02 June 2011

Desa dan Orang-Orang yang Kalah

Oleh : Yanu Endar Prasetyo
 
Transformasi ekonomi masyarakat, seringkali juga dipahami sebagai proses perubahan sosial. Sebagian ahli meyakini bahwa inti dari perubahan sosial adalah perubahan-perubahan dalam bidang ekonomi. Jika kita melihat perubahan ekonomi masyarakat petani misalnya, maka kita dapat melihatnya dari dua pendekatan utama, yaitu pendekatan idealistik dan materialistik. Pendekatan idealistik melihat pendorong utama perubahan sosial adalah nilai-nilai. Sedangkan pendekatan materialistik lebih menekankan bahwa perubahan cara produksi adalah dasar bagi perubahan-perubahan sosial yang lain.

Dalam pandangan sosiologi, perubahan struktur ekonomi tidak dimaknai sebagai perubahan pendapatan, suku bunga, penyerapan tenaga kerja atau pertumbuhan kuantitatif layaknya indikator ekonomi yang digunakan para ekonom. Perubahan ekonomi secara sosiologis dimaknai sebagai perubahan pola interaksi sosial kelompok masyarakat terkait aktivitas-aktivitasnya dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup. Dari interaksi sosial itulah, lahir proses produksi dan cara-cara produksi dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. 

Dalam konteks ini, struktur ekonomi masyarakat setidaknya dapat dibagi kedalam dua tipe, yaitu non-kapitalis dan kapitalis. Cara atau moda produksi non-kapitalis merupakan jenis moda produksi yang ada sebelum kapitalisme pasar demikian berkembang. Hasil produksi masyarakat tidak untuk dipertukarkan secara komersial, melainkan digunakan bersama secara sosial. Dengan demikian, orientasi struktur ekonomi non-kapitalis adalah nilai guna. Sedangkan moda produksi kapitalis sebaliknya, dimana hasil produksi dipertukarkan dalam pasar dan hanya sedikit yang digunakan bersama secara sosial. Sehingga dapat disebut orientasi ekonomi kapitalis adalah pada nilai tukar (Hanani & Purnomo, 2010:33).

Khusus di Indonesia, kajian tentang dinamika transformasi struktur ekonomi pedesaan sudah lama dipelajari. Banyak kajian yang mempelajari bagaimana dampak kolonialisme pada struktur ekonomi lokal, khususnya pengaruh sistem ekonomi kapitalis kolonial terhadap sistem ekonomi asli yang bersifat non-kapitalis. Persoalan penyesuaian diri masyarakat desa (petani khususnya) terhadap masuknya sistem ekonomi baru (kapitalis) inilah yang kemudian menjadi bahan kajian yang menarik

Sebagaimana teori ekonomi ganda yang dikemukakan oleh Dr. J.H. Boeke (1953), bahwa kegagalan masyarakat pra kapitalis (tipe komunitas dan paguyuban) dalam melakukan adaptasi di tengah “pertarungan” antara sistem sosial impor (kapitalis) dan sistem sosial asli akan menyebabkan anggota-anggota tubuhnya (desa) itu tercerai-berai, merana, melarat dan menderita (Sadli,1957 dalam Sayogjo 1982:43). Hal ini dipertegas oleh hasil-hasil studi dari Mahzab Bogor yang dikembangkan oleh Sajogjo dan murid-muridnya. Dharmawan (2007) mengatakan bahwa Mahzab Bogor memandang kemiskinan yang melanda masyarakat pedesaan pertanian di Indonesia itu adalah sebagai akibat dari modernisasi pertanian (Mardiyaningsih, 2010:29), yang tentu saja bersifat sangat kapitalistik.

Dua akibat pokok dari kegagalan menyesuaikan diri ini – masih menurut Boeke – adalah meningkatnya (kebiasaan) berhutang pada petani dan tekanan penduduk yang makin berat. Kebiasaan berhutang di desa tersebut adalah akibat dari ketidakmampuan komunitas dalam menyesuaikan diri dengan ekonomi jual beli (orientasi nilai tukar). Akibat masuknya sistem ekonomi pasar, pengeluaran petani yang semula hidup subsisten ini menjadi semakin banyak dalam bentuk uang. Barang impor, jasa angkutan, bunga uang, sewa dan pajak merasuk ke dalam sistem ekonomi mereka. Tidak heran jika saat ini kita melihat konsumerisme merajalela dan menjadi budaya baru dalam masyarakat desa. 

Tekanan penduduk juga telah melahirkan masalah baru, yaitu berupa pengangguran (terbuka maupun terselubung) yang semakin meluas di pedesaan. Seperti yang dikatakan oleh Karl Marx (1818-1883), hakekat manusia adalah pada “kerja”. Dengan kata lain, manusia sejatinya adalah makhluk produsen (Damsar, 2009:68). Sayangnya, sistem ekonomi kapitalis yang berkembang dan menguasai dunia saat ini, telah terbukti menghilangkan kontrol manusia atas pekerjaannya itu sendiri. Sebab, tenaga kerja (labour power) ini dalam sistem kapitalis telah dipertukarkan dengan benda abstrak yang disebut upah (uang). Kondisi semacam ini nampak jelas dalam dunia pertanian di Asia tenggara dan Indonesia yang pada awalnya bersifat non-kapitalis. Tetapi, hari ini kita menyaksikan banyak orang tinggal di desa, tetapi bukan petani dan kalaupun ada petani, banyak diantaranya yang tidak memiliki lahan sendiri (buruh tani). Sungguh ironis.

Jika kita ikut terusik dan gelisah melihat kehidupan petani yang demikian sulit, padahal mereka menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk bekerja dan bahkan tidak ada tanda-tanda petani itu menganggur. Tetapi mengapa tetap sulit untuk meningkatkan taraf penghidupan ekonominya? Transformasi ekonomi desa yang berubah semakin kapitalistik dan eksploitatif inilah barangkali jawaban dari kenapa kemiskinan yang terjadi di masyarakat – khususnya petani – sifatnya adalah kemiskinan struktural. Mereka adalah kelompok yang terpinggirkan dari aktivitas ekonomi kapitalis secara luas.

No comments:

Post a Comment