11 November 2008

GANTANGAN vs SISINGAAN DAN ORGAN TUNGGAL


Yanu Endar Prasetyo
Dimuat di Harian Kompas, Forum Budaya (Jawa Barat), 08 November 2008

Entah sejak kapan, sistem gantangan ini dikenal dan menjadi tradisi bagi masyarakat Sunda, khususnya yang ada di Subang. Gantangan, yang memiliki nama lain “Gintingan”, “Berasan”, atau “Narik” ini, merupakan sistem hajatan yang unik sekaligus menggelitik. Di lingkungan masyarakat yang lain, hajatan atau syukuran merupakan tradisi yang penuh dengan warna solidaritas sosial dan saling berbagi antar sesama. Sangat berbeda dengan tradisi hajat gantangan yang nuansa pertukaran ekonominya terasa sangat kuat.

Mengurai tradisi gantangan, kita akan mengenal sistem investasi ekonomi yang paling tradisional. Yakni, ketika ada seseorang yang punya hajat dan menggelar syukuran, maka siapapun, baik tetangga dekat maupun jauh, teman kerja, atau para tamu undangan, bisa “menyimpan” beras atau uang dalam jumlah berapapun. Jika para tamu undangan memberikan amplop berisi sumbangan sukarela, itu memang sudah wajar. Tapi, menjadi berbeda dalam tradisi gantangan. Sebab, sejumlah uang atau beras yang diberikan oleh undangan tadi, adalah sumbangan yang sifatnya “pinjaman” dan menjadi hutang bagi penyelenggara hajat.

Beras atau uang tadi, bukanlah murni bersifat bantuan, melainkan menjadi hutang bagi si penerima. Jika kelak si pemberi bantuan tadi menyelenggarakan hajat yang serupa, maka si penerima bantuan tadi, harus mengembalikan sumbangan itu dengan nilai yang sama. Misalnya, jika tuan A pernah menyimpan 50 liter beras dan uang Rp.200.000 kepada tuan B yang sedang hajatan menikahkan anaknya, maka, dua tahun kemudian, ketika tuan B membuat hajatan untuk mengkhitankan anaknya, maka dia berhak menarik kembali beras dan uang sumbangannya kepada tuan A tadi, dengan nilai yang sama. Sedangkan tuan A, mau tidak mau, punya tidak punya, harus mengembalikan beras dan uang tuan B, bagaimanapun caranya. Padahal, bisa jadi harga beras sudah naik beberapa kali lipat dari saat menerimanya dulu. Akibat sistem “tabungan berbunga” seperti ini, maka orang yang berduit dan bermodal, berbondong-bondong untuk menyimpan uang atau beras dalam jumlah yang besar. Dengan harapan, kelak ketika dia hajat, dia akan memanen semua “tabungannya” tadi.

Meskipun tidak semua warga Subang mengkuti tradisi ini, namun sistem hajat gantangan seperti ini masih sangat kuat. Khususnya, di Subang tengah hingga utara. Siapapun yang sudah terikat tradisi ini, seperti masuk ke dalam lingkaran setan yang tak ada jalan keluarnya. Sebab, hutang gantangan ini juga diwariskan. Semisal tuan B tadi meninggal dunia dan tidak mampu membayar pinjaman dari tuan A, maka istri, anak, atau saudara tuan B yang lain wajib untuk melunasinya. Tuan A tidak akan “mengikhlaskan” begitu saja, apalagi jika jumlah simpanannya itu sangat besar. Kemanapun tuan B pergi, tuan A tidak akan segan untuk menagih.

Lalu, bagaimana dengan orang yang tidak punya anak atau tidak punya alasan untuk menyelenggarakan hajatan? Dia tetap bisa menyelenggarakan hajat, dengan kemasan yang lain, yaitu “syukuran”. Baik syukuran membuka toko yang baru atau syukuran karena telah mendapatkan rejeki. Bahkan, naik haji pun (walimatussafarhaj), juga bisa digunakan untuk alasan hajat yang tujuannya sama, “menarik” semua simpanan yang dulu pernah ditabungnya!

Bandar dan Hiburan

Dengan sistem Gantangan seperti itu, tentu penyelenggara hajat akan menerima bantuan dalam jumlah yang sangat besar. Dalam sekali hajat, bisa terkumpul puluhan kuintal beras dan uang puluhan juta rupiah. Seperti ketiban durian runtuh, orang yang sehabis menyelenggarakan hajat, biasanya bisa membeli rumah atau mobil. Bagi yang “pintar”, mengingat semua yang diterima itu adalah hutang yang kelak akan ditagih, biasanya akan membeli mobil angkot atau untuk membuka usaha baru. Sehingga, uang itu bisa berputar, dan kelak tidak kesulitan saat harus mengembalikannya. Namun, tidak banyak yang seperti ini. kebanyakan orang lebih senang menjadi orang kaya dan bersenang-senang, meskipun hanya sesaat. Nanti, ketika beberapa penyimpan tabungan itu melakukan hajatan dalam waktu yang hampir serempak, maka sangat mungkin dia akan jatuh miskin kembali, karena harus menjual semua miliknya untuk membayar hutang gantangan. Ironis memang, tapi ini nyata.

Bagaimana dengan warga yang sangat miskin dan tak mampu menyelenggarakan hajat? Dalam hal ini, orang yang kurang mampu secara ekonomi, tidak perlu khawatir tidak mampu menyelenggarakan hajat. Sebab ada orang yang disebut “bandar” dalam lingkaran tradisi gantangan ini. Bandar adalah mereka yang bersedia memberikan “pinjaman” kebutuhan hajat dalam jumlah yang cukup, bahkan lebih. Maka dikenal bandar beras, bandar gula, bandar daging, dan bandar bahan kebutuhan pokok lainnya. Mereka dengan senang hati akan memberikan bantuan. Tapi lagi-lagi tidak gratis. Karena penyelenggara hajat harus membayar semua pinjaman tadi setelah hajatan usai. Dan yang lebih menakutkan, harga yang harus dibayarkan biasanya lima ribu rupiah lebih mahal dari harga per kilo biasanya. Selain memberi pinjaman, bandar juga berperan membeli semua beras yang terkumpul dari setiap selesai hajatan, dengan harga yang lebih murah tentunya. Pemilik hajat pun tidak punya banyak pilihan. Mereka butuh uang. Maka, beras itu mau tidak mau harus dijual. Dan hanya kepada bandarlah semua urusan menjadi praktis dan mudah.

Beras dan uang, secara simbolik melekat dan menunjukkan apa yang harus dibawa oleh perempuan dan laki-laki. Beras adalah bawaan atau simpanan dari perempuan saat menghadiri hajat. Namun, tidak setiap liter beras dianggap sebagai hutang gantangan. Jika seseorang hanya membawa 2 liter beras, maka tidak dihitung hutang. Hanya beras yang lebih dari 5 liter yang dianggap sebagai “simpanan”. Selain investasi ala gantangan dan sistem ekonomi bandar ini, ciri khas lain dari tradisi hajatan di Subang adalah soal hiburan yang mewah.

Berbeda dengan tradisi masyarakat Jawa yang mengutamakan menu makanan sebagai yang paling istimewa dalam momen hajatan, masyarakat Sunda lebih memilih menyajikan hiburan yang mengesankan. Tak ayal, Jaipong-an, Sisinga-an, Dangdut-an, hingga Organ Tunggal menjadi menu hiburan wajib di setiap hajatan. Saweran, berjoget bersama dengan alunan lagu dari penyanyi berbaju seksi, mewarnai kemeriahan hajatan ini. Hiburan yang meriah itu, otomatis menarik para pedagang keliling hingga dadakan untuk berkumpul di sekitar arena hajatan. Mereka pun ikut mengais rejeki di tengah keramaian hajat. Hingga pada malam hari, arena hajatan itu nampak seperti pasar malam.

Sayangnya, hajatan atau syukuran yang seharusnya menjadi momen mendapatkan doa restu dari para tamu undangan ini, kadang menjadi sebaliknya. Para tamu dan tetangga yang datang, lebih sering pulang dengan muka lesu, mengumpat, dan berbisik-bisik kesal dengan tamu yang lain. Mereka tidak sempat memberikan doa atau ikut bergembira. Sebab, kedatangan mereka bukanlah karena dorongan sukarela untuk mendoakan, melainkan dorongan rasa “terpaksa” dari seseorang yang harus membayar hutang. Entah sampai kapan, tradisi seperti ini akan terus dilestarikan?

10 November 2008

AMrozi, Obama, dan Hari Pahlawan

Dalam minggu-minggu ini, ada beberapa peristiwa penting, yang secara simbolik mengingatkan kita pada makna kepahlawanan. Kebetulan pula, pada tanggal 10 November, bangsa kita memperingati kembali hari pahlawan, yang di masa lalu sungguh heroik itu.
Peristiwa pertama adalah terpilihnya senator Barrack Husein Obama sebagai presiden Amerika Serikat ke-44. Kemenangan Obama ini, menjadi kabar baik hampir di seluruh belahan dunia. Masyarakat dunia ternyata berharap terjadi perubahan atas citra dan tindakan Amerika dengan terpilihnya kandidat kulit hitam dari Partai Demokrat ini. Sebagian pihak juga yakin, bahwa melengganggnya Obama ke Gedung Putih, akan mampu meredam krisis ekonomi Amerika Serikat, yang kemudian menjadi krisis Global saat ini. Setidaknya, Obama telah menjadi ikon dan penanda demokrasi substansial di negeri yang mengaku pejuang demokrasi namun sering dilanda isu-isu rasial tersebut. Terpilihnya Obama telah menambah citra positif Amerika di mata dunia. Meskipun, kita semua masih menunggu, apakah Obama dan pemerintahannya akan membawa perubahan positif bagi kebijakan politik luar negeri Amerika. Sebelum jauh kesana, bagi bangsa kulit hitam atau afro-amerika, sudah terlanjur menjadikan Obama adalah pahlawan bagi mereka saat ini.
Jauh dari hiruk pikuk pesta kemenangan Obama disana, di Indonesia, masyarakat menyaksikan para pelaku Bom Bali II, yang telah menewaskan 200 orang lebih, sedang dieksekusi mati. Mereka adalah Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron atau Mukhlas. Semua media pernah mencatat, bahwa mereka berasal dari kelompok radikal yang Anti-Amerika. Mereka dianggap memiliki hubungan dan jaringan dengan teroris internasional. Amrozi dkk, adalah potret kecil yang merepresentasikan perjuangan para gerilyawan muslim di belahan dunia yang lain, seperti Afganistan, Pakistan, Filipina, Irak, Iran, hingga bumi Palestina. Mereka, para pejuang Anti-Amerika tersebut, pada saat yang sama, mendapat label teroris oleh media di seluruh dunia. Teroris dan pahlawan adalah label yang memiliki makna berlawanan. Meskipun, jika kita lihat dan hayati apa yang mereka kerjakan, secara substansial, sebenarnya identik. Yakni, mereka sedang meyakini dan memperjuangkan sesuatu, meskipun dengan cara yang berbeda.

Pahlawan dan Sejarah
Pahlawan adalah hasil konstruksi sejarah. Siapa yang berhak menjadi pahlawan dan siapa yang bukan, hanya sejarah yang menentukan. Padahal, sejarah itu sendiri dapat dikontrol dan dimanipulasi oleh mereka yang berkuasa. Pada zaman Orde Lama dan Orde Baru, Tan Malaka dan Kartosuwirjo (pemimpin gerakan DI/TII) sempat dicap sebagai “pemberontak” dan “musuh” bagi revolusi kemerdekaan Indonesia. Namun belakangan, setelah para peneliti, ilmuwan, dan sejarawan memiliki kebebasan untuk menelusuri dan mendekonstruksi sejarah buatan penguasa itu, ditemukan bahwa sebenarnya Tan Malaka dan Kartosuwirjo, adalah pejuang yang ikut memperjuangkan kemerdekaan NKRI. Gelar pemberontak dan musuh pun direvisi menjadi “pahlawan”. Sebab, ekspresi perlawanan mereka, sebenarnya hanya karena mereka berbeda pendapat dan merasa dikhianati oleh pemimpin revolusi saat itu, Soekarno. Pun dengan Hasan Tiro, Wali Aceh dan mantan pimpinan tertinggi GAM ini, dulunya adalah orang yang ikut berjuang dan dicap menjadi pemberontak karena tidak sepakat dengan kebijakan Amir Syarifuddin saat itu, yang dianggap memecah belah RI.
Akan tetapi, sejarah ada di tangan penguasa. Siapapun yang berkuasa mampu mengambil dan menentukan sudut pandang mana yang diambil, untuk menentukan apakah seseorang menjadi pahlawan atau bukan. Namun, penguasa zaman dahulu dengan sekarang, sedikit berbeda. Jika penguasa dulu yang bisa memutar balikkan fakta dan membentuk opini sejarah adalah regim atau pemerintah (ingat dengan regim fasis Jerman, Itali, Jepang, komunisme Soviet, hingga yang terbaru Korea dan Kamboja), maka penguasa yang bisa menentukan citra pahlawan atau bukan saat ini adalah Media. Ya, kekuasaan media, baik cetak maupun elektronik melebihi sebuah regim.
Kemajuan teknologi dan komunikasi, yang menurut Friedmen telah “Mendatarkan Dunia”, benar-benar melampui sekat-sekat teritorial bangsa dan kebudayaan. Citra tentang Obama, dikonstruksi dan dibentuk melalui internet dan televisi. Pesan-pesan perubahan yang dijanjikan, bergaung dengan keras hingga ke telingan bangsa-bangsa di belahan dunia lain. Pun dengan George W. Bush, yang beberapa tahun silam sempat menjadi pahlawan yang telah menumpas regim totaliter Taliban, di Afganistan dan Saddam Hussein, di Irak. Namun, tak lama kemudian, saat Obama dicitra positif-kan dengan menolak kebijakan invasi Irak karena dianggap “proyek yang merugikan Amerika”, maka berbondong-bondong media menganggap George W. Bush sebagai “the real terorist” dan pelanggar HAM kelas berat.
Entah mengapa, sejarah pelabelan ke-Pahlawan-an ini begitu mudah dan cepat untuk berubah. Tapi itulah kekuatan media sesungguhnya. Hegemoni media mampu menyihir opini publik dalam waktu yang cepat secara massif. Ia mampu mengangkat seseorang untuk menjadi selebritis atau pahlawan, dan diwaktu yang sama, menjatuhkan seseorang menjadi teroris dan pengacau. Selama ini, kita selalu diyakinkan dengan mantra obyektivitas, netralitas, dan keseimbangan pemberitaan dari media. Padahal, setiap media pun sejatinya memiliki keberpihakannya sendiri.
Obama, detik ini menjadi orang yang dipuja dan dibanggakan di seluruh dunia. Sementara Amrozi dkk, adalah mereka yang dianggap sebagai pengacau, teroris, dan pembunuh. Namun perlu dicatat, pelabelan itu belum tentu akan abadi. Sejarah masih terus berjalan dan mencatat apa saja yang akan diperbuat oleh tokoh-tokoh itu. Selain yang mendukung, di luar sana, banyak juga yang membenci dan anti terhadap Obama. Pun terhadap Amrozi, mungkin saja, eksekusi mati yang mereka jalani, menjadi inspirasi yang justru menambah militansi para pejuang Anti-Amerika di luar sana. Mereka adalah Pahlawan dari sudut pandang itu. Media mungkin mencatat mereka secara negatif hari ini, namun, kelak mungkin akan terjadi sebaliknya. Hanya mereka, para pelaku, yang mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Apakah perjuangan yang mereka lakukan, tulus atau untuk tujuan-tujuan yang lain? Hanya mereka sendiri sebenarnya, yang tahu apakah mereka pahlawan atau bukan? Kita, yang di luar mereka, hanya bisa menunggu, media akan “memilih” menulis sejarah versi yang mana?
Semoga, label pahlawan senantiasa melekat kepada mereka yang memang memperjuangkan kebenaran yang diyakininya. Seperti mereka yang terkubur diam di taman makam pahlawan, yang bahkan tidak ada nama di atas batu nisannya. Mereka tak pernah menuntut. Sebab, menjadi pahlawan bukanlah tujuan, tapi hadiah yang diberikan oleh mereka yang telah merasa ikut diperjuangkan. Seperti ungkapan nasionalisme ala Naga Bonar, jika orang-orang berjuang hanya karena mereka ingin menjadi pahlawan, Apa Kata Dunia??
Selamat Hari Pahlawan !