Artikel Ini dimuat di Harian Inilah Koran, Edisi Kamis 8 Desember 2011, Hal Aspirasi
“Hari mulai siang bukan karena ayam berkokok, melainkan ayam berkokok karena hari mulai siang!” demikian salah satu cerita dari Egmond Rostand yang dikutip oleh Bung Hatta dalam otobiografinya (2011:108). Bung Hatta menulis itu dalam kaitan untuk menggambarkan hubungan antara pemimpin dan kehendak rakyat yang dipimpinnya. Menurutnya, pemimpin sejati bukanlah seperti ayam yang merasa bahwa tanpa ia berkokok maka matahari tidak akan muncul. Akan tetapi pemimpin sejati ialah yang paling mampu merasakan kegelisahan dan keadaan rakyatnya (seperti makin susahnya hidup karena banyaknya koruptor) dan kemudian ia berjuang untuk membangun kesadaran semua orang (berperang melawan korupsi). Lalu, apa kaitannya ayam berkokok dengan peristiwa kebangsaan kita akhir-akhir ini?
Tentu sangat terkait. Bukan hanya karena kita
bersyukur telah memiliki pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru,
tetapi juga bagaimana kita sebagai rakyat harus dengan cerdas menilai dan
menyikapi manuver-manuver para politisi yang kadang-kadang mengaku sebagai
pemimpin bangsa itu. Kita harus lihai memilih dan memilah diantara mereka itu
mana yang benar-benar pemimpin dan mana yang hanya seorang “ayam (tukang)
berkokok”, yaitu yang merasa paling benar sendiri, paling bersih, paling kuat,
paling penting, dan paling populer.
Mencari pemimpin yang sempurna memang tidak mungkin,
tetapi bukan berarti kita pasrah menerima begitu saja dipimpin oleh mereka yang
tidak berpihak pada kepentingan umum. Dalam dua segi saja sebenarnya kita sudah
dapat melihat mana pemimpin yang benar-benar tulus bekerja dan mana yang tidak.
Pertama adalah seberapa kuat
komitmennya dalam berperang melawan korupsi dan kedua, sejauh mana ia menghindari gaya hidup bermewah-mewah atau
hedonisme.
Dengan tidak korupsi berarti pemimpin itu telah
berbuat adil dan benar, yaitu menempatkan segala sesuatu sesuai dengan porsi
dan peruntukannya. Apakah itu mudah? Tentu saja tidak. Terlebih di jaman
sekarang dimana korupsi sudah melembaga, sistemik, dan mengakar di hampir
setiap bidang kehidupan. Mereka yang setiap hari berteriak-teriak anti-korupsi
dan menghujat koruptor di layar kaca dan media pun belum tentu juga bersih atau
tidak korupsi. Kalau begitu, sulit sekali membedakan mana pemimpin yang bersih
dan yang pura-pura bersih? Memang begitu. Tetapi dari segi yang kedua, yaitu
gaya hidup dan kehidupannya, kita mungkin akan mampu membedakannya.
Semakin pemimpin itu bergaya hidup mewah dan jauh dari
gambaran kehidupan rakyat pada umumnya, maka kita boleh curiga bahwa ia
bukanlah pemimpin yang dengan tulus memperjuangkan aspirasi publik. Sebab,
nyata benar bahwa sebagian besar masyarakat kita masih berkubang dalam
kemiskinan dan kesusahan, maka hati pemimpin mana yang tega melenggang santai
dengan kemewahannya di depan kemelaratan rakyatnya itu? Kecuali mereka yang
telah tertutup mata hati dan pintu nuraninya. Pemimpin yang demikian tidak
layak disebut pemimpin. Sebab, seperti kata Bung Karno, pemimpin itu lahir dan
hidup di tengah-tengah rakyat, bukan mereka yang mengambil jarak dengannya.
Tetapi, bagaimana mungkin bisa menjadi pemimpin jika
tidak punya uang dan modal yang banyak? Bukankah kita harus kaya terlebih
dahulu sehingga bisa membeli suara dan dukungan rakyat? Inilah akibat dari
buruknya kinerja partai-partai politik kita. Mereka tidak menghasilkan pemimpin
politik yang kuat dan idealis, melainkan hanya merekrut orang-orang berkantong
tebal untuk dijadikan boneka dan sapi perahan. Di sisi lain, kita gagal
melakukan pendidikan politik pada rakyat. Jadilah mereka yang kini kita sebut
sebagai pemimpin itu hanyalah kumpulan orang yang saban hari pernyatannya
membuat bingung, pusing, dan jengkel masyarakat luas. Ibarat kumpulan ayam yang
berkokok terlalu dini : riuh tetapi kosong dan hampa (berisik).
oleh karena itu mas,, ayamnya belum di kasih "makan".. jadi terus berkokok, coba kalau di kasih "makan" pasti diam bahkan cenderung diabaikan.
ReplyDelete