28 May 2011

Ekologi Politik dan Politik Lingkungan Hidup

Politik dan lingkungan dimanapun juga selalu berhubungan erat satu sama lain. Hal ini ditegaskan oleh Harvey (1993) dalam Bryant & Bailey (2005:5) yang mengatakan bahwa seluruh proyek (dan argumen) ekologis selalu simultan/diikuti dengan proyek (dan argumen) ekonomi politik dan demikian pula sebaliknya. Argumen ekologis tidak pernah bisa netral secara sosial, begitu juga argumen sosial politik tidak pernah bisa netral secara ekologis. Lalu, apa perbedaan antara ekologi politik (political ecology / the ecology of politics) dan politik lingkungan hidup (the politics of ecology / environmental politics) ?

Secara sederhana, perbedaan keduanya adalah bahwa politik lingkungan hidup merupakan cabang kajian di dalam ilmu politik yang mempelajari ekologi dengan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan politik tradisional. Sehingga seringkali pendekatan ini bias hanya kepada aktor-aktor atau institusi-institusi besar (global). Politik lingkungan hidup, menurut Walters (2004:1) mempelajari bagaimana manusia mengorganisasikan dirinya dan struktur perilakunya untuk melindungi kepentingan mereka di dalam lingkungan. Ia mempelajari dinamika gerakan-gerakan sosial, kelembagaan dan pembuatan kebijakan pemerintah serta interaksi yang terjadi di dalamnya. Sebagai subjek akademik, politik lingkungan hidup termasuk cabang kajian baru dan interdisiplin yang dipengaruhi oleh ilmu sejarah, ilmu politik, geografi, sosiologi, antropologi dan ilmu lingkungan. 

Dalam Handbook of Global Environmental Politics (Edited by Peter Dauvergne, 2005:8), dikatakan bahwa kajian politik lingkungan global dimulai pada akhir 1960an hingga awal 1970an. Saat ini kajian politik lingkungan hidup ini berada dibawah disiplin ilmu politik, dimana ia menganalisa tentang peran negara, lembaga-lembaga internasional, ekonomi politik global, kekuasaan global, norma dan ideologi, dan teori-teori hubungan internasional. Beberapa ahli melihat inti dari kajian politik lingkungan ini adalah pada kajian literatur atas negara dan tata kelola global. Beberapa ahli yang lain melihat bahwasanya politik lingkungan hidup ini melekat pada teori hubungan internasional dari rezim-rezim lingkungan. Ada juga yang beranggapan bahwa politik lingkungan hidup mempelajari dampak ekologi dari ekonomi global, seperti politik pertumbuhan, perdagangan, korporasi, finansial dan konsumsi. Meskipun banyak pendapat para ahli dan beragam riset yang menggunakan perspektif politik lingkungan hidup, Dauvergne menegaskan bahwa sumbangan dan kontribusi utama dari kajian politik lingkungan hidup ini adalah meluasnya area riset interdisipliner dalam politik dan lingkungan ini.

Sejarah dari peelitian tentang kajian politik lingkungan hidup global dimulai selaras dengan perubahan lingkungan global itu sendiri. Melekatkan kata “lingkungan” dibelakang istilah “politik” atau “sosial” dianggap sebagai hal yang baru. Salah satu pertemuan paling bersejarah untuk disiplin ilmu ini adalah konferensi Stockhlom (United Nations Conference on the Human Environment tahun 1972). Beberapa kontributor utamanya pada waktu itu antara lain Richard Falk (1971), Harold & Margareth Sprout (1971), William Ophuls (1977), Michael M’Gonigle & Mark Zacher (1979). Dari konferensi Stockhlom itu pula pada tahun 1972 lahir jurnal International Organization yang mengangkat isu politik lingkungan hidup secara khusus dengan topik “kelembagaan Internasional & Krisis Lingkungan”. Pada tahun yang sama, International Studies Association mengeluarkan Harold & Margareth Sprout Award bagi publikasi-publikasi internasional terbaik di bidang politik lingkungan hidup.

Dari sinilah kemudian lahir karya-karya besar dalam disiplin hubungan internasioal maupun politik lingkungan hidup global ini. Semisal adalah artikel Garrett Hardin (1968) tentang “Tragedy of the Commons” yang menjadi dasar teoritis maupun filosofis yang mendalam untuk memahami politik dalam isu-isu lingkungan. Ada juga buku karya Rachel Carson yang berjudul Silent Spring (1962), Paul Ehrlich berjudul The Population Bomb (1968), Donella Meadows dkk tentang Limits to Growth (1972), E.F. Scumacher dengan karya terkenalnya Small is Beautiful (1973) dan James Lovelock (1979 dan 1995) tentang Theory of Gaia (Dauvergne, 2005:12).

Setelah tiga dekade dari permulaan kajian politik lingkungan hidup ini, Dauvergne (2005:21) melihat bahwa nampaknya kajian politik lingkungan hidup kedepan akan melampaui bidang ilmu politik (termasuk ilmu hubungan internasional dan hukum internasional) itu sendiri. Hal ini dilihat dari isu-isu yang saat ini terus berkembang seperti pemanasan global, perubahan iklim, keanekaragaman hayati, air bersih, deforestasi dan lain sebagainya yang menuntut sebuah bentuk penelitian yang multidisiplin. Bukan tidak mungkin kajian-kajian politik lingkungan kedepan akan lebih banyak bercerita tentang bagaimana lingkungan hidup itu berubah demikian drastis daripada bicara tentang formasi kelembagaan-kelembagaan politik yang selama ini banyak mendominasi teori politik lingkungan hidup yang normatif.  Meskipun, kajian-kajian tentang kekuatan masyarakat sipil global, etika global, hingga kapitalisme global akan tetap menjadi trend tersendiri dari para sarjana-sarjana politik lingkungan hidup.

Berbeda dengan politik lingkungan hidup, ekologi politik lebih menekankan kajiannya pada kondisi dan konsekuensi-konsekuensi politik dari perubahan lingkungan yang terjadi. Blaikie & Brookfield (1987) mendefinisikan ekologi politik ini sebagai kombinasi perhatian dari ekologi dan ekonomi politik dalam arti luas, yakni dialektika antara masyarakat dan sumber daya berbasis tanah dan termasuk juga dialektika antar kelas dan kelompok di dalam masyarakat itu sendiri (Walker, 2005:74). Ekologi politik ini, menurut Walker (2005:73) belakangan merupakan kajian yang mendominasi dalam penelitian-penelitian tentang hubungan manusia dan lingkungan dalam ilmu geografi. Akar pemikiran ekologi politik ini sudah dimulai sejak Steward (1955) mengkaji tentang strategi ekologi manusia menjadi adaptasi kebudayaan (ekologi budaya). Kemudian juga dipengaruhi oleh pemikiran tentang bencana (hazards) (Burton, 1978) yang berusaha mengkaji persepsi dan manajemen pengelolaan bencana lingkungan (ekologi biologi dan ilmu bumi).

Dari ekologi politik awal yang menekankan pada perubahan lingkungan biofisikal ini, ekologi politik berkembang pula sebagai respon dari teori Malthusian (Shanin 1971) dan teori-teroi Marxist (Frank, 1969 dan Wallerstein, 1974) dimana para ilmuwan mulai fokus pada ketidakseimbangan relasi kekuasaan, konflik, dan modernisasi kebudayaan dibawah ekonomi politik kapitalis. Ekologi politik kemudian menekankan pada peran ekonomi politik sebagai penyebab mal-adaptasi dan instabilitas. Inilah yang kemudian disebut dengan fase ekologi politik strukturalis. Cirinya adalah seperti kajian Stephen Bunker (1984) yang menggunakan pendekatan sistem dunia (marxist) dan teori dependensi mencoba untuk menjelaskan teori sistem ekologi dari aliran energi dan barang-barang dari negara pinggiran ke negara maju. Hal ini juga ditekankan oleh kajian-kajian Blaikie yang sampai pada kesimpulan bahwasanya ekologi politik tidak hanya menghubungkan antara politik dan pengetahuan lingkungan saja, melainkan juga yang lebih penting adalah mengkaitkannya dengan masalah-masalah kerentanan manusia secara sosial (epistemologi keadilan sosial) (Forsyth, 2006:1).

Sedangkan pada tahun 1990an, ekologi politik mulai sedikit bergeser perhatiannya tidak lagi berpusat pada peran ekonomi politik yang dianggap terlalu makro-deterministik. Sehingga muncul kajian baru yang lebih bersifat studi-studi lokal gerakan lingkungan, diskursus dan politik simbolik (mikro-politik), serta hubungan kelembagaan dan kekuasaan, pengetahuan dan praktis dari perjuangan di lapangan. Sebuah aliran yang disebut sebagai ekologi politik post-strukturalis.

Isu-isu kunci dalam ekologi politik merupakan wilayah eksplorasi yang memiliki hubungan multi-level antara fenomena global dan lokal. Tidak hanya soal fungsi lingkungan tetapi juga soal pengambilan keputusan dan hierarki kekuasaan Ada empat isu utama yang kemudian menjadi dominan dalam kajian ekologi politik global saat ini, yaitu deforestation, desertification, biodiversity utilization dan climate change (Adger, dkk. 2001:682-683). Isu-isu tersebut merupakan diskursus yang menjadi perdebatan utama dalam lapangan pembangunan dan lingkungan dalam berbagai skalanya. 

Oleh karena itu, ekologi politik merupakan kajian yang sangat menarik, multi level, multi aktor, dan pastinya juga multidisiplin ilmu. Dengan demikian, ekologi politik dan politik lingkungan hidup memiliki perbedaan pada akar epistemologinya, titik tekan kajiannya, kerangka analisisnya, dan ruang lingkup penelitiannya tetapi memiliki kesamaan pada pendekatan multidisiplin ilmunya. Wallahualam.

3 comments: