12 December 2010

Obrolan (imajiner) dengan Bung Karno

“...kita bukan saja harus menentang kapitalisme asing, tetapi juga kapitalisme bangsa sendiri...meskipun kita tidaklah mengutamakan perjuangan kelas, melainkan perjuangan nasional”


Apakah kapitalisme itu, Bung ?

Kapitalisme adalah sistem (stelsel) pergaulan hidup, yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme ini menyebabkan upah (meerwaarde) tidak jatuh ke tangan kaum buruh, tetapi jatuh ke tangan kaum majikan. Kapitalisme inilah yang melahirkan kapitaalaccumulatie, kapitaalconcentratie, capitaalcentralisatie, dan industrial reserve-armee. Kapitalisme ini telah menyebabkan kepada kesengsaraan, kemiskinan, pengangguran, adu tarif, peperangan, dan kematian. Pendek kata, kapitalisme ini telah menyebabkan rusaknya tatanan dunia karena telah melahirkan imperialisme modern yang menyebabkan hampir semua bangsa kulit berwarna celaka.

Barang siapa tidak merasa anti terhadap hal semacam ini, berarti dia telah menutup mata pada kejahatan-kejahatan kapitalisme yang nyata ini.

Lalu apa kapitalisme bangsa sendiri itu?

Yaitu isme yang ikut menyengsarakan kaum Marhaen itu. Siapakah yang mengetahui keadaan kaum-kaum buruh kita, baik yang ada di industri batik, rokok-kretek, dan lain-lainnya? Saya sering melihat upah mereka yang hanya 10 sampai 12 sen sehari. Barang siapa yang tidak tahu keadaan yang sangat buruk dari industri bangsa sendiri itu? Pergilah ke Lawean Solo, ke Kudus, ke Tulung Agung, dan pergilah ke Blitar, maka orang akan menyaksikan sendiri cara produksi seperti itu.

Seorang nasionalis haruslah membuka mata terhadap kenyataan-kenyataan seperti itu. Ia harus mengabdi kepada kemanusiaan, sebagaimana ungkapan Gandhi bahwa “Nasionalismeku adalah Kemanusiaan”. Ia harus menjadi Nasionalis yang mampu merubah keadaan masyarakat (sosio-nasionalis) dan anti terhadap segala sistem yang mendatangkan kesengsaraan mendalam kepada rakyat.

Apakah itu berarti bahwa kita harus memusuhi tiap-tiap orang Indonesia yang mampu (kaya) ? Tidak, sama sekali tidak!

Sebab yang kita perangi bukanlah “orang”, melainkan “sistem”. Tidak semua orang yang mampu ini menjalankan kapitalisme atau mengeskploitasi orang lain.

Apakah kita juga harus mementingkan perjuangan kelas? 

Juga sama sekali tidak. Kita adalah Nasionalis, kita lebih mementingkan perjuangan Nasional, perjuangan kebangsaan.

Kita mengutamakan perjuangan Nasional ini adalah karena kesadaran dan perasaan nasional kita sebagai masyarakat terjajah. Dalam masyarakat semacam ini maka selamanya bersifat antitesis, yakni perlawanan. Baik itu perlawanan antara yang “di atas” dengan yang “di bawah”, yang “kalah” dengan yang “menang”, maupun yang “tertindas” dengan yang “menindas”.

Akan tetapi, di Amerika dan Eropa sana, dua golongan yang ber-antitesis ini adalah dua golongan yang sama, yaitu satu bangsa, satu kulit dan satu ras. Kaum pemodal Amerika dengan buruh Amerika, majikan Eropa dengan buruh Eropa. Karena itulah antitesis di negara merdeka seperti mereka tidaklah mengandung rasa dan kesadaran kebangsaan, tetapi bersifat perjuangan kelas yang melulu perjuangan kelas (zuivere klassentrijd). 

Tetapi di dalam negeri jajahan yang berada dalam cengkeraman imperialisme, maka mereka yang berada “di atas” dengan yang “di bawah”, yang menjalankan “kapitalisme” dengan yang “dieksploitasi”, adalah berlainan darah, berbeda bangsa, ras, dan kulit. Antitesis di dalam negeri jajahan selalu bersamaan (samenvallen atau concideeren) dengan antitesis bangsa. Oleh karena itu pula ia bersifat antitesis Nasional.

Maka dari itu, perjuangan kita untuk mengejar Indonesia merdeka, haruslah pertama-tama mengutamakan perjuangan Nasional. Kita memang melawan kapitalisme asing maupun kapitalisme bangsa sendiri, tetapi untuk mengalahkan imperialisme, lebih dahulu kita mengutamakan perjuangan Kebangsaan.

Jadi, barang siapa yang mengira bahwa Nasionalisme kita adalah suka “bermain mata” dengan Borjuisme, maka itu sama sekali salah. Nasionalisme kita tetaplah menolak Borjuisme dan kapitalisme, oleh karena itulah kita memiliki Marhaenisme. Karena memang hanya kaum Marhaen-lah yang menurut sejarah mampu melenyapkan segala Borjuisme dan kapitalisme di negeri kita.

Memang, nasionalisme-marhaenistis-lah yang cocok dengan model imperialisme Belanda di Indonesia. Karena memang penjajahan Belanda berbeda dengan Inggris atau Amerika. Imperialisme Belanda ini jauh lebih menyengsarakan rakyat. Karena sejak awal kedatangannya, penjajahan Belanda berasaskan monopoli. Mereka merebut tiap-tiap akar perusahaan, pertukangan, perdagangan dan pendidikan di Indonesia ini. Imperialisme Belanda sungguh yang paling kolot, kuno, dan ortodok dibanding imperialisme Bangsa lain yang masih memiliki sisi liberalisme. Politik penjajahan Belanda adalah menguasai semua alat perekonomian dan kehidupan ekonomi (economich leven) di Indonesia.

Bagaimana kehidupan mayarakat kita saat ini, Bung ?
Kini masyarakat Indonesia adalah “masyarakat kecil”, sebab sebagian besar rakyatnya hanya mengenal pertanian kecil, pelajaran kecil, perdagangan kecil, dan perusahaan kecil. Masyarakat Indonesia saat ini adalah sembilan puluh persen masyarakat kecilan. Masyarakat marhaen yang hampir tidak memiliki kehidupan ekonomi sama sekali. Oleh karena itu, maka marhaenisme nasionalistis-lah yang memang cocok dengan kondisi nyata Indonesia. Dan hanya kaum Marhaen-lah yang mampu mejalankan kerja sejarah untuk menghapuskan Borjuisme dan kapitalisme yang ada.

Jawaharlal Nehru telah mengakui terus terang bahwa dirinya adalah seorang sosialis yang anti kapitalis. Tetapi Jawaharlal Nehru juga adalah seorang Nasionalis, Raja kedua India yang tidak bermahkota (the second uncrowned King). Nasionalisme Jawaharlal Nehru adalah Nasionalisme India yang Marhaenistis, sebuah sosio-nasionalisme yang ingin menghilangkan semua kapitalisme dan menyelamatkan seluruh masyarakat India.

Nasionalisme yang demikian adalah nasionalisme kita juga!

[catatan sepulang ngobrol...]

Sangat terkait dengan pemikiran dan harapan Bung Karno tentang keharusan melawan “Kapitalisme Bangsa Sendiri” ini, Rosihan Anwar (Wartawan senior, pelaku sejarah di Lima Zaman berbeda di Indonesia) pernah menulis sebuah artikel di Harian Kompas (04/12/2010) berjudul “Inlander Dinilai Wartawan Belanda”. Artikel itu berisi pandangan wartawan Belanda, Willem Walraven (1887-1943), yang pada tahun 1941 menulis kepada pengarang Rob Nieuwenhuys mengenai Indonesia. Isinya kurang lebih adalah seperti ini :

“Inlanders (orang Indonesia) bukan orang demokratis, melainkan orang otokratis yang mau kuasa sendiri tanpa batas. Dalam batin dia orang angkuh, namun biasanya tidak ada arti. Dia membunuh atau bercerai karena hal remeh-temeh. Dia minta berhenti bekerja karena hal sepele...Mereka menginginkan pemerintahan sendiri dengan nama negeri Indonesia, dan menamakan diri mereka Indonesier. Semua itu sangat hampa. Terutama mereka bersikap bermusuhan dengan kita, sedangkan banyak diantara kita disini sama sekali tidak punya hak istimewa atau lebih berbahagia daripada mereka...Orang Indonesia terhormat adalah seorang materialis “mementingkan serba kebendaan”, sama sekali bukan idealis “hidup dengan cita-cita atau ideal”, bukan sosialis, melainkan betul-betul tipikal orang Borjuis...”

Pengarang dan Rohaniwan Belanda yang 30 tahun tinggal di Indonesia, Wischer Hulst, dalam bukunya “Becakrijders, Hoeren, Generaals en andere Politici (1980) juga mencatat bahwa “Indonesia ini adalah suatu bangsa politisi. Orang-orang Indonesia dilahirkan dengan naluri atau instinct politik, dan mereka mati dengan itu pula...”

Demikian sebagian pandangan orang Belanda tentang orang Indonesia. Mungkinkah gambaran itu sama persis, sehingga sampai hari ini pun kita tidak pernah terlepas dari hantu korupsi, elit yang materialistis, antar partai dan golongan yang selalu bertengkar karena soal remeh-temeh, hingga masyarakat kebanyakan yang mudah terbuai oleh ilusi kemapanan dan jauh dari keberpihakan pada yang lemah? Entahlah, mungkin ada baiknya kita instropeksi diri kita masing-masing, apakah beratnya mengikuti jejak para pendiri bangsa yang sosialis dan idealis ini adalah nyata-nyata disebabkan karakter dasar kita yang memang berbakat menjadi borjuis-borjuis kecil?
***

No comments:

Post a Comment