24 December 2009

BALADA PENARI RONGGENG


Tulisan ini juga dikontribusikan untuk web komunitas kami www.bloggersubang.com



Dulu, waktu saya kecil, di kampung nenek saya di Nganjuk dan juga di kampung kelahiran saya di Blitar, sering digelar hiburan kesenian tradisional yang meriah, namanya Tayub atau Tayuban. Gambaran saya tentang seni rakyat mungkin diawali dengan perkenalan terhadap dunia “seni joged” ini, selain dengan jaranan (kuda lumping), ludruk, dan ketoprak. Akan tetapi, kesenian tayub yang selalu menghadirkan penari wanita (ledhek) itu, kini perlahan mulai pudar, atau mungkin telah bermutasi dalam bentuknya yang lain. 

read more...



Kini, saya baru mengerti (sedikit) bahwa fenomena penari perempuan sebagai magnet penarik dalam tradisi kesenian rakyat ini ternyata merupakan fenomena seni yang luas. Tidak hanya di Jawa Timur, tapi juga di Jawa Tengah, Yogyakarta, maupun di Tatar Sunda (Jawa Barat). Tidak menutup kemungkinan juga ada di luar jawa dan bahkan di negeri-negeri lainnya. Sebutan paling populer untur penari perempuan seperti ledhek tadi adalah “si penari ronggeng” atau waranggana. Entah bagaimana sejarah muncul dan berkembangnya ronggeng tersebut, ahli sejarah seni tentu lebih tahu. Akan tetapi, satu fenomena seragam yang penulis amati adalah ketika muncul kata ronggeng di telinga khalayak, maka yang muncul adalah citra dan cerita negatif tentangnya. 

Ronggeng, diasosiasiakan dan digambarkan sebagai sosok perempuan penari nan “erotis”, “bahenol”, “genit”, dan dipandang sebelah mata karena dianggap “murahan”. Tentu gambaran tersebut adalah hasil labelisasi dan stigma yang dilekatkan secara sepihak oleh masyarakat. Hemat penulis tidak akan ada satu pun perempuan yang mau dan dengan suka rela dicap negatif seperti sebutan di atas. Sebab, bukan hanya harga diri atas pribadi yang dinodai, melainkan juga tiadanya pengakuan atas sebuah pekerjaan seni yang menghibur. Ada realitas sosial dimana nilai dan norma masyarakat tidak singkron dengan kehendak bebas anggota masyarakat di dalamnya. Akibatnya lahir sebuah sikap mendua, mau tapi malu, menikmati sekaligus menghujat, dan berbagai ironi lainnya, khususnya dalam menyikapi kehadiran ronggeng sebagai entertainer.  

Ahmad Tohari, dalam novel sastra terkenalnya “Ronggeng Dukuh Paruk”, menggambarkan sebuah liku kehidupan seorang ronggeng (Srintil) yang menjadi idola di sebuah kampung/dukuh kecil, miskin, dan terpencil. Ronggeng adalah jati diri dan identitas bagi warga perdukuhan itu. Dengan kecantikannya dan geol-an tariannya yang menggoda, semua orang jatuh cinta pada ronggeng itu. Mulai dari rakyat jelata hingga para pejabat. Klimaksnya, ketika terjadi bencana politik tahun 1965, si ronggeng itu justru selamat karena kecantikannya, meskipun dukuh kecil itu hancur lebur terbakar akibat stigma politik. Namun, meskipun selamat, ia merasakan hidup dalam kungkungan citra negatif sebagai seorang ronggeng yang sungguh meruntuhkan harkat dan martabat seorang perempuan! 

Gambaran kehidupan ronggeng dari novel itu nampaknya bukan hanya fiksi belaka, melainkan memang nyata dalam kehidupan. Dalam bentuk yang lain, cibiran dan pandangan sinis terhadap profesi penari penerima “saweran” ini masih saja melekat.  Masih terngiang dalam ingatan saya waktu kecil dahulu. Cukup sering saya mengintip atau sengaja tidur di ruang ganti para ronggeng sebelum mereka manggung. Saya mengamati bagaimana para ronggeng itu merias wajahnya, menata gelung-nya, hingga melengkapi busananya, dengan penuh canda dan tawa yang lepas. Beberapa lelaki, baik penari lain maupun si empunya hajat, bolak-balik memastikan apakah para ronggeng itu sudah siap atau belum. Di tepi ruangan, tergeletak anak-anak kecil, balita, yang tak lain adalah anak-anak beberapa ronggeng tersebut. Mereka sengaja diajak “manggung” oleh ibunya karena beberapa sebab : tidak ada yang menjaga mereka di rumah, ayah mereka tidak pernah kembali lagi, ayah mereka adalah penabuh kendang atau calungnya, atau kelompok seni yang diikuti ibunya memang grup seni keliling, jadi mau tidak mau anak-anak mereka harus ikut. Itulah sekolah dan pendidikan pertama anak-anak itu. 

Pernah pula, karena kasihan melihat anak seorang ronggeng yang harus kehilangan masa-masa sekolah dan bermain layaknya anak-anak seusianya, nenek penulis mengangkatnya menjadi cucu angkat. Ia dibiayai dan disekolahkan serta tidak perlu ikut ibunya keliling berbagai kota dan desa untuk mencari nafkah. Ia juga tidak perlu lagi tidur di pojok ruangan yang sesak dengan perkakas dan busana ganti para ronggeng. Tapi apa yang terjadi? anak perempuan yang berusia 6 tahun itu ternyata “tidak betah” dan hanya bertahan beberapa bulan saja. Anak itu lebih memilih untuk tetap bersama ibunya, nomaden, berkeliling daerah untuk menghibur orang sekaligus mencari sesuap nasi. Meskipun dengan begitu ia harus kehilangan kesempatan untuk sekolah dan menjalani hidup seperti teman-teman sekolahnya yang lain. 

Stereotip kelam terhadap seorang ronggeng bahkan mengarah pada istilah “kembang buruan” untuk memuaskan hasrat eksploitatif laki-laki. Mereka seolah hanya sekedar sebagai penyemarak belaka. Makna filosofis dari setiap gerakan tari lenyap begitu saja berganti menjadi aura erotis nan kental. Ketika kendang gamelan dibunyikan, dan penari jaipong keluar dengan goyangannya yang menghentak, serentak para kumbang mengerubunginya sambil menghamburkan dan menyelipkan uang ke tangan hingga lipatan-lipatan baju sang ronggeng. Saweran, prosesi yang menjadi bumbu utama dalam hiburan rakyat ini, menjadi momen yang ditunggu-tunggu. Semakin banyak saweran yang diterima oleh sang ronggeng, maka semakin sukses pertunjukan seorang ronggeng. Para lelaki merasa menang dan puas, meski kantong mereka akhirnya kerontang.   

Kondisi seperti diatas, kemudian merambat pada panggung-panggung hiburan yang lain. Orkes dangdut, Tardug (Gitar bedung), organ tunggal, dan panggung hiburan yang lain, juga menyebarkan isme sawer ini. Dengan menari dan begoyang bersama penyanyi dangdut, para lelaki umumnya dengan bangga pula menghamburkan uang mereka. Semakin banyak uang yang dihabiskan, maka semakin menunjukkan status sosial mereka yang tinggi. Terkadang, MC pun tak segan memanggil para “tokoh” agar mau maju kedepan, berjoged, dan tentu saja mau “nyawer”. Maka tak heran, kesan yang muncul seolah berbunyi “para perempuan penari/penyanyi itu bisa dibeli”. 

Baru-baru ini mencuat wacana agar para penari jaipong, dan para ronggeng itu agar memakai pakaian menari yang lebih “tertutup” dan “sopan”. Wacana ini mungkin niatnya baik, yaitu ingin mengurangi kesan erotis dan “terbuka” yang menimbulkan kesan “eksploitasi” tubuh perempuan hanya demi untuk mengeruk keuntungan materi belaka. Pakaian para ronggeng selama ini juga dinilai sebagian pihak terlalu mengundang syahwat. Akan tetapi, niat baik memang tidak serta merta dianggap tepat. Ada kekhawatiran jika tradisi lokal yang asli dan sudah diwariskan selama bertahun-tahun ini akan hilang otentitasnya akibat intervensi nilai-nilai dari luar. Sebab, baik atau buruk, benar atau salah, sesungguhnya diukur oleh nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat yang berbeda satu sama lain. Ibarat pepatah, lain ladang, lain belalang. Lain masyarakat, lain pula nilai dan norma yang dianutnya.    

Mengikuti perkembangan jaman, ronggeng-ronggeng modern (para penyanyi penghibur panggung seni rakyat) itu pun ternyata juga mewarisi dan merasakan stigma negatif yang sama, yang selama ini melekat pada penari ronggeng tradisional. Tentu saja, melekatkan stigma dan men-judge people by its cover, sungguh sebuah penghakiman sepihak yang tidak adil. Akan tetapi, panggung depan kehidupan para ronggeng dengan aura kebebasan berekspresi di sekitarnya, telah melahirkan konstruksi identitas yang kuat melekat dan sulit untuk dirubah. Dari manggung dan saweran (yang seolah-olah mengukuhkan eksistensi laki-laki di atas perempuan) itulah mereka hidup. Tapi, sebab lumbung rejeki itu pula, mereka harus berjuang lebih keras agar tidak dipandang sebelah mata oleh masyarakat lainnya. Wallahu’alam.



No comments:

Post a Comment