22 January 2010

MAKE A WISH via NGABUNGBANG



Ada satu “kepercayaan” unik yang nampaknya tersosialisasi cukup luas, bahwa ketika anda melihat “bintang jatuh”, maka secepatnya buatlah suatu permintaan yang tulus. Kemungkinan besar permintaan itu bisa terkabul. Meskipun ada yang meyakini mitos ini secara serius atau hanya iseng, tetapi menjadi meluas karena teramat sering disisipkan dalam film, drama, atau sinetron di televisi. Serupa tapi tak sama, di sebagian masyarakat Sunda, ada satu tradisi atau ritual “to make a wish” yang saat ini sudah jarang ditemui lagi. Tradisi itu biasa disebut dengan istilah : Ngabungbang.




Jika kebetulan melihat meteor atau bintang jatuh lalu Anda “mengharapkan” sesuatu pada momen itu, maka itu menjadi pengalaman yang bersifat personal atau individu. Berbeda dengan tradisi ngabungbang yang merupakan sebuah ritual penuh kesengajaan yang dilakukan secara kolektif atau komunal. Spirit utamanya sama, yakni berupaya untuk meluluskan hajat atau keinginan kita. Akan tetapi, prosesi dan laku yang dijalankan lebih mirip dengan sebuah upacara yang bernuansa magis dan meninggalkan kesan spiritual yang lengket. Pertama, karena ngabungbang ini dilakukan pada tengah malam. Kedua, pada saat bulan purnama, biasanya tanggal 14 bulan maulud [bulan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW]. Dan ketiga, di dalamnya disertai prosesi mandi bersama dengan air dari tujuh sumur keramat atau mata air, baik secara langsung atau yang sudah dikumpulkan jadi satu. 

Di tempat lain, mungkin sudah banyak masyarakat yang mengenal istilah “melekan”, “maleman”, atau terjaga semalam suntuk. Begitu pun dalam soal mandi berjamaah, masyarakat di Jawa Tengah dan sekitarnya mengenal tradisi padusan yang dilakukan ramai-ramai sehari sebelum bulan puasa [Ramadhan]. Nah, ngabungbang ini bisa dibayangkan adalah tradisi leluhur masyarakat Sunda yang menggabungkan kedua ritual tersebut : tidak tidur dari malam sampai pagi plus mandi di tengah malam.
Selama tidak tidur itu, mereka yang menjalankan tradisi ini harus mengisinya dengan berdoa, berdzikir, atau kadang juga diisi oleh aktivitas berkesenian, seperti gondang, pencak silat, dan calung yang menghadirkan penari ronggeng. Sedangkan ketika mandi, yang setiap orang lakukan adalah memakai pakaian khusus [biasanya putih] sambil menyuarakan dalam hati secara serius dan penuh konsentrasi tentang apa yang menjadi keinginan atau hajat mereka? Proses ini juga dipimpin oleh seseorang, biasanya sesepuh adat atau tokoh masyarakat, yang diikuti oleh puluhan bahkan ratusan orang, laki-laki dan perempuan, yang di setiap daerah biasanya berbeda dalam detail upacaranya. Ada yang melakukannya dengan benar-benar berkeliling ke tujuh titik mata air, ada yang di muara sebuah sungai, ada yang digabung dengan ziarah ke makam keramat, dan ada yang begitu meriah penuh suka cita dan hiburan.
Akan tetapi, tradisi ngabungbang ini sudah cukup lama tenggelam dari wajah peradaban masyarakat Sunda. Kemungkinan karena para generasi penerusnya enggan melanjutkan ritual ini. Entah disayangkan atau memang sebuah keniscayaan, generasi Sunda masa kini banyak yang tidak tahu apa dan bagaimana itu ngabungbang? Generasi yang lebih tua pun mengaku, mereka semakin jarang mendengar atau mengikuti ritual ini. Kalaupun masih ada, maka pesertanya sudah tidak lagi seramai dahulu. Meskipun demikian, di beberapa daerah, seperti di Pelabuhan Ratu [Sukabumi] dan Banjar, masih ada pihak-pihak yang berupaya menghidupkan kembali tradisi ini, meski dengan spirit baru untuk menjadikannya sebagai agenda wisata budaya yang menarik.
Terlepas dari semakin ditinggalkannya tradisi ini, ada cerita menarik yang penulis peroleh dari mertua yang kebetulan pernah mengikuti ritual ngabungbang ini semasa mereka muda dulu. Mertua Saya keduanya berasal dari Lembang, Bandung Utara. Sebuah daerah di kaki gunung Tangkuban Parahu nan sejuk, indah, dan tentu saja telah tumbuh menjadi daerah tujuan rekreasi yang menarik. Di balik anugrah keindahan alam itu, nuansa mistik dari kekuatan alam yang lain ternyata juga pernah tumbuh mengakar. Dibuktikan dengan kehadiran sebuah makam panjang keramat [panjangnya dua kali lipat makam biasa] dari seorang tokoh yang hingga tahun 1980-an masih menjadi salah satu tempat tujuan ritual ngabungbang. Secara kebetulan, masih di desa itu terdapat pula tujuh sumber mata air yang cukup berdekatan di sekitar wilayah tersebut.
Pada prosesi ngabungbang ala warga Lembang ini, warga dibebaskan untuk mengikuti ritual, baik secara lengkap maupun semampunya. Ibu mertua saya atau panggil saja Mamah yang waktu itu masih gadis dan awam soal tradisi ini, secara kebetulan ada di tengah-tengah rombongan keluarga yang mengikuti ngabungbang. Dari penuturannya, beliau mendapatkan pengalaman spiritual yang unik. Tepatnya sehabis ritual mandi, yang kemudian dilanjutkan dengan ziarah ke makam panjang keramat tadi. Rombongan duduk melingkari makam. Setiap peserta diberi sebatang kayu kecil yang panjangnya kurang lebih 15 cm oleh Kuncen [juru kunci/penjaga] makam. Tiap orang diminta untuk mengukur panjang kayu kecil tersebut dengan menggunakan jari tangan (jengkal). Kemudian batang kayu-kayu kecil itu diletakkan di atas atau sisi pusara makam. Setiap orang harus mengingat dimana mereka meletakkan kayunya masing-masing.
Setelah kayu diletakkan, kemudian bapak kuncen memimpin doa bersama. Separuh permohonan dilakukan dengan cara layaknya doa orang Islam dalam bahasa Arab, separuhnya lagi dibacakan mantra-mantra dalam bahasa Sunda. Peserta ngabungbang ada yang tertunduk, ada yang memejamkan mata, dan ada yang mulutnya nampak ikut komat-kamit. Hajat dan keinginan mendalam Mamah saat itu adalah ia ingin melanjutkan sekolahnya lagi, setelah setahun putus sekolah dari sejak lulus SD. Nah, pada saat hening doa itulah, tanpa sengaja Mamah membuka mata dan seketika itu juga terkaget-kaget karena seperti melihat macan tutul yang melompat di atas pusara makam. Untung Mamah tidak pingsan atau tercekat dari duduk simpuhnya. Sontak dia memejamkan mata kembali sambil beristighfar dilingkupi degupan jantung yang kencang. 
Selesai Kuncen memimpin doa bersama, setiap “jamaah” diminta untuk mengambil dan mengukur kembali batang-batang kayu yang mereka letakkan tadi. Disitulah pengalaman spritual kedua [pertama soal melihat macan tadi] diperoleh. Dengan terheran-heran dan penuh kepolosan, Mamah mendapati bahwa batang miliknya yang ditaruhnya tadi bertambah panjang. Jika sebelumnya pas sejengkal jari, maka sekarang jadi lebih panjang kira-kira se”kelingking”. Keheranan itu hanya disimpan dalam hati hingga upacara ngabungbang yang ditambah ziarah ke makam panjang itu selesai.    
Usai seluruh rangkaian acara, si Kuncen makam akhirnya memberikan semacam “keterangan pers” terkait dengan berbagai prosesi tadi. Menurut penjelasan Kuncen, jika ada yang mengukur batang kayunya menjadi lebih panjang dari sebelumnya, itu berarti kemungkinan panjang umur. Jika sebaliknya, itu berarti “tidak lama lagi” di dunia. Dan bagi yang melihat binatang, entah itu macan, ular, atau apapun, itu adalah perlambang apakah keinginannya akan terkabul atau tidak. Singkat cerita, tahun berikutnya setelah ngabungbang tersebut berlalu, Mamah akhirnya bisa meneruskan sekolahnya ke bangku SMP. Sebuah keajaiban di tengah kemiskinan yang menghimpit keluarganya. Sementara itu, dua orang teman Mamah yang kebetulan memohon segera menikah, dua tahun kemudian menemukan jawaban atas doanya, mereka menikah dalam waktu yang hampir bersamaan. Apakah memang ada kaitannya antara ngabungbang, doa, dan peristiwa setelahnya? Walllahu’alam. Itu hanya cerita, bukan maksud untuk membuat Anda percaya pada takhayul, mistik, klenik, atau apapun sebutannya. Akan tetapi, sekedar menjadi potret bahwa ada sebuah tradisi unik yang pernah dijalankan oleh orang tua kita tempoe doeloe.
Konon, menurut masyarakat Banjar, tradisi ngabungbang ini telah ada sejak 1915-an. Jika ini benar, berarti tradisi ngabungbang ini belum genap berusia satu abad. Begitu cepatnya perubahan sosial yang mempengaruhi pola pikir masyarakat, nampaknya memang membuat berbagai tradisi lokal ditinggalkan. Baik akibat pengaruh dari luar (agama, pemerintah, dsb-nya) maupun yang berangkat dari dalam individu anggota masyarakatnya. Kecuali, tradisi itu memiliki kelenturan yang luar biasa terhadap perubahan yang ada. Semisal, tradisi itu bisa disulap menjadi paket pertunjukan wisata budaya yang menarik atau memang bermanfaat secara langsung bagi anggotanya. Ngabungbang sebenarnya memiliki potensi yang pertama tersebut. Itu pun jika para pemangku kebijakan bisa dengan cerdas membaca dan mengemas ritual tradisi nan unik ini sehingga bisa “menjual” dan sekaligus tetap selaras tumbuh kembang nilai-nilai di kalangan masyarakatnya. Atau, kita tunggu saja sampai ada bintang jatuh yang mendengar dan mengabulkannya J






2 comments:

  1. We're Already Gone.
    thanks for your attention.

    ReplyDelete
  2. dulu waktu dikampung saya suka ngebungbang. biasanya pas bulan purnama. beuuh, moment2 yang sulit dilupakan

    ReplyDelete