16 December 2009

BANYAK HAJI TIDAK MENGURANGI KORUPSI (?)


 
Artikel ini juga dikontribusikan untuk web komunitas kami : www.bloggersubang.com 

Selamat datang kembali ke tanah air untuk para jamaah haji Indonesia. Tidak ada doa paling besar selain semoga perjalanan ibadah yang sakral itu membawa kemaslahatan bagi yang berhaji maupun bagi lingkungan sekitar. Tentu saja, kebanggaan telah menunaikan ibadah haji bukan hanya milik personal, melainkan juga menjadi kebanggaan dan keharuan kolektif. Anak, istri, saudara, tetangga, dan kerabat tentu turut bangga meskipun hanya sekedar ikut mendengar cerita, meminum oleh-oleh berupa air zam-zam, atau hanya ikut mencicipi sebutir kurma arab. Kesempatan untuk berhaji juga cukup langka, selain persoalan “panggilan” dari Tuhan untuk menggerakkan hati, juga biaya naik haji yang benar-benar hanya orang mampu yang sanggup membayarnya. Selain itu, sejak keberangkatan hingga kepulangan seorang jamaah haji, merupakan perpaduan ritus religi dan sosial yang unik dan luar biasa. Intinya, berhaji adalah suatu keistimewaan, baik secara spiritual maupun sosial.
Read more... 

 

Akan tetapi, keistimewaan ibadah haji yang diikuti ratusan ribu orang Indonesia setiap tahunnya itu, seakan menyisakan ironi jika kita melihat realitas sosial bangsa ini. Di hari-hari kepulangan jamaah haji tahun ini, bangsa kita sedang diuji komitmennya dalam hal pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. Dimulai dari kasus besar seperti kriminalisasi KPK, “Perampokan Berjamaah” uang negara atas nama Bank Century, hingga kisah-kisah dari meja pengadilan yang terkesan tidak adil bagi rakyat kecil. Betapa sigap dan tegas hukum kita terhadap kejahatan yang dilakukan oleh nenek-nenek pencuri kakao, atau penghuni rusun yang dituduh mencuri listrik gara-gara men-charge telepon selulernya, dan lain sebagainya. Akan tetapi, betapa kikuk dan kerdil hukum kita ketika berhadapan dengan para markus (makelar kasus) dan koruptor-korupter yang berjas serta bermobil mewah itu.
Cerita dari tanah air itu tentu bukan hal yang mengagetkan bagi para jamaah haji. Akan tetapi, sungguh tidak membanggakan apabila negara kita sebagai salah satu pengirim jamaah haji terbesar di dunia, juga tidak beranjak lebih baik peringkatnya sebagai kelompok negara dengan korupsi yang cukup tinggi (tahun 2009 Indonesia peringkat 111 dari 180 negara, dan peringkat ke 5 di Asean). Mungkin penulis salah, akan tetapi fakta ini seolah-olah menyiratkan sebuah hubungan yang bertolak belakang. Semakin rajin dan antri sebagian masyarakat kita untuk naik haji, bahkan antri hingga bertahun-tahun akibat pembatasan kuota haji, ternyata tidak menyurutkan semangat oknum masyarakat untuk tetap melanggengkan budaya korupsi. Memang banyaknya jamaah haji tidak dapat menjadi indikasi kesalehan sosial telah menjadi budaya dan mengakar di tengah masyarakat. Sebab, motivasi dan dorongan untuk beribadah haji memang macam-macam. Tidak semata-mata untuk ibadah, melainkan ada kepentingan-kepentingan lain yang melekat atau sengaja dilekatkan di dalamnya.
Sudah menjadi rahasia umum, ada yang berhaji sambil berbisnis. Ada yang berhaji karena tuntutan sosial dan kepantasan sosial, “Masak sudah kaya belum naik haji?”. Ada pula yang naik haji untuk menaikkan status, membersihkan nama dan perbuatan yang kurang pas, untuk politik pencitraan, dan lain sebagainya. beragam motivasi haji di luar urusan ibadah dan penyempurnaan iman tersebut tentu ikut mewarnai dampaknya nanti. Masih merajalelanya korupsi di negeri ini, bahkan konon dilakukan oleh mereka yang sudah kaya dan mampu, tentu menjadi bisa dimengerti. Karena ternyata ada “korupsi” juga di dalam niat untuk pergi haji tersebut. Meskipun, sangat disayangkan jika stigma “bangsa korup” itu harus terus melekat pada sebuah “bangsa saleh” yang telah meluluskan banyak haji setiap tahunnya.
Ironi antara haji dan perilaku korupsi ini tentu saja masih berupa hipotesis yang bisa benar bisa juga salah. Korupsi adalah kejahatan yang tidak berdiri sendiri. Ada sistem, aturan, dan struktur sosial yang turut membentuk dan melanggengkan perilaku ini. Korupsi juga tidak melulu individual, tetapi lebih sering dilakukan secara kolektif. Bukan tidak mungkin, penyelenggaraan haji yang rutin, sistematis, dan dilakukan berulang-ulang tersebut juga telah terbebas dari praktek-praktek KKN. Selalu ada celah untuk melakukan manipulasi jika kontrol dan pengawasan yang dilakukan lemah. Kriminalisasi terhadap para pengawas, seperti KPK, tentu menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa ini untuk tidak terulang kembali. Fakta pada peristiwa tersebut mengindikasikan bahwa para koruptor tidak akan tinggal diam dan akan melakukan perlawanan secara terorganisir pula.
Tanpa mengurangi rasa bangga dan hormat terhadap para jamaah haji, nampaknya masih banyak pekerjaan rumah bangsa ini yang harus diselesaikan. Salah satu kontribusi besar yang diharapkan dari para haji dan hajah baru ini adalah upayanya untuk turut membersihkan lingkungannya dari praktik-praktik koruptif. Titel haji (Hj) seharusnya menandakan otoritas spiritual yang lebih tinggi dari umat awam lainnya. Sama seperti falsafah orang berangkat haji yang tergambarkan dalam pakaian ihram yang dikenakan para jamaah haji. Putih menandakan kesucian tanpa noda. Selembar pakaian ihram itu juga simbol bahwa hal-hal duniawi yang melekat pada manusia hanyalah fana dan suatu ketika akan ditanggalkan semua. Terakhir, ada keyakinan dalam masyarakat bahwa berangkat haji sama siapnya dengan berangkat mati (tahun ini 243 jamaah haji indonesia wafat di tanah suci). Artinya, tentu tidak ada orang yang akan berbuat jahat atau berani korupsi jikalau ia tahu bahwa esok dia akan mati. Semoga spirit haji ini bisa menular dan mewarnai kehidupan sosial masyarakat kita hingga akhirnya budaya korupsi dapat terkikis habis. 


Yanu Endar Prasetyo


No comments:

Post a Comment