29 May 2011

Keluar Dari Penjajahan Akademis

Judul buku : Diskursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial Asia
Penulis : Syed Farid Alatas
Penerbit : Mizan Publika
Tahun : Desember, 2010
Tebal : 271 halaman
Harga : Rp. 54.000,-


Peresensi  : Yanu Endar Prasetyo


Penjajahan akademis adalah fenomena yang setara dengan penjajahan ekonomi dan politik. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan itu. Demikianlah kira-kira spirit dari buku Syed Farid Alatas yang berjudul asli “Alternatives Discourses in Asian Social Sciences : Responses to Eurocentrism”. Dunia akademik yang terjajah adalah manakala bangsa penjajah berupaya melakukan kontrol atas ilmu pengetahuan di daerah jajahannya. Mereka menciptakan struktur kebergantungan akademis dan berusaha memonopoli penyebarluasan ide-ide ilmu pengetahuan yang tentu saja bias kepentingan penjajah. Buku ini dengan sangat baik menjelaskan mengapa penjajahan akademis masih tetap bertahan pada wajah ilmu sosial di Asia meskipun kemerdekaan politik telah dicapai oleh negara-negara ini?

Tentu saja persoalan buruknya perpustakaan dan karakter bahasa di Asia yang plural tidak lagi menjadi jawaban yang memuaskan, lebih-lebih dalam konteks kekinian dimana bahasa tidak lagi menjadi masalah besar. Syed Farid Alatas berhasil mendiagnosis dan mengidentifikasi setidaknya delapan persoalan utama yang membelenggu ilmu sosial Asia untuk tumbuh dan berkembang secara universal. Pertama, adanya bias Eurosentris, sehingga ide, model, pilihan masalah, metodologi dan bahkan prioritas riset cenderung semata-mata “membebek” pada karya Amerika, Inggris, Prancis dan Jerman. Eurosentrisme adalah sebuah teori sejarah dunia yang menempatkan Eropa sebagai sesuatu yang unik dan superior. Oleh karenanya, terbangun konstruksi yang melegitimasi bangsa Eropa untuk melakukan ekspansi ke seluruh dunia, termasuk melalui ide-ide rasionalisme, kapitalisme hingga pembangunanisme yang justru merintangi kemajuan ekonomi, politik dan akademis bagi negara-negara koloninya di Asia. 


Kedua, adanya kecenderungan pengabaian pada filsafat dan sastra lokal. Dalam konteks ini, filsafat khas Timur hanya dijadikan bahan atau objek kajian saja, tetapi tidak pernah berhasil diangkat menjadi sumber untuk konsep-konsep ilmu sosial. Ketiga, ilmuwan sosial Asia gagal keluar dari jebakan teori dan metode yang berbau Euro-Amerika. Akibatnya, ilmu sosial Asia sangat kekurangan ide-ide orisinil dalam menumbuhkan perspektif, aliran, konsep atau inovasi dalam metode penelitiannya. Keempat, adanya penyakit mimesis yang akut, yakni peniruan atau pengadopsian yang tidak kritis terhadap model ilmu sosial Barat. Hal ini menandakan keberhasilan internalisasi gagasan-gagasan Orientalisme dari Barat yang disebarluaskan dan dikonsumsi oleh wilayah yang menjadi objek konstruksi Orientalis.


Kelima, lahirnya diskursus yang secara esensialis memposisikan masyarakat non-Barat itu memiliki ciri yang merupakan kebalikan dari masyarakat Barat, yaitu barbar, terbelakang, dan irasional. Keenam, hilangnya sudut pandang minoritas, baik secara etnis maupun kelompok yang terpinggirkan lainnya, dalam catatan-catatan akademis ilmuwan Asia pada umumnya. Ilmu sosial selama ini telah nyata-nyata terdominasi oleh perspektif yang elitis, sehingga tidak berhasil menyuarakan pandangan-pandangan minoritas di Asia sendiri. Ketujuh, persekutuan antara akademisi dengan negara. Hal ini nampak dalam peran-peran yang dimainkan disiplin geografi dan antropologi pada masa kolonial yang digunakan oleh negara untuk mempromosikan persatuan, kontrol atas kebijakan, dan penciptaan sebuah kebudayaan nasional. Kedelapan, dominasi intelektual Dunia Ketiga oleh kekuatan-kekuatan ilmu sosial Dunia Pertama (AS, Inggris, Prancis). Hal ini dilanggengkan dalam bentuk kebergantungan ide, teori dan konsep, media gagasan, teknologi pendidikan, bantuan dana, dan investasi pendidikan.


Ilmuwan di Asia nampaknya keasyikan mempelajari masyarakatnya sendiri. Riset-riset mereka kebanyakan berupa riset empiris yang terkait kebijakan, sehingga sangat minim sumbangannya terhadap pengembangan teori. Dalam situasi demikianlah buku ini berusaha untuk menyerukan kembali pentingnya diskursus alternatif dalam tradisi ilmu sosial di Asia. Kebergantungan akademis yang dilanggengkan melalui pelatihan dan kucuran dana riset dari Amerika dan Eropa harus dikurangi. Prioritas tinggi haruslah diberikan guna mengembangkan publikasi lokal seperti jurnal, kertas kerja, dan monograf yang perlahan akan melepaskan kalangan akademisi dari keterikatan tema-tema riset yang didikte oleh muatan publikasi Amerika dan Eropa. Jepang telah memberi contoh bagi kita tentang bagaimana melakukan transformasi itu. Jepang tidak melakukan diskriminasi penilaian terhadap terbitan-terbitan di dalam negerinya. 


Meskipun buku ini sudah sangat sistematis dan disajikan dengan bahasa sesederhana mungkin, tetap saja buku ini lebih cocok dibaca oleh mereka yang telah cukup dalam bergelut dengan ilmu-ilmu sosial. Banyaknya contoh kasus yang dikemukakan secara sekilas membuat mereka yang awam akan sedikit kesulitan merangkai contoh-contoh yang disajikan menjadi sebuah gambaran utuh. Meskipun begitu, kehadiran buku ini telah memberikan sumbangan berarti bagi kalangan-kalangan ilmuwan yang siap untuk keluar dari zona “kemapanan akademik” yang selama ini ternyata berisi peniruan-peniruan belaka yang minim koreksi (captive mind).

No comments:

Post a Comment