17 December 2010

Islam Sontoloyo Masih Berkeliaran

*disarikan dari salah satu tulisan Bung Karno dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi


  
“...inilah gambaran jiwa umat islam sekarang ini : terlalu mementingkan kulit saja, tidak mementingkan isi...”


Saya bukannya membenci fikih, karena saya berkeyakinan tidak akan berdiri suatu masyarakat Islam tanpa ada hukum-hukum yang mengaturnya. Akan tetapi saya membenci orang atau peri kehidupan agama yang terlalu mendasarkan diri kepada fikih dan hukum syariat itu saja.

Ingatkah kita akan perkataan Prof. Snouck Hurgronje yang mengatakan bahwa kini bukan Al Quran yang menjadi pedoman hukum umat Islam pada umumnya, melainkan perkataan para ulama tentang Al Quran itu. Setiap ulama terikat oleh fatwa-fatwa ulama sebelumnya, masing-masing berada dalam lingkaran mahzab-nya sendiri. Mereka hanya dapat memilih pendapat-pendapat dari otoritas terdahulu. Maka syariat itu selamanya tergantung kepada ijma’ , dan bukan pada maksud asli dari firman Al Quran.

Cobalah kita lihat sebuah contoh. Islam melarang kita makan daging babi. Islam juga melarang kita menghina si miskin, memakan hak anak yatim, memfitnah orang lain, dan menyekutukan Allah SWT. Bahkan larangan terakhir adalah dosa paling besar. Tetapi cobalah Anda menghina orang miskin, makan hak anak yatim, memfitnah orang lain dan menyekutukan Allah di dalam pikiran Anda, maka tidak akan ada orang yang menunjuk hidung Anda dan berkata : Anda menyalahi Islam!

Tetapi cobalah Anda makan daging babi, walau hanya sebesar biji asam, maka seluruh dunia akan bilang bawa Anda adalah orang kafir!

Hal yang sama juga terjadi dalam perkawinan. Sering kita lihat berita tentang kyai dan tokoh agama yang menghalalkan perzinaan atas nama agama. Modus mereka adalah menikahkan mereka atau dirinya sendiri yang hendak berzina agar sah dimata agama. Begitu sang wanita sudah diambil kehormatannya, maka dijatuhkan talaq tiga padanya. Atau seorang rentenir yang mencoba “menghalalkan” ribanya dengan pura-pura melakukan jual beli dengan orang yang akan dipinjami uang. Semua itu dilakukan demi terpenuhinya hukum agama.

Benar, mungkin hal itu menjadi sah dan halal, akan tetapi itu adalah halalnya Islam sontoloyo. Halalnya orang yang mau “kucing-kucingan” dengan Tuhan. Dengan kata lain, mereka yang melakukan tindakan seperti itu sama saja dengan mencoba mengelabui “mata” Tuhan.

Mereka memelintir perzinahan menjadi perbuatan yang halal, riba menjadi seolah-olah jual beli yang sah dan kelicikan-kelicikan manusia lainnya. Ini mungkin hanyalah satu faset saja dari gambaran umat muslim pada umumnya yang lebih mementingkan fikih saja daripada nilai-nilai luhur (intrinsieke waarden) dalam Al Quran lainnya. Kwaja Kamaludin berkata, “alangkah baiknya disamping kita mempelajari fikih, kita juga sungguh-sungguh mempelajari etika dan nilai-nilai instrinsik dalam Al Quran”. Namun sayangnya, para kyai dan ulama kita hanya mahir dalam tajwid, hafal ratusan hadis, dan pandai dalam ilmu syariat, tetapi mereka nihil dalam pengetahuan sejarah Islam.

Kita umumnya terlalu sibuk mempelajari hukum, tetapi tidak mempelajari cara orang dahulu menerapkan hukum tersebut!

Kita terampil mengaji Al Quran seperti maha guru di Mesir atau bak seorang advokat yang hafal kitab undang-undang pidana dan perdata. Kita mengetahui perintah dan larangan agama sampai pada hal-hal yang kecil-kecil. Akan tetapi kita umumnya tidak tahu bagaimana cara Nabi, Sahabat, Tabi’in dan para Khalifah menerapkan hukum-hukum itu dalam kehidupan sehari-hari serta di dalam urusan kehidupan bernegara. Kita bahkan sama sekali buta dalam penerapan dan konteks hukum itu karena kita tidak mendalami tarikh (sejarah).

Salah satu pelajaran terbesar dalam Tarikh ini adalah bahwa Islam di jaman awal dapat terbang tinggi seperti burung Garuda di atas angkasa. Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena fikih tidak berdiri sendiri, tetapi disertai dengan Tauhid dan etik Islam yang menyala-nyala. Fikih pada waktu itu hanyalah kendaraan saja. Fikih ini ditarik oleh roh agama hidup yang semangatnya menyala berapi-api. Dengan fikih yang demikian itulah Islam menjadi cakrawati di separuh dunia.
Namun, ketika Islam-Studies berubah menjadi Fikih-Studies, sejak diletakkannya mahzab imam empat dan fikih menduduki posisi sentral dalam Islam, maka kejayaan Islam makin menurun, redup, dan mandeg. Islam lantas membeku menjadi sistem hukum formal belaka. Lebih parah lagi fikih bukan lagi menjadi petunjuk dan pegangan hidup, melainkan menjadi penghalal-nya perbuatan-perbuatan kamum soontoolooyoo!

Kendaraan Islam ini tidak lagi memiliki kuda (etika) dan kusir (tauhid). Kendaraan yang mandeg ini pun lama-lama amoh (aus).

Maka benarlah perkataan Halide Edib Hanum, bahwa Islam di jaman ini bukan lagi agama pemimpin hidup, tetapi agama pakrol-bambu. Jikalau umat Islam tetap tidak mengindahkan pelajaran besar sejarahnya sendiri, jika pemuka Islam tidak mengikuti jejak pemimpin besar di negeri lain seperti Muhammad Ali, Farid Wadjdi, Kwadja Kamaludin, Amir Ali, dll yang menghendaki kebangkitan roh baru dalam Islam. Atau jika ulama kita hanya mau menjadi ulama fikih dan bukan pemimpin kejiwaan yang sejati, maka jangan harap umat Islam Indonesia akan mampu menjunjung dirinya dari keterpurukannya sekarang.

Janganlah kita mengira diri kita sudah mukmin, tetapi sadarlah, banyak diantara kita yang Islam-nya masih sontoloyo.

3 comments:

  1. Saya cukup tergeliat dengan statement Anda berikut ini :
    "Saya bukannya membenci fikih, karena saya berkeyakinan tidak akan berdiri suatu masyarakat Islam tanpa ada hukum-hukum yang mengaturnya. Akan tetapi saya membenci orang atau peri kehidupan agama yang terlalu mendasarkan diri kepada fikih dan hukum syariat itu saja..."

    Komentar :
    Anda sendiri sudah mendalami Islam sampai mana ?
    Sudah berapa tahun mondok di pesantren yang berkompeten ? Kuliah Islam berapa lama?

    Terkesan dari komentar Anda, bahwa Anda sudah jago semuanya dalam hal ajaran Islam. Islam tidak sebegitu sempit sebagiamana Anda jelaskan Bung. Anda perlu tahu latar belakang Fiqih dilihat dari sumber yang Islami & dapat dipertanggungjawabkan.. Kemungkinan Anda hanya memandang dari sekian jumlah buku saja (dapat dihitung jari) dan dari sumber yang kualifikasi keilmuan Islamnya belum begitu jauh, belum dalam mengenai Islam.

    Memang dari komentar Anda sebutkan tidak membenci ajaran fikih, tapi bahasa penyampaian Anda bisa memprovokasi untuk mengadu domba Internal Umat Islam sendiri.. Bukankah ungkapan Anda juga termasuk memprovokasi umat Islam lainnya bukan ? Baikkah menurut ajaran Al-Qu'ran apa yang Anda provokasi ini ?

    Masalah fiqih bukan sekedar berdebat di zaman manusia sekarang saja, melainkan sudah terjadi di zaman para sahabat Nabi Muhammad SAW, keywordnya cuma "jadikan fiqih bukan untuk memperbesar perbedaan, tapi mempeluas ukhuwah.."

    Lha, wong manusia lahir ke dunia beda rambut, lain ladang lain belalang.

    Fiqih itu ibarat sebuah perahu di tengah lautan, kalau Anda tidak menggunakan fiqih, berarti Anda tenggelam. Masalah berbeda mana yang dipilih, itu urusan keyakinan masing2. Dan, sebagaimana keterangan alhadits, beruntunglah umat setelah nabi muhammad saw, karena tidak ketemu langsung dg nabi, begitu pula fiqih, kalaupun keyakinan kita salah, ya tidak merugi, kita tidak ketemu nabi..


    Siapa bilang Fiqih tidak bersumber dari Al-Qur'an, Ijma bukan dari Hadits dan Al-Quran ?

    Ijma, fiqih, semua bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits, perkara ada ulama yang salah/kontradiksi dari Hadits dan Al-Qur'an dalam mengambil keputusan berdasarkan Ijma, bukan ajaran Islamnya yang salah, orangnya yg salah. Karena Ijma, tetap harus bersumber dari Hadits & Al-Qur'an.

    Masalah menghalalkan apa yang diharamkan, sebagaimana Anda contohkan, itu bukan ajaran Islam yang salah, tapi orangnya. Sementara Anda men-just Islam nya yang sontoloyo...Salah besar Bung !!

    Apalagi kalau saya lihat subject Anda, cukup menyesatkan dan memprovokasi !!

    Kalau saya analisa dari statement Anda, Anda seakan pernah dikecewakan dengan ajaran Fiqih yang menurut Anda berlawanan ya dan ada orang yang menegur Anda?

    kalau untuk menyadarkan orang yang kontradiktif dengan fiqih, hadits, dan al-qur'an. Statement Anda bukan malah mengajak orang bisa lebih baik, tapi mungkin malah membahayakan, bahkan memprovokasi...Atau malah Anda seakan membentuk aliran baru...

    wallahu a'lam...

    ReplyDelete
  2. Pak Aris yang baik, Terima kasih banyak atas komentar dan pendapatnya. Semoga perbedaan sikap dan pandangan ini membawa pelajaran yang baik dan bsa lebih mendewasakan kita dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat :)

    ReplyDelete
  3. Yanu aku setuju sama idemu..
    Tauhid itu nomer 1 yan... Belajar fiqih itu sangat rentan kalau tidak didasari tauhid yang kuat...,
    Di pondok aku dulu yang paling penting adalah tauhid.. Sedangkan fiqih, kita diberi kebebasan untuk milih pendapat mana yang benar. Soalnya kan banyak sekali pendapat mengenai fiqih. Betul Gak..
    Sedangkan tauhid sudah jelas sekali yan.. Hanya mengesakan 1.. Alloh SWT, kalau ada yang lain, dah jelas pasti itu sudah syirik ( kalau garis keras bisa diyantakan dengan Kafir :).
    Kalau tauhid dah bener. Yakin dah, akan mudah dalam memahami fiqih mana yang paling cocok dan sesui dengan petunjuknya :)

    Peace dah buat yang berneda pendapat.. Cos perbedaan pendapat dalam ISlam tuh wajar... :)

    ReplyDelete