22 June 2011

Salah Ukur Kesejahteraan Rakyat

                                           Fenomena kesenjangan yang nyata antara angka-angka hasil pengukuran resmi dari biro pusat statistik suatu negara dengan kenyataannya di lapangan, ternyata menjadi perdebatan yang semakin hangat di kalangan ilmuwan dan pembuat kebijakan di seluruh dunia. Bukan hanya di Indonesia kita melihat betapa hasil-hasil survei BPS tentang penurunan angka kemiskinan dan pengangguran misalnya, yang bertolak belakang dengan kondisi sehari-hari dimana kehidupan masyarakat semakin susah, pekerjaan yang semakin sulit didapat dan wajah kemiskinan yang justru semakin akrab kita lihat. Sebagian pengamat dan orang awam melihat angka statistik pemerintah sebagai alat politik dan pencitraan positif kinerja pemerintah saja. Bahkan para pemimpin agama pun menuding pemerintah telah melakukan kebohongan publik akibat ketimpangan data dan kenyataan ini.


Namun, lebih dari itu buku ini menyadarkan kita semua bahwa ternyata alat ukur pemerintah dalam melihat kesejahteraan itulah yang sebenarnya salah digunakan, dalam konteks ini adalah Produk Domestik Bruto (PDB). Sehingga wajar jika banyak kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah kemudian menjadi tidak tepat, sia-sia dan bahkan memicu permasalahan yang lebih rumit akibat dari rujukan statistik yang salah.

Anggapan umum terhadap PDB selama ini adalah bahwa semakin besar angkanya, maka semakin makmur negeri itu dan warganya. PDB itu sendiri adalah indeks tentang output perekonomian keseluruhan suatu negara, antara lain berisi hitungan tentang hasil produksi pabrik, panen petani, penjualan ritel, dan belanja konstruksi. Angka PDB inilah yang kemudian cenderung menjadi data tunggal untuk melihat kemajuan suatu bangsa. Inilah juga salah satu pemicu negara-negara di dunia ini yang dengan membabi buta mengejar pertumbuhan ekonomi semata dan mengabaikan aspek-aspek lain seperti lingkungan, kesehatan dan kebahagiaan warganya. Dengan kata lain, menyamakan pertumbuhan ekonomi dengan kemajuan suatu negara merupakan sebuah kesesatan terbesar manusia abad ini, sehingga berakibat pada kerusakan planet oleh konsumsi dan polusi umat manusia yang semakin sulit dikendalikan.

Buku yang merupakan hasil kerja komisi internasional yang dibentuk oleh Presiden Prancis, Nicolas Sarkozy pada tahun 2008 dan diketuai oleh peraih nobel ekonomi 2001, Joseph Stiglitz ini mencoba untuk mengkaji ulang PDB sebagai indikator kinerja ekonomi dan kemajuan sosial, mencari informasi tambahan apakah yang dibutuhkan untuk mendapatkan gambaran kesejahteraan yang lebih relevan dan mengkaji kelayakan alat ukur alternatif tersebut. Komisi ini dengan sangat bijak menempatkan landasan filosofis bahwasanya yang terpenting bukan hanya soal seberapa makmur kita hari ini, namun seberapa makmur kita nanti di masa depan? Apakah yang kita nikmati hari ini dapat terjamin keberlanjutannya? Pada konteks inilah kemudian isu-isu lingkungan menjadi sangat penting untuk diikutsertakan.

Secara konseptual, komisi ini mencoba mengelaborasi tiga pendekatan untuk melihat dan mengukur kualitas hidup yang lebih mendekati kenyataan. Pertama, pendekatan kesejahteraan subjektif. Filosofisnya adalah individu merupakan hakim terbaik untuk melihat keadaan diri mereka sendiri. Apakah mereka “bahagia” dan “puas” dengan kondisi kehidupan mereka. Kedua, pendekatan kapabilitas. Pendekatan ini melihat kehidupan sebagai kombinasi antara berbagai “kegiatan dan kedirian“ (fuctionings) dan kebebasannya untuk memilih diantara fungsi-fungsi tersebut (capabilities). Ketiga, pendekatan alokasi yang adil. Pendekatan ini mencoba menimbang berbagai dimensi non-moneter kualitas hidup dengan suatu cara yang lebih menghargai preferensi seseorang. Dengan demikian, maka ukuran kesejahteraan diharapkan lebih bisa mencerminkan secara lebih luas apa yang berlangsung pada kehidupan warga pada umumnya termasuk apa yang terjadi pada kaum miskin.

Buku ini juga memberikan pesan kritis kepada kita semua bahwa untuk memperbaiki ukuran statistik tentang kemajuan dan kemakmuran ini tidak hanya dibutuhkan kemampuan teknis, tetapi juga menuntut kemauan politis dari para pemimpin di seluruh negara. Momentum krisis lingkungan global saat ini tentu saja menjadi alasan kuat bagi seluruh pemimpin politik untuk menentukan apakah visi tentang kemakmuran rakyat yang lebih nyata dan terjamin keberlanjutannya mau sungguh-sungguh dicapai atau tidak? Kita tunggu saja.

Oleh : Yanu Endar Prasetyo

Judul                : Mengukur Kesejahteraan : Mengapa PDB Bukan Tolak Ukur yang Tepat untuk menilai kemajuan?
Penulis             : Joseph E. Stiglitz, Amartya Sen, dan Jean-Paul Fitoussi
Penerbit           : Marjin Kiri
Tahun              : Aapril, 2011
Tebal               : 180 halaman
Harga              : Rp. 44.000,-


No comments:

Post a Comment