24 November 2010

Sikap dan Perilaku Perokok Tidak Konsisten


" Responden lebih siap jika disebut sebagai pelanggar aturan dan pelaku tindakan berbahaya, daripada disebut sebagai pelaku perbuatan haram "
 
RINGKASAN
Ada tiga propaganda yang selama ini selalu didengung-dengungkan untuk melawan produksi rokok di Indonesia yaitu : rokok mengganggu kesehatan, fatwa haram, dan kesejahteraan semu dari industri rokok. Bahkan muncul larangan merokok di dalam gedung perkantoran maupun di tempat umum. Meskipun demikian, jumlah perokok dan perilaku merokok di kalangan masyarakat Indonesia tetap saja tinggi. Penelitian kecil ini mencoba untuk menggambarkan sikap dan perilaku perokok aktif di Indonesia, khususnya mereka yang sedang menempuh jenjang pendidikan tinggi (mahasiswa). Lokasi penelitian dipilih di Universitas X Bandung. Keseluruhan penelitian dilakukan selama dua minggu pada bulan November tahun 2010. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan instrumen penelitian berupa kuisioner yang diisi langsung oleh responden. Penelitian berhasil menjaring 40 orang responden. Hasilnya, perilaku merokok secara aktif ini cenderung dilatar belakangi oleh faktor psikologis, yaitu merokok dapat membuat tenang (42,5%). Selain itu, mereka mengakui bahwa menjadi perokok karena sudah merupakan kebiasaan (40%). Selain itu, terdapat inkonsistensi antara sikap dan perilaku perokok aktif dalam menyikapi peraturan pelarangan merokok, dimana 67,5% responden percaya pada dampak negatif rokok bagi kesehatan tubuhnya, 62,5% responden juga percaya bahwa asap rokok dapat membahayakan para perokok pasif, tetapi 55% responden justru menyatakan setuju pada adanya peraturan pelarangan merokok. Sebaliknya, pada isu pengharaman rokok, 87% responden menyatakan ketidaksetujuannya. Terakhir, ternyata jenis rokok pilihan responden adalah rokok putih, bukan rokok kretek yang secara historis dan kultural sebenarnya adalah hasil inovasi dan temuan asli Indonesia

PEMBAHASAN
A.       KARAKTERISTIK RESPONDEN

Dari 40 orang responden mahasiswa perokok aktif di lingkungan Universitas X Bandung,  50% responden berusia 20-22 tahun, 10% berusia 17-19 tahun, dan 32,5% berusia antara 23-25 tahun, serta sisanya berusia diatas 26 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa perokok aktif terbesar berada pada rentang usia yang sangat muda. Dari sisi jenis kelamin, secara kebetulan responden mahasiswa perokok aktif yang terjaring sebagian besar adalah laki-laki (80%), sementara perempuan hanya berjumlah 20%. Hal ini sebenarnya unik, mengingat pada dua generasi yang lampau, tidak ada perbedaan gender dalam merokok. Jumlah laki-laki dan perempuan yang merokok tidaklah jauh berbeda, khususnya di daerah-daerah pedesaan. Nampaknya, ada gejala kaum perempuan mengalami penurunan yang signifikan terkait dengan gaya hidup merokok ini. Tetapi hal ini msih perlu dibuktikan lebih jauh melalui penelitian yang lebih mendalam.
Salah satu kelemahan dari penarikan sampel secara insidental adalah kurangnya peluang terpilihnya responden diluar yang ditemui peneliti. Dalam penelitian ini nampak jelas, sebagian besar (95%) responden adalah mereka yang sedang menempuh pendidikan S1 (strata satu). Karena waktu dan lokasi pengambilan sampel yang sempit, sehingga tidak diperoleh proporsi yang ideal dari berbagai jenjang kemahasiswaan. Namun, memang demikianlah adanya hasil pengambilan data menggunakan sampel insidental ini. Akan tetapi, jika dilihat dari latar belakang fakultas dan program/jurusan tempat mahasiswa menempuh pendidikan, nampak cukup beragam. Dari keseluruhan responden, berasal dari 9 fakultas dan 24 jurusan yang berbeda satu sama lain.
   Sementara itu, jika dilihat dari daerah asal responden, hanya sebagian kecil yang mengaku berasal dari desa (20%). Mayoritas mengaku bahwa dia berasal dari daerah kota. Kategori desa dan kota ini memang tidak didefinisikan oleh peneliti, melainkan didefinisikan sendiri oleh responden. Sangat mungkin terjadi bias dan perbedaan persepsi antara desa dan kota. Namun, definisi oleh responden ini penting untuk mengidentifikasi pemahaman asal usul mereka menurut diri (self) mereka sendiri, apakah dia sebenarnya orang kota atau orang desa? Selain itu, pemahaman daerah asal ini kemudian akan coba dihubungkan dengan pilihan jenis rokok mereka. Apakah terdapat asosiasi yang positif atau tidak?
Dari keseluruhan responden mengaku masih lajang (belum menikah). Sementara itu, status pekerjaan, baik sambilan maupun yang utama, sebagian besar juga tidak punya (82,5%). Hal ini menggambarkan bahwa responden sepenuhnya mengandalkan sokongan uang bulanan dari orang tua atau orang di luar dirinya sendiri. Para mahasiswa perokok aktif ini sebagian besar tidaklah disibukkan oleh aktivitas mencari uang atau bekerja. Hanya 17,5% responden saja yang mengaku kuliah sambil bekerja, baik di swasta (freelance), wirausaha dan PNS.

B.       PILIHAN JENIS ROKOK
Dari hasil pengolahan data dalam jawaban kuisioner responden, diperoleh beberapa gambaran tentang latar belakang pilihan jenis rokok responden. Dimulai dari kategori lama merokok hingga pada jumlah rata-rata rokok yang dihisap oleh responden setiap hari.
nampak bahwa separuh responden (50%) telah menjadi perokok sejak 1-5 tahun yang lalu. Jika dihubungkan dengan usia mayoritas perokok (20-22 tahun), artinya mereka sudah merokok sejak usia belasan tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa responden telah mengenal rokok sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama atau atas. Kecenderungan merokok di usia dini ini memang sering dikaitkan dengan kedekatan teman sepermainan dan pencarian jati diri seorang remaja. Proses pembelajaran (learning) tentang merokok ini cenderung diperoleh mereka pada masa-masa remaja belasan tahun itu. Bahkan ada pula responden yang mengaku telah merokok aktif sejak 6-10 tahun lamanya (32,5%). Sungguh sebuah fenomena perilaku merokok pada usia dini yang menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Fenomena merokok sejak remaja, ternyata diikuti jatuhnya pilihan pada jenis rokok tertentu yang memang menjadi ikon orang “modern” dan banyak diiklankan di berbagai media (secara terselubung). Sekitar 65% responden mahasiswa perokok tersebut memilih rokok putih (hanya berisi tembakau) sebagai jenis rokok yang dikonsumsinya. Hal ini nampaknya terkait erat pula dengan asal mereka yang mengaku sebagai “orang kota”. Sebab, selama ini rokok kretek (berbahan tembakau dan cengkeh) memang identik dengan rokoknya “orang desa” atau kakek-kakek dan bapak-bapak. Anak muda ternyata memiliki kecenderungan memilih rokok putih ini daripada yang memilih rokok kretek (35%).
Responden yang mengaku mengkonsumsi rokok kretek itu pun lebih banyak yang memilih rokok kretek filter dibanding rokok yang tanpa filter. Nampaknya pilihan pada jenis rokok ini memang tidak didasarkan pada pengetahuan bahwa rokok kretek merupakan hasil kreasi dan tradisi asli orang Indonesia serta diproduksi oleh unit-unit usaha skala rumah tangga yang menghidupi ribuan keluarga. Terbukti, para responden ini lebih cenderung memilih rokok putih yang dicetak oleh mesin pabrik dari perusahaan-perusahaan raksasa (yang mungkin dimiliki oleh orang asing). Namun, ini hanya dugaan peneliti saja, diperlukan penelitian tentang motivasi memilih jenis rokok yang lebih ilmiah dan mendalam untuk mengetahui jawaban sebenarnya.
Di dalam penelitian ini, hanya digambarkan secara sekilas tentang faktor apa sajakah yang mendorong responden memilih jenis rokok pilihannya tersebut? Dari hasil jawaban responden, 57,5% mengatakan bahwa “rasa yang enak” menjadi faktor utama memilih jenis rokok. Kemudian menyusul faktor “bau yang harum” (17,5%), low nicotine sebanyak 15%. Untuk alasan yang terakhir sekilas nampak sejalan dengan pemilihan rokok putih yang memang seringkali dipromosikan sebagai rokok rendah nikotin.
Jika dilihat dari sisi konsumsi rokok per hari, nampak bahwa 45% responden mengaku menghisap rokok antara 6-12 batang per hari. Jika dikonversi ke dalam bungkus, berarti rata-rata menghabiskan satu bungkus rokok per harinya (isi 12 batang). Namun ada juga yang sebanyak 20% responden yang menghabiskan 13-24 batang dan 10% yang mengkonsumsi lebih dari 25 batang atau 2 bungkus rokok per hari. Potret ini kemudian dapat dikonversikan dengan harga rokok (Rp.) yang berlaku saat ini. Misalnya rokok X yang berharga Rp. 10.000,-/bungkus isi 12 batang. Artinya, jika sehari satu bungkus, maka dalam satu bulan responden telah membelanjakan uangnya sebanyak Rp. 10.000,- X 30 hari = Rp. 300.000,-/bulan. Jika dilihat dari grafik di bawah ini, tentu saja menjadi jumlah Jumlah sebesar ini mengambil berapa persen dari porsi uang bulanan mereka (yang mayoritas merupakan jatah dari orang tuanya).

C.       SIKAP MAHASISWA PEROKOK AKTIF
Fenomena unik yang diperoleh dari penelitian ini adalah, bahwa ternyata perilaku merokok secara aktif ini cenderung dilatar belakangi oleh faktor psikologis, yaitu merokok dapat membuat tenang (42,5%). Selain itu, mereka mengakui bahwa menjadi perokok karena sudah merupakan kebiasaan (40%). Pernyataan tentang kebiasaan ini memang menjadi rancu dengan pengaruh faktor kecanduan. Artinya, kebiasaan yang “disadari” atau “tidak disadari” tiba-tiba terbiasa? Sayangnya, pertanyaan yang lebih mendalam tidak diajukan di dalam penelitian kali ini.
Disamping faktor psikologis, ada pula faktor sosiologis yang ternyata ikut mempengaruhi mengapa responden merokok, yaitu faktor pergaulan. Dalam hal ini teman-teman responden ini adalah ternyata juga perokok aktif (10%). Dengan demikian, rokok barangkali juga menjadi simbol atau atribut yang melengkapi dalam pergaulan mereka sehari-hari. Mungkin, untuk diakui dalam pergaulan teman-temannya, ada dorongan untuk melakukan perilaku yang sama pula, yaitu ikut menjadi perokok aktif.
Dari penilaian terhadap sikap responden, menunjukkan jawaban yang cenderung bertolak belakang dengan perilaku merokok mereka. Misalnya, 67,5% responden percaya pada dampak negatif rokok bagi kesehatan tubuhnya, seperti dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, gangguan kehamilan dan janin. Lalu, 62,5% responden juga percaya bahwa asap rokok dapat mengganggu para perokok pasif (orang lain yang menghirup asap rokok dari perokok aktif). Anehnya lagi, 55% perokok menyatakan setuju pada adanya peraturan pelarangan merokok. Apakah ini berarti responden sebenarnya memiliki kesadaran bahwa tidakannnya merokok itu adalah sesuatu yang “negatif-berbahaya-terlarang”? penelitian ini telah menunjukkan adanya sikap dan perilaku yang tidak konsisten di kalangan responden mahasiswa perokok aktif.
Namun, ketika beralih pada isu tentang peng-haram-an rokok, 87% responden justru menyatakan ke tidak setujuannya. Mereka menganggap isu rokok haram adalah berlebihan atau tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Apakah motivasi sebenarnya dibalik sikap ini? Apakah mereka lebih senang jika disebut sebagai pelanggar aturan dan pelaku tindakan berbahaya, daripada disebut sebagai pelaku perbuatan haram? Dugaan ini perlu dibuktikan dengan penelitian lainnya yang lebih mendalam dan barangkali lebih tepat jika bersifat kualitatif (pendalaman) terhadap subjek perokok aktif.

D.      POLA PERILAKU MAHASISWA PEROKOK AKTIF
Hanya 5% saja dari responden mengaku menularkan perilaku merokok aktif ini kepada keluarga dekatnya, seperti adik atau kakak. Sementara itu 95% lainnya mengaku tidak menularkan kebiasaannya ini. Lagi-lagi sikap semacam ini menunjukkan keselarasan dengan pemikiran bahwa tindakannya adalah negatif-berbahaya-terlarang, sehingga tidak patut ditularkan kepada keluarga sendiri. Namun jika kepada teman, 17,5% responden mengaku mencoba menularkan atau mempengaruhi temannya. Ada gejala bahwa mereka lebih “tega” menularkan kebiasaan negatif-berbahaya-terlarang ini kepada teman (orang lain) daripada kepada saudara sendiri.
Dalam hal panutan atau significant others mereka dalam merokok, hanya 20% responden yang mengaku bahwa panutan mereka adalah orang tuanya. Sebanyak 32% mengungkapkan bahwa panutan mereka dalam merokok adalah teman. Artinya, lebih dari separuh responden memiliki panutan orang dekat mereka (orang tua dan teman). Hal ini menunjukkan bahwa kedekatan (proximity) kemungkinan membawa dampak peniruan perilaku pada subjek yang berinteraksi secara intensif.
 
 KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa gambaran bahwa sikap dan perilaku mahasiswa perokok aktif di lingkungan Universitas X seringkali tidak konsisten dan bahkan saling bertentangan. Responden cenderung bersikap setuju terhadap peraturan pelarangan merokok di tempat umum padahal mereka adalah seorang perokok aktif. Sikap itu didasari pada kepercayaan bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan dirinya sendiri dan orang lain (perokok pasif). Namun responden bersikap negatif (tidak setuju) terhadap fatwa haram merokok. Ada kecenderungan bahwa responden lebih siap jika disebut sebagai pelanggar aturan dan pelaku tindakan berbahaya, daripada disebut sebagai pelaku perbuatan haram Faktor yang paling banyak menyebabkan responden terus menjadi perokok aktif adalah faktor psikologis, yakni sugesti dan perasaan tenang yang diperoleh ketika mereka merokok. Jenis rokok pilihan responden adalah rokok putih, bukan rokok kretek yang secara historis dan kultural sebenarnya adalah hasil inovasi dan temuan asli Indonesia. Selain itu, untuk mendapatkan jawaban penelitian yang lebih mendalam, hasil penelitian ini dapat diolah lebih lanjut dengan memperdalam aspek hubungan diantara variabel-variabel pengukuran sikap dan perilaku yang digunakan di dalamnya.

No comments:

Post a Comment