21 October 2008

Teknologi Untuk Petani



Oleh : Yanu Endar Prasetyo

Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Salah satunya, adalah dengan difusi (penyebar-serapan) teknologi kepada komunitas tersebut.

Untuk urusan budidaya, sebagian besar petani kita, lebih sering mengandalkan ilmu yang diperoleh dari pengalaman. Baik yang bersifat turun menurun maupun yang dialami dalam keseharian. Hanya sedikit petani yang dapat mengakses berbagai hasil penelitian dan pengembangan (litbang) dunia pertanian, termasuk berbagai teknologi yang terus berkembang didalamnya. Padahal, dengan adanya perubahan iklim secara global, degradasi lingkungan, dan berbagai masalah penyebab kerawanan pangan lainnya, petani mutlak melakukan berbagai inovasi untuk bisa bertahan. Inovasi tersebut bisa berjalan, apabila para petani ini mampu menyerap dan sekaligus menyebarluaskan teknologi yang dihasilkan dunia litbang.
Teknologi yang dimaksud, tidak melulu berupa peralatan yang canggih dan mahal, namun bisa dimulai dari teknologi murah tapi tepat guna. Persoalan sepele, seperti memendekkan pegangan (gagang) cangkul supaya lebih efisien dan ringan dalam membuat bedengan (pematang), ternyata menjadi hal baru dan aneh bagi petani tradisional di Lombok. Padahal, hal tersebut sudah lumrah bagi petani di pulau Jawa. Mereka sudah terlanjur terbiasa dengan cangkul bertuas panjang. ternyata, inovasi sederhana tersebut, bisa jauh menghemat tenaga dan keringat. Begitu juga teknologi kincir sederhana guna meningkatkan kadar oksigen dalam kolam ikan di air tawar, masih sangat jarang petani ikan di Jawa Barat yang mengembangkan. Pun dalam pemanfaatan kotoran ternak, limbah tanaman, dan sumber-sumber energi lokal, hingga dalam hal pemeliharaan, pemuliaan, pencegahan hama penyakit dan penguatan pasar untuk produk pasca panen, sebenarnya dapat ditingkatkan efisiensinya dengan teknologi tepat guna yang dikembangkan berbagai lembaga litbang di tanah air.
Namun sayangnya, dalam kajian tentang difusi Teknologi Tepat Guna (TTG) sektor pertanian, disimpulkan bahwa dalam penerapan TTG kepada masyarakat, baik yang melalui mediator ataupun langsung dari provider, hanya 60 % yang berhasil, sekitar 40 % lainnya mengalami kegagalan atau mubazir, (Angkasa dkk, 2003:140-145). Dengan demikian, difusi pengetahuan maupun hasil pengembangan teknologi, khususnya dari lembaga Litbang, masih perlu dijembatani oleh konsep pemberdayaan mayarakat berbasis riset yang tepat dan teruji.
Jauh Panggang dari Api
Lembaga litbang yang concern terhadap pertanian, baik milik pemerintah, universitas, maupun swasta, sebenarnya memiliki potensi untuk ikut mendifusikan teknologi secara langsung kepada para petani. Dilihat dari sisi belanja lembaga Litbang pemerintah, kegiatan paling banyak ternyata adalah untuk penelitian terapan (46,03%) (Indikator IPTEK Indonesia, 2007:133). Meskipun, bila diteliti lebih lanjut, belum terbaca berapa persen dari penelitian terapan tersebut yang secara langsung dan spesifik bertujuan memberdayakan masyarakat petani? Sehingga, nampak jelas bahwa tingkat difusi teknologi yang secara aktif dilakukan oleh pemerintah masih sangat rendah. Maka tak heran, jika Wakil Presiden mengakui riset pertanian kita masih lemah dan perlu didorong supaya lebih berdaya saing (01/08/08)
Jika ditilik lebih lanjut, keasyikan lembaga litbang untuk meneliti, seringkali tidak nyambung dengan apa yang sedang dan sangat dibutuhkan oleh petani. Kita seringkali lupa, bahwa bertani bukanlah sekedar kegiatan budidaya atau hobi semata, melainkan juga sebuah kegiatan ekonomi. Dunia pertanian tidak hanya sekedar produktif, tetapi juga terkadang eksploitatif terhadap petani itu sendiri. Eksploitasi itu akibat dari perangkap “politik pangan” negara maju dan cengkeraman gurita kapitalisme global. Didukung pula oleh para komprador ekonomi yang memancing rupiah di air keruh ini, yang tak lain dan tak bukan adalah para pembuat kebijakan yang tidak berpihak pada petani. Dunia litbang pun, tak ketinggalan mengikuti trend riset yang diciptakan donor dan pemodal-pemodal besar, daripada riset-riset kecil yang sebenarnya bisa meringkankan beban petani.
Sementara itu, dari sisi komunitas petani juga tak kalah rumit problem yang dihadapi. Khususnya yang terkait dengan lemahnya tingkat difusi teknologi ini. Pertama, lemahnya kepercayaan petani terhadap setiap kepanjangan tangan pemerintah. Baik itu lembaga-lembaga pemerintah, maupun para penyuluh pertanian. Ironi di lapangan, para penyuluh pertanian ini seringkali dianggap tidak lebih pintar dari petani sendiri. Akibatnya, apa pun yang disampaikan penyuluh tidak didengar oleh petani. Petani bosan dengan “teori-teori” pertanian yang disampaikan penyuluh, padahal ketika saatnya pembuktian dan praktek, para penyuluh ini banyak yang enggan berkotor dan berkubang lumpur secara langsung bersama petani. Pun dengan bantuan-bantuan pemerintah, para petani kecewa karena banyak yang mereka terima, tidak sesuai dengan yang dijanjikan sebelumnya.
Kedua, faktor sosial budaya, sangat menentukan terhadap penyerapan teknologi. Ada suatu bentuk masyarakat petani yang tertutup, terutama yang berada di pelosok. Ikatan keluarga besar yang kuat (komunalisme), tingkat pengetahuan dan keterampilan yang terbatas, kadang-kadang menjadi masalah tersendiri ketika kita melakukan kegiatan pemberdayaan melalui difusi teknologi ini. Misalnya, dalam upaya pembentukan kelompok petani, sentimen antar klan, keluarga, agama, suku, hingga ekonomi dapat melahirkan persaingan yang tidak sehat. Bahkan, suatu kelompok bisa menjadi eksklusif dan enggan menyebarluaskan teknologi yang telah mereka terima. Alasannya, selain karena perbedaan nilai-nilai tadi, secara ekonomi mereka juga takut tersaingi. Padahal, harapan setelah didifusikan teknologi, adalah munculnya beragam adopsi dan inovasi, sehingga kesejahteraan dapat meningkat, merata, dan meluas.
Dari sini, ternyata bukan hanya penelitian dan pengembangan pertanian saja yang menjadi penting. Tetapi, dibutuhkan juga konsep pemberdayaan dan strategi difusi yang utuh, untuk mengantarkan teknologi tepat guna ini kepada petani. Jika ingin petani kita kuat dan bertahan, maka bantulah mereka merespon perubahan melalui riset, teknologi, dan kebijakan yang tepat. Saatnya berpihak pada petani!

2 comments:

  1. Assalamualaikum
    Emang lain temen aku satu ini, rasanya bangga :)dari dulu da ga diragukan lagi.., aku masih new begining nih nulis coret2 yang da di otak aku hehe semoga bisa buat tulisan yang bermanfaat seperti Yanu..Sukses selalu

    ReplyDelete
  2. Semoga Petani juga dapat merasakan manfaat dari Teknologi dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.mari kita majukan Petani Indonesia.....

    ReplyDelete