan perempuan di tengah kehidupan sosial bersama. Sebab, secara prinsipil, Islam menganggap semua manusia sama di hadapan Tuhan. Manusia hanya dibedakan menurut tingkat ketaatannya kepada Tuhan. Dan hanya Tuhan sendiri pulalah yang berhak menilai ketaatan manusia tersebut. Akan tetapi, untuk aspek yang lebih khusus, ada dinamika peran antara keduanya yang diatur oleh hukum Islam. Muara persoalan muncul, manakala sebuah doktrin diturunkan ke dalam kerangka teologis (ditafsirkan manusia), yang notabene mengandalkan akal yang serba terbatas. Apa yang diharapkan (das sollen) dari hukum Islam itu, seringkali harus berbenturan keras dengan berbagai kultur lokal dan kepentingan di dalam realitas masyarakat sebenarnya (das sein).

Terlepas dari itu semua, keputusan hukum Al Quran tentang perempuan, dapat dikelompokkan ke dalam empat masalah mendasar, yaitu persoalan (1) perkawinan dan topik yang terkait, (2) perceraian, (3) warisan dan kepemilikan harta, serta (4) cadar dan pengasingan (pingitan)
[18]. Keempat persoalan diatas sebenarnya sudah banyak dibahas - baik menurut perspektif agama Islam, maupun dari perspektif ilmu pengetahuan sekuler – namun, secara khusus buku ini akan membahas persoalan yang terakhir, yaitu persoalan cadar atau pengasingan diri muslimah di tengah kehidupan sosial masyarakat. Dengan mengambil latar budaya di Solo, Jawa Tengah. Buku ini bukan hanya membahas cadar dalam wilayah hukum (doktrin-teologis) atau sekedar berhenti sebagai wacana. Buku ini mencoba “memahami” secara historis-sosiologis, bagaimana cadar “dipahami” secara subjektif oleh para pemakainya? Mengapa (why) seorang muslimah bersedia mengisolasi diri dengan bercadar? Selain itu, Saya ingin mengetahui, bagaimana (how) fenomena perempuan bercadar ini dapat tumbuh dan berkembang di sekitar kita? Tidak sekedar berprasangka, tapi mengintip langsung dan mencoba membuktikannya !!!


[1] John Renard, dalam Ruslani (editor). 2000. Wacana Spiritualitas Timur dan Barat. Yogyakarta : Qalam, hal 1
[2] Jane. I. Smith, dalam Arvind Sharma (Editor). 2005. Perempuan dalam Agama-Agama Dunia. Yogyakarta : SUKA-press, hal 331
[3] Al Quran adalah kitab suci umat Islam dan sumber dari segala sumber hukum Islam
[4] Hadits atau as-sunnah merupakan salah satu sumber hukum Islam yang menduduki posisi sangat signifikan, baik secara struktural maupun secara fungsional. Secara struktural menduduki posisi kedua setelah Al Quran, namun jika dilihat secara fungsional, ia merupakan eksplanasi (bayan) terhadap ayat-ayat Al Quran yang bersifat umum (‘am), global (nujmal), atau mutlaq. Lihat Prof. Said Agil al Munawwar, MA, 2001. Asbabul Wurud : Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, Pustaka Pelajar. Hal 3
[5] Mudhofir A, dalam pengantar Bryan S. Turner. 2005. Menggugat Sosiologi Sekuler : Studi Analisis Atas Sosiologi Weber. Yogyakarta : Suluh Press, hal vi
[6] Suwardono S. Sos, M. Si. 2001. Pemikiran Politik Islam. Yogyakarta : LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, hal 27
[7] “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu Menjaga dan Mengawasi kamu”. lihat Al Quran dan terjemahannya, Al ‘Aliyy, 2000. Departemen Agama RI, penerbit Diponegoro, Bandung, atau terjemahan yang lain.
[8] Suwardono, op cit, hal 27
[9] QS An-Nisa’:34; “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan khususnya, maka nasehatilah mereka, dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
[10] Al Baqarah (2):228 berbunyi : “...akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya..”.
[11] Jane I Smith, op cit, hal 333
[12] Kompas, senin,19 Februari 2007, hal 35 “Membaca Ulang Teks” oleh Ninuk Mardiana Pambudy
[13] Komisioner Komnas Perempuan, Kompas, senin,19 Februari 2007
[14] Suwardono, op cit, hal 28, lihat pula dalam surat Al Ahzab ayat 35
[15] Selengkapnya, baca Mustafa Muhammad Tahhan, 2001.“Muslim Ideal Masa Kini”, Penerbit Cendekia: Jakarta hal 34-36
[16] QS. An-Nahl:58-59;“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”.
[17] Nabi Muhammad mengatakan : “Laki-laki yang membesarkan dua orang anak perempuannya hingga ia menjadi dewasa, akan berada di sisiku pada hari pembalasan nanti, ibarat dua jariku yang berdekatan” (HR. Muslim), kemudian di hadits yang lain : “Seorang laki-laki yang hanya mempunyai seorang anak perempuan dan membesarkannya secara layak, maka anak perempuannya itu akan akan menyelamatkannya dari panasnya api neraka”(HR. Muslim)
[18] Jane I Smith, op cit, hal 333

No comments:

Post a Comment