03 October 2008

Dilema Tradisi Mudik


Dimuat di Harian Tribun Jabar, 29 September 2008, hal 5, Referat


Oleh :
Yanu Endar Prasetyo


Dibalik tradisi mudik yang dianggap sebagai kearifan budaya masyarakat Indonesia, terkuak pula tabir ketimpangan sosial yang luar biasa.

Mudik, atau kembali untuk sementara waktu ke kampung halaman, telah menjadi budaya yang mendarah daging. Lebih-lebih bagi para perantau atau migran yang mengadu nasib ke kota-kota besar. Tradisi mudik ini kemudian menjadi fenomenal. Sebab, mudik tidak dilakukan secara periodik atau berkala, melainkan hanya dilakukan pada satu moment waktu tertentu secara besar-besaran. Paling mencolok adalah pada waktu menjelang puasa dan hari lebaran.
Kita akan menyaksikan, di televisi maupun di koran-koran, kesibukan yang luar biasa untuk mengatur arus mudik dan arus balik para pemudik ini. Pulau Jawa tiba-tiba menjadi riuh oleh gelombang migrasi penduduknya. Hampir semua media transportasi antar daerah, khususnya darat, penuh sesak dan hampir-hampir tak mampu memuat penumpangnya. Kemacetan, kriminalitas, dan kecelakaan meningkat tajam dimana-mana. Belum lagi, instabilitas ekonomi yang tercipta akibat ulah pengusaha yang mencari untung dari momen tahunan ini.
Sayangnya, sebagian besar orang masih memandang tradisi mudik ini semata-mata positif, dan membiarkan segala kerumitannya menjadi hal biasa. Bahkan, tradisi ini sengaja dilanggengkan untuk menunjukkan solidaritas dan rasa kekeluargaan masyarakat kita yang dianggap masih tinggi. Padahal, jika dianalisis secara mendalam, tradisi ini justru secara gamblang telah menelanjangi berbagai masalah dan ketimpangan sosial di negeri ini. Ketimpangan sosial itu, dapat dilihat dengan mencermati beberapa hal yang terjadi dalam tradisi mudik, khususnya di hari lebaran ini.
Pertama, fenomena lengangnya kota-kota besar dan ramainya desa-desa. Ini menunjukkan, bahwa beban berat kota besar di Indonesia selama ini adalah disebabkan oleh menumpuknya manusia disana. Industrialisasi dan modernisasi menjadi daya tarik tersendiri bagi para perantau. Sementara, kemiskinan di daerah asal, menjadi faktor pendorong sebagian besar sumber daya manusia ini rela untuk meninggalkan tanah kelahiran sekaligus tradisi-tradisinya. Fakta inilah yang kemudian dikenal dengan fenomena urbanisasi. Meski Otoda telah dijalankan, tingginya tingkat urbanisasi yang terlihat ketika mudik ini, meyakinkan kita bahwa pembangunan negeri ini jauh dari merata. Kemajuan di kota tidak lantas seiring dengan pertumbuhan di desa. Justru sebaliknya, desa-desa kehabisan tenaga produktifnya, yang berakibat pada lingkaran kemiskinan di desa selamanya sulit untuk diputus.
Kedua, carut-marutnya manajemen transportasi. Hampir setiap tahun, kita disuguhi berita tentang semrawutnya infrastruktur transportasi kita. Baik di darat, laut, maupun udara. Baik persoalan jalan, jalur, hingga armada yang seolah tak pernah cukup. Padahal, jumlah maupun rasio angka pemudik dengan infrastruktur yang ada, dapat dihitung kecenderungannya dengan sangat mudah. Tidak lebih sulit dari memprediksi kapan sebuah gunung berapi akan meletus? Namun, kenyamanan pemudik di perjalanan, masih menjadi sesuatu yang mahal dan mewah. Kenyamanan mudik hanya dapat dinikmati oleh mereka yang berduit dan mampu membayar untuk duduk di kelas eksekutif. Bagi yang hanya mampu membeli tiket ekonomi, prinsipnya “asal terangkut” saja. Itu pun mereka masih harus dipermainkan oleh harga tiket yang tak menentu. Demikian ini menunjukkan perlakuan negara kepada si kaya dan si miskin, masih begitu jauh jaraknya.
Ketiga, instabilitas ekonomi dan keamanan. Membumbungnya bahan-bahan kebutuhan pokok menjadi hal yang biasa berulang tanpa kendali. Mulai dari beras, minyak goreng, telur, hingga pakaian dan tiket-tiket kendaraan, semuanya naik. Fenomena ini pula yang barangkali hanya terjadi di Indonesia. Selain ketidakmampuan negara dalam mengontrol laju inflasi, juga disebabkan mentalitas masyarakat kita yang aji mumpung dan menghalalkan segala cara demi meraih keuntungan sesaat. Padahal, akibat mencari untung seperti ini, tanpa disadari telah mendorong kriminalitas menjadi semakin tinggi. Kejahatan bukan hanya karena ada niat, tapi karena ada “tekanan”. Sebab, tekanan ekonomi pada taraf tertentu dapat memaksa seseorang nekad dan menghalalkan segala cara. Mulai dari mencopet, menjambret, mencuri, hingga merampok. Lengkap sudah kegelisahan di hari lebaran, instabilitas ekonomi telah menyebabkan keamanan masyarakat terancam.
Pada kondisi seperti ini, tradisi mudik menjadi dilematis. Di satu sisi, perasaan rindu berjumpa keluarga dan kampung halaman tidak begitu mudah untuk dihilangkan. Belum lagi, jika dihubungkan dengan prestise sebagai pekerja atau perantauan di kota besar, semakin menaikkan gengsi seseorang untuk menunjukkan kesuksesannya dihadapan keluarga dan kerabat. Namun di sisi lain, tekanan ekonomi dan jaminan keamanaan masih menjadi barang langka bagi kebanyakan pemudik. Pemerintah tidak selamanya bisa diandalkan untuk menangani dua hal tersebut. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada jalan keluar untuk problem ini.
Jalan keluar paling efektif bagi dilema mudik ini adalah, pertama, dengan melakukan pembagian energi sosial secara lebih arif. Caranya, dengan tidak memaksakan diri untuk mudik hanya pada satu waktu tertentu. Dengan kata lain, mudik tidak harus ketika lebaran. Memang sulit untuk meyakinkan setiap orang akan jalan keluar ini, sebab, seolah sudah ada konsensus secara nasional, baik oleh negara, pengusaha, dan masyarakat sendiri yang terwujud dalam hari libur nasional. Sehingga, setiap individu akan menyesuaikan agendanya dengan hari libur tersebut untuk melakukan mudik. Dengan demikian, negara atau pemerintah harus menata ulang kebijakan hari libur nasional tersebut, agar lebih memperluas kesempatan bagi warga negara untuk libur dan melakukan mudik beberapa kali dalam setahun.
Kedua, cara di atas tidak akan efektif jikalau tidak ada dekonstruksi teologis oleh para pemuka agama terhadap setiap anjuran-anjurannya. Sebab, kita tidak menutup mata, anjuran untuk saling bermaaf-maafan, sungkem kepada orang tua, dan berlebaran secara meriah, sedikit banyak adalah campur tangan dari anjuran tokoh agama. Harus ada penafsiran ulang atas anjuran tersebut agar lebih arif dan kontekstual, tanpa menghilangkan substansi dan nilai-nilai luhur agama itu. Ketiga, kesejahteraan dan keadilan sosial yang menjadi cita-cita bersama, mutlak diwujudkan oleh negara. Sebab, kemiskinan itulah pangkal dari segala dilema kehidupan sosial di negeri tercinta ini. Selamat merayakan Idul Fitri 1429 H, mohon maaf lahir dan batin.

No comments:

Post a Comment