27 August 2008

Berbagi Lumpur Di Balong


dimuat di harian umum KOMPAS, 14 Agustus 2008, hal G, rubrik : riungan

oleh : Yanu Endar Prasetyo



Menelusuri kehidupan petani ikan mas di Subang, ibarat membuka kabut wilayah yang selama ini terisolasi dari peta ekonomi Jawa Barat. Kontribusi yang cukup signifikan dari dunia per-kolam-an ini, baru kita sadari kurang lebih enam tahun belakangan. Khususnya, ketika terjadi kehebohan terkait dengan munculnya virus KHV (Koi Herpes Viruses) yang menyerang ikan mas, khususnya di kolam Air Deras. Semenjak itu, banyak petani ikan mas yang kaya raya dan bermodal besar, gulung tikar. Apalagi petani KAD (kolam air deras) dan KAT (kolam air tenang) yang bermodal kecil, banyak yang menganggur dan beralih profesi. Pasca booming KHV tersebut, baru banyak pihak menyadari betapa investasi di budidaya “Ikan Raja” ini luar biasa besar. Sampai-sampai tidak hanya petani ikan yang frustasi karena hampir 70 % lebih ikan-ikannya mati, tetapi pemerintah dan pabrik pakan pun ikut-ikutan frustasi. Banyak ahli berdatangan mencoba mengusir mimpi buruk virus KHV ini, namun hingga tulisan ini dibuat, hasilnya tetap nihil.

Para petani ikan mas saat ini pun, terkadang masih terbawa romantisme kejayaan ikan mas satu dekade yang lalu. Terlampau banyak cerita sukses di masa lalu tentang “pak haji ikan” di KAD ini. Betapa keuntungan satu kolam saja bisa membuat pemiliknya membangun rumah bertingkat, naik haji, mampu membeli mobil, dan sebagainya. Perhitungan yang sangat wajar, sebab satu jalur kolam saja membutuhkan modal (saat ini) kurang lebih dua puluh lima juta, dari mulanya menanam hingga panen. Bayangkan saja jika seorang petani kuat yang memiliki 40 hingga 100 jalur. Cukup fantastis bukan?

Lalu, bagaimana sebenarnya struktur yang melembaga dalam bisnis dan budidaya ikan mas di subang ini? Bagaimana pula dinamika dan geliat kaum petani ini setelah hampir satu dekade virus menyerang?

Rantai Tata Niaga

Logikanya sederhana. Semakin besar modal Anda, maka semakin kuat Anda bertahan menjadi petani! Itu adalah logika pasca virus menyerang. Artinya, hanya ada segelintir petani ikan yang mampu bertahan dan terus berkecimpung di rantai tata niaga ikan mas ini. Setelah ditelusuri, dari sisi produksi, untuk bersaing dengan petani ikan mas di keramba-waduk (seperti cirata, jatiluhur) ternyata petani ikan mas kolam air deras akan kewalahan. Sebab, memperbesar kapasitas produksi di KAD, membutuhkan biaya yang jauh lebih mahal berlipat-lipat, dibandingkan dengan di waduk. Ini persoalan geografis. Sehingga, untuk laku di pasaran (yang sebagian besar dikuasai cirata), ikan mas subang harus memiliki segmen khusus.

Beruntung. Secara kualitas, ikan mas subang lebih unggul dibanding ikan mas cirata. Ia tidak berbau tanah dan memiliki ukuran yang lebih besar. Kondisi pasar seperti ini, ditambah dengan virus KHV yang membunuh 50%-70% ikan yang ditanam (ukuran 1/100 = satu kilo seratus ekor ikan), membuat petani ikan mas subang harus membentuk polanya sendiri. Pola itu adalah, bahwa mereka tidak akan menjual ikan sebelum minimal berukuran ½ atau 1/1 (baca : 1 kilo dua ekor atau satu kilo satu ekor). Dengan demikian, dari sisa 30% ikan yang hidup itu, mereka akan membesarkannya hingga mencapai ukuran tersebut, baru dijual. Jika kurang dari ukuran itu, maka mereka akan rugi. Para petani itu lebih tenang membiarkannya besar, daripada menjual seadanya. Maka dari itu, pasar untuk ikan mas KAD pun tertentu, terbatas pada rumah makan besar, kolam pemancingan, dan pesanan dari “orang-orang Batak”.

Selain itu, ada momen-momen “rutin” tertentu, dimana harga ikan mas subang bisa melejit tinggi (dari 11.000 pada hari biasa hingga menjadi 20 ribu di pasaran). Momen itu adalah ketika musim hujan atau musim “musibah di cirata” yang pada hari itu ikan-ikan di cirata habis. Biasanya terjadi secara rutin pada bulan Januari dan Februari. Sehingga, stok ikan mas di pasaran menurun. Saat itulah, penjual dan petani ikan mas menikmati tingginya harga ikan mas ini. Momen ini berlangsung 1-2 bulan. Setelah itu, pasaran akan normal, dan ikan mas subang hanya menjadi komplementer lagi bagi pasaran ikan cirata.

Mengapa hanya petani ikan mas bermodal besar yang mampu bertahan? Sebab, untuk membesarkan ikan hingga 1 kilo atau lebih, membutuhkan pakan yang lebih besar. Sehingga, petani dengan modal cekak, tidak akan mampu bertahan membiarkan ikan lebih lama. Sementara, jika mereka menjualnya dalam ukuran kurang dari setengah kilo, mereka rugi. Inilah dilema petani ikan kecil.

Lalu, siapa sebenarnya yang paling diuntungkan dari tata niaga ikan mas ini? Pertama, adalah Bandar. Selama ini kita menganggap bahwa petani ikan yang tidak terikat dengan Bandar akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada petani siba (sistem bandar/isi bandar). Namun, kenyataannya, petani banyak yang memilih sistem Bandar, apalagi ketika harga ikan rendah. Bandar pun akan lebih memprioritaskan hasil panen dari petani siba, ia sudah mengeluarkan modal untuk petani itu. Artinya, ketika harga ikan sedang jatuh, petani ikan dengan modal sendiri bisa mengalamai kerugian yang cukup besar. Bahkan, ikan tidak bisa dipanen karena tidak ada yang mau membeli. Petani merasa lebih aman melakukan usaha budidaya ikan dengan siba, daripada modal sendiri. Walaupun untuk itu, mereka harus terus berhutang pada bandar. Selain itu, 55 % pertani pun menganggap harga jual panen ikan ke bandar terlalu rendah (B2PTTG, survey 2007). Namun, setidaknya mereka tenang sudah memiliki pembeli tetap. Dibandingkan jika dengan modal sendiri, mereka masih harus menawar-nawarkan hasil ikannya. Kesimpulannya, Bandar mendapat keuntungan tiga kali lipat, satu dari menjual pakan, dua dari panen ikan, dan ketiga dari hasil menjual ikan.

Kedua, makelar atau agen atau perantara antar agen, yakni mereka yang tidak perlu berbasah-basah lumpur di kolam, tetapi mendapatkan keuntungan dua kali lipat dari yang diperoleh petani. Mereka adalah orang-orang yang (dengan insting bisnisnya) membuka jaringan pasar ikan mas, lalu mengambil keuntungan dari distribusi ikan mas dari petani ke pasar. Mereka pula yang menanggung resiko dari kualitas ikan mas yang dilempar ke pasaran. Orang-orang ini cukup berbekal mobil pick up, sopir, dan tenaga kerja pengangkat ikan yang cukup murah (dibayar 10.000/orang/pengangkatan), dan jaringan agen/pasar. Posisi mereka amat menentukan dalam tata niaga ini. Sebab, kebanyakan petani (kecuali bandar besar) tidak memiliki wawasan dan jaringan yang cukup untuk menjual ikan-ikannya. Keterbatasan modal, lagi-lagi menjadi kendala yang klise. Sehingga mereka cukup “nyaman” dengan menunggu jemputan dari agen yang akan mengantarkan ikan-ikan mereka ke pasar.

Ketiga, yang paling diuntungkan dari semua rantai tata niaga ikan mas tersebut adalah perusahaan (multi nasional corporate) yang memproduksi pakan. Dalam sejarah budidaya ikan di negeri ini, menurut petani, belum pernah harga pakan mengalami penurunan secara signifikan. Dari merk-merk pakan komersil yang kian hari kian beragam itu, meskipun masih terjangkau, dirasa makin mencekik dan secara tidak langsung menciptakan ketergantungan petani kepada mereka yang bermodal besar (bandar). Karena pakan adalah instrumen utama dalam budidaya, sulit bagi petani untuk tidak mengikuti berapapun harga pakan itu, sampai akhirnya mereka tak sanggup lagi dan terpaksa gulung tikar akibat harga ikan yang fluktuatif. Demikianlah, lumpur rejeki di balong (kolam ikan) diperebutkan. Mereka yang bermodal besar selalu bisa berbuat apa saja. Adakah yang peduli pada petani bermodal kecil?


25 August 2008

GAGALNYA PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN





Oleh : Yanu Endar Prasetyo

Secara umum, kewajiban pemerintah untuk memprakarsai pengukuran berbagai indikator kemiskinan dari berbagai perspektif. Misalnya, indikator insiden kemiskinan (The Poverty Headcount Index), tingkat kedalaman kemiskinan (The Depth of Poverty), dan tingkat keparahan kemiskinan (The Severity of Poverty Gap). The Poverty Headcount Index atau The Incidence of Poverty menggambarkan prosentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. The Poverty Gap Index atau The Depth of Poverty adalah kedalaman kemiskinan di suatu wilayah, yang merupakan perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. The Severity of Proverty menunjukkan kepelikan kemiskinan di suatu wilayah. Indikator ini memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan, dan ketimpangan di antara orang miskin.

Menurut laporan Statistik tentang tingkat kemiskinan di Indonesia, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada bulan Maret 2006 sebanyak 39,90 juta jiwa (17,75 %). Dibandingkan dengan bulan Februari tahun 2005, jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan sebesar 3, 95 juta jiwa. Namun, ada sedikit kabar gembira (meskipun masih menjadi kontroversi) pada bulan Maret 2007, terjadi penurunan angka kemiskinan secara nasional. Penduduk miskin turun sebanyak 2,13 juta dari 39,90 juta orang (17,75%) menjadi 37,17 juta jiwa (16,58) dari jumlah penduduk (SM, 16/07/07).

Data dari BPS juga menunjukkan bahwa garis kemiskinan menunjukkan kenaikan 9,67 % dari Rp. 151.997 per kapita per bulan pada Maret 2006, menjadi Rp. 166.697 per kapita per maret 2007. naiknya garis kemiskinan ini disebabkan oleh pengaruh adanya kenaikan harga komoditas kebutuhan pokok masyarakat yang lebih tinggi daripada kenaikan tingkat inflasi selama satu tahun tersebut.

Pada dasarnya, ada dua faktor penting yang menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin (Raskin), program Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk orang miskin, Asuransi Kesehatan Untuk Orang miskin (Askeskin), Bantuan langsung Tunai (BLT) dan sebagainya. Program bantuan semacam ini, akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada. Tetapi justru melahirkan persoalan baru, semisal konflik horizontal, Ketergantungan, korupsi, disintegrasi warga, hingga melahirkan mental ‘peminta-minta’. Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen.

Kedua, gagalnya program penanggulangan kemiskinan dilatarbelakangi paradigma dan pemahaman yang kurang tepat tentang penyebab kemiskinan itu sendiri. Sehingga wajar, jika program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan dan pro rakyat miskin. Penyebabnya, sekali lagi, adalah data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini masih tumpang tindih dan bahkan tidak sesuai dengan kenyataan kemiskinan sebenarnya yang dirasakan oleh masyarakat.

Data BPS dan Susenas, yang selama ini menjadi acuan, memang hanya tepat ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik. Asumsi yang dibangun menekankan pada keseragaman dan fokus pada dampak. Kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar nan majemuk, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal. Akibat logisnya, angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan kepala daerah, karena adanya dua atau lebih angka kemiskinan yang sangat berbeda.

Secara konseptual, data makro BPS yang selama ini dihitung dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), sebenarnya dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antar-daerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti model-model ekonometrik yang selama ini digunakan.

Negara, sebagai penanggung-jawab utama dalam upaya perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia, masih harus banyak berbenah untuk membuktikan kesungguhannya dalam melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak rakyat atas pendidikan, pekerjaan, pangan, kesehatan, dan hak dasar hidup yang lain.