06 June 2011

Sisingaan, Perlawanan Budaya Terhadap Penjajahan

Artikel ini juga bisa dibaca di Majalah Intisari Online
Oleh : Yanu Endar Prasetyo

Siang yang basah karena rintik hujan hari itu, tiba-tiba digegerkan oleh dentum musik gamelan-rockdut (rock-dangdut) yang menggema dari arah jalan di seberang komplek rumah kami. Anak saya yang baru berusia 14 bulan pun dibuat penasaran dan merengek meminta diantar menuju sumber suara. “Itu Dik, lihat Sisingaan sama Ayah,” seru istri saya tiba-tiba menjawab rengekannya. Akhirnya, dengan semangat 45 dan setengah berlari saya gendong anak saya mengejar suara arak-arakan yang mulai timbul tenggelam itu.


Bagi yang belum tahu, Sisingaan adalah salah satu tradisi yang cukup populer di Tatar Sunda, khususnya di kabupaten Subang, Purwakarta, Sumedang, dan sekitarnya. Layaknya sebuah tradisi kesenian rakyat, Sisingaan ini penuh dengan aura kegembiraan, kemeriahan, dan suka cita. Apalagi secara khusus, dalam perkembangannya Sisingaan ini menjadi salah satu tradisi yang menjadi impian hampir sebagian besar anak kecil di kabupaten Subang. Rasanya belum lengkap masa kecil seseorang anak jikalau belum pernah “Naik Singa” dan diarak keliling kampung.

Ya, karena Sisingaan ini biasanya digelar untuk merayakan khitanan seorang anak laki-laki. Tentu saja tidak dilakukan pada saat hari H khitanan, karena bisa dibayangkan betapa sakit rasanya baru dikhitan terus diarak di atas tandu boneka Singa. Oleh karena itu, hajatan ini biasanya digelar sebelum atau sesudah seorang anak dikhitan. Bahkan, bisa juga pada suatu waktu ketika orangtuanya memang sedang berlimpah rejeki. Sisingaan ini bukan saja sebuah acara milik satu keluarga, melainkan bisa menjadi sebuah acara kolektif yang melibatkan lebih dari dua atau tiga orang anak dari keluarga yang berbeda. Artinya, ketika ada salah satu keluarga yang mengundang grup Sisingaan untuk pesta khitanan anaknya, maka keluarga lain boleh “menitipkan” anaknya untuk ikut ditandu grup Sisingaan.

Mereka akan didandani sama dengan anak yang empunya hajat serta diarak bersama-sama keliling kampung. Biasanya mereka yang nitip ini hanya cukup membayar antara Rp 300.000,- dan Rp 500.000,- saja, tergantung kesepakatan dengan pemilik hajat yang utama. Dengan demikian, acara arak-arakan replika singa ini menjadi lebih meriah dan menarik perhatian khalayak. Seandainya hanya satu anak saja yang diarak mungkin rasanya akan berbeda dibandingkan dengan jika teman-teman atau saudaranya yang lain juga ikut. Kenangan mereka naik Singa ini barangkali akan menjadi jauh lebih indah dan berwarna.

Menurut cerita Deden Hanafi, salah seorang warga Subang yang masa kecilnya pernah mengalami rasanya diarak grup Sisingaan, kenangan masa kecil tersebut ternyata masih saja membekas hingga dewasa.Walaupun hanya satu hari, ia dan kawan-kawannya kala itu merasa menjadi raja dan pusat perhatian semua orang. Selain itu, yang dinanti-nanti oleh anak-anak adalah adanya uang panyecep (uang kasih sayang) atau semacam angpauw yang diberikan oleh para tamu kepada mereka. Semakin lengkap saja rasanya pesta tradisi ini di mata anak-anak.

Menurut sejarah yang melekat dalam ingatan kolektif masyarakat Subang, Sisingaan ini mulai ada sejak zaman baheula, tepatnya ketika kolonialisme masih mencengkeramkan kukunya di Tanah Air. Pada saat Kompeni Belanda menjajah, Kabupaten Subang merupakan daerah perkebunan swasta yang dikuasai oleh perusahaan bernama P & T Lands (Pamanoekan en Tjiasemlanden). Pada masa itulah, tersosialisasi pada masyarakat Subang tentang lambang negara Belanda yakni crown atau mahkota kerajaan.

Dalam waktu yang bersamaan, Kabupaten Subang secara ekonomi juga berada di bawah kekuasaan Inggris, memiliki lambang negara berupa Singa. Lalu, apa kaitan antar lambang negara tersebut dengan seni tradisi Sisingaan? Ternyata, perlawanan masyarakat terhadap para penjajah itu tidak hanya berupa perlawanan fisik, namun juga perlawanan yang bersifat kultural. Salah satunya adalah dalam bentuk kesenian rakyat. Bentuk kesenian tersebut mengandung silib (yakni pembicaraan yang tidak langsung pada maksud dan tujuan), sindir (ironi atau sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan), siloka (kiasan atau melambangkan), dan sasmita (contoh cerita yang mengandung arti atau makna). Dengan demikian, masyarakat Subang telah menciptakan sebuah representasi sosial atas kekecewaan dan kebencian terhadap penjajah melalui kesenian Sisingaan ini.

Melalui kesenian ini, simbol-simbol dan kode-kode tertentu disampaikan secara sembunyi-sembunyi tetapi dapat dimengerti dan dipahami oleh anggota masyarakat lain yang senasib dan sepenanggungan. Seperti kita tahu, Singa sebagai simbol Negara Inggris dan Belanda itu, dalam gelaran Sisingaan pada akhirnya ditunggangi dan dikendalikan oleh anak kecil yang berada di atasnya. Hal ini dimaksudkan untuk mengejek dan memperolok para penjajah tersebut. Hingga saat ini, makna tersebut tidak pernah luntur dari memori warga Subang yang mencintai tradisi ini. Bahkan, oleh Pemerintah Daerah setempat, Sisingaan ini telah diabadikan dalam bentuk patung yang menjadi ikon kesenian dan ucapan selamat datang di Subang itu sendiri.

Untuk mempertegas eksistensi Sisingaan juga diadakan festival Sisingaan rutin untuk memperingati hari jadi Kota Subang (5 April) setiap tahunnya. Melihat antusiasme warga Subang terhadap Sisingaan ini dan tersedianya wadah festival tahunan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah, tampaknya tradisi ini masih akan tetap eksis pada masa mendatang. Grup-grup Sisingaan juga terus bertambah hingga berjumlah ratusan dan menyebar ke antero Kabupaten Subang. Bahkan tradisi ini juga terus didorong agar menjadi salah satu ciri khas kesenian di Jawa Barat pada umumnya.

Demikianlah, ternyata Subang dan Jawa Barat pada umumnya tidak hanya lekat dengan maung (harimau) sebagai simbol pasukan Prabu Siliwangi, melainkan juga bisa identik dengan Singa sebagai lambang perlawanan terhadap kolonialisme. Unik, bukan?


No comments:

Post a Comment