31 May 2011

Politik Pengelolaan Hutan

Hutan itu “milik” siapa dan “untuk” siapa? Demikian kira-kira pertanyaan krusial yang selalu mengiringi proses kehancuran hutan-hutan di dunia, termasuk di Indonesia. Seperti kita tahu, laju deforestasi hutan di Indonesia ini sangat tinggi, yaitu lebih dari 1,6 juta ha per tahun (Kartodihardjo, dkk: 2007). Pertarungan dalam memperebutkan pemanfaatan sumber daya hutan ini selalu diwarnai oleh diskursus penentuan siapa yang berhak berkuasa atas hutan dengan segala isinya? Apakah negara sebagai satu-satunya pemilik atau komunitas masyarakat di dalam dan sekitarnya yang lebih berhak untuk mengelola dan memanfaatkannya? 

Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 jelas sekali bahwa Republik ini menganut prinsip yang pertama, bahwa negara adalah pemain tunggal dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Bahkan jauh sebelum itu, ketika pemerintah kolonial Belanda bercokol, areal hutan-hutan di Jawa juga dikuasai dan dikelola secara monopoli oleh penjajah. Pandangan yang bersifat negara-sentris ini, menyebabkan akses dan kontrol masyarakat asli terhadap hutan yang telah turun-temurun didiami itu menjadi terampas. Dalih bahwa negara akan memanfaatkan sumber daya hutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat itu pun lalai dijalankan. Sejarah telah membuktikan, sejak NKRI ini berdiri hingga sekarang, yang terjadi adalah eksploitasi hutan dan penggusuran hak-hak hidup masyarakat asli beserta segala kearifan lokalnya.

Hampir setiap rezim yang pernah berkuasa di negeri ini menyumbang terhadap deforestasi. San Afri Awang dalam tulisannya berjudul “Sejarah Pemikiran Pengelolaan Hutan Indonesia” menunjukkan sumbangsih nyata dari rezim kolonial hingga pasca Orde Baru terhadap kerusakan hutan. Orde Lama, misalnya, diskursus politik yang muncul adalah kebijakan pemerintahan yang anti-barat. Hutan diperuntukkan bagi kesejahteraan pribumi (pemenuhan pangan) dan dikuasai penuh oleh negara. Namun hasilnya adalah pandudukan dan pembukaan hutan oleh rakyat yang tidak terkendali dan konflik berkepanjangan akibat pecahnya kepentingan ideologis dalam Jawatan Kehutanan. Selain itu, penebangan kayu di luar jawa terus terjadi akibat dari skema pengelolaan hutan yang tidak jelas.

Orde Baru yang lahir dengan kebijakan pro-barat, memandang hutan sebagai sumber daya penting untuk  menunjang pembangunan nasional. Pintu investasi di sektor kehutanan dibuka lebar beserta seluruh elemen industri perkayuan, dari hulu hingga ke hilir. Kita masih ingat tentang kebijakan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang pernah menguasai hutan Indonesia seluas 143 juta ha. Sebanyak 64 juta ha dikuasai oleh 572 unit HPH swasta yang ternyata hanya dimiliki oleh sekitar 20 konglomerat kehutanan saja. Pada  1973, industri kayu Indonesia menghasilkan  US$562 juta atau  18% dari total pendapatan devisa. Namun akibat yang ditimbulkan juga tak kalah besar, yaitu pada tahun 1985 terjadi laju kerusakan hutan sebesar  600.000 ha – 1.2 juta ha per tahun. Kemudian pada periode 1985-1997 meningkat hingga mencapai 1,7 juta ha per tahun.

Pasca Reformasi yang ditandai dengan desentralisasi (otonomi daerah), kerusakan hutan bukannya berkurang, melainkan justru semakin kompleks dan sulit dikendalikan. Pengelolaan hutan oleh Pemerintah Daerah justru semakin meningkatkan akses terbuka (open acces) yang mempercepat kerusakan hutan. Meski banyak ijin HPH yang dicabut, tetap saja sebanyak 55 juta m3 kayu gelondongan terus ditebang dari sumber-sumber ilegal setiap tahunnya. Walaupun ide-ide tata kelola kehutanan yang lebih baik sudah mulai muncul, misalnya dengan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), namun masih dijalankan setengah hati. Tetapi setidaknya Arogansi negara yang melihat bahwa masyarakat sekitar hutan sebagai “pengganggu” sudah mulai dikikis. Meskipun, kemiskinan masyarakat sekitar hutan, terusirnya suku-suku asli, kerusakan ekosistem yang parah dan konflik pendudukan hutan serta bencana alam yang susul-menyusul masih menjadi hasil panen rutin dari pengelolaan hutan oleh negara.

Masyarakat dunia memang tidak tinggal diam. Berbagai krisis hutan yang mengemuka diatas kemudian melahirkan berbagai diskursus di tingkat global. Lahirlah konstruksi atau cara pandang baru yang berupaya mencari jalan tengah terhadap krisis pengelolaan hutan. Diskursus baru dalam kebijakan pengelolaan sumber daya hutan yang muncul belakangan setidaknya ada tiga wacana utama, yaitu keanekaragaman hayati (biodiversity), pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan tata kelola (governance) (Arts & Buizer, 2009:344). Wacana tentang pentingnya menlindungai keanekaragaman hayati, misalnya, baru muncul dan diperkenalkan pada tahun 1986 dalam konferensi “The National Forum on BioDiversity”, di Washington D.C. dan akhirnya konsep itu diterima serta diadospi oleh berbagai negara setelah Convention on Biological Diversity pada tahun 1992 di Rio de Janeiro.

Seiring dengan perubahan paradigma terhadap kebijakan pengelolaan hutan yang lebih holistik dan tidak melulu mengabdi untuk kepentingan industri dan pasar, negara sebagai penentu kebijakan dihadapkan pada tekanan-tekanan untuk memperhatikan faktor-faktor non ekonomi dalam kebijakan hutannya, seperti perlindungan pada kekayaan spesies, genetika dan habitat (untuk menjaga biodiversity hutan hujan tropis, misalnya) serta pengakuan terhadap hutan adat dan penerapan manajemen hutan berkelanjutan. Arah kebijakan kehutanan secara global juga menunjukkan pentingnya partisipasi berbegai elemen dalam “mendamaikan” tiga aset penting dalam kehidupan, yaitu “profit”, “people” dan “planet” (triple-P).

Kesadaran diatas muncul dalam kerangka mencari pola hubungan yang seimbang antara antroposentrisme dan ekosentrisme. Kepentingan lingkungan, ekonomi, dan masyarakat harus didudukkan pada posisi yang sama. Sebab, manusia tidak pernah mungkin terpisah dari alam. Dengan kata lain, hutan harus dilihat sebagai keseluruhan ekosistem di dalamnya, sehingga kesejahteraan masyarakat jangka panjang dapat dicapai. Selain itu, kebijakan pengelolaan hutan bukan hanya selesai dirumuskan dalam bentuk hukum atau perundangan formal saja, melainkan harus melahirkan konsensus bersama di lapangan dalam hal aturan main untuk mengakses, mengontrol, berinteraksi dan mengambil manfaat dari hutan.

Dengan demikian, kita hendaknya tidak menjadikan hutan sebagai arena konflik abadi antara negara vis a vis masyarakat. Tetapi berupaya menjadikan hutan sebagai arena negosiasi yang demokratis dalam rangka mengakomodir berbagai kepentingan. Peran NGO, masyarakat adat sekitar hutan, perguruan tinggi, serta industri swasta adalah untuk bernegosiasi dalam menentukan “kepemilikan” dan aturan main terhadap pengelolaan sumber daya hutan ini yang tentu saja harus difasilitasi oleh pemerintah pusat dan daerah - sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam mengelola hajat hidup orang banyak.    

1 comment:

  1. Nah ini dia....sudah tahu Hutan adalah Area Berkah Tuhan untuk kelengkapan Manusia tetap menjadi Manusia. Pertanyaan ada Ahlinya : PERSAKI , ada pemerintahannya dan Kabinet serta DPR atau MPR, ada Alamnya : 13800 pulau Indonesia : NKRI sabang sampai Merauke . Ada apa manusia Indonesia kok sedang dan sukanya ribut dan membuat orang susah..siMiskin tidak bisa makan sekolah..si kaya takut Miskin.......katanya beragama.....hehehehe

    ReplyDelete