Resensi oleh : Yanu Endar Prasetyo
Sejak membuka lembar pertama, saya tidak bisa berhenti membaca novel karya Langit Kresna Hariadi ini. Demikian memikat jalan cerita dan bahasa tutur penulisnya, membuat saya tidak bisa melepaskan buku ini sebelum tuntas membacanya. Alhasil, ditengah perjalanan, di dalam angkot hingga di tengah-tengah diskusi kuliah (maaf pak dosen J) saya “terpaksa” mencuri waktu demi menelan habis kisah dalam novel serial kedua "Gajah Mada : Bergulat dalam Kemelut Takhta dan Angkara” ini secepat mungkin. Lebih dari sekedar menuruti rasa penasaran yang ditimbulkan oleh alur ceritanya, tetapi juga karena banyak sekali pelajaran kehidupan yang dapat dipetik di setiap lembar kisahnya.
Apa yang
membuat saya begitu tertarik adalah pertama-tama karena pengaruh pengalaman
personal dimasa kecil. Membaca novel ini dengan tanpa sengaja mengingatkan Saya
pada era tahun 1990-an, ketika setiap sore atau malam saya “tanpa sengaja” sering
mendengarkan drama serial di radio (entah RRI atau radio lokal) yang bertemakan kisah kerajaan di masa lalu, seperti Majapahit, Singosari, hingga serial Mahabarata
dan Ramayana. Suara derap langkah kuda yang khas menghiasi penggalan narasi di
radio kala itu, seperti hidup dan terngiang kembali ketika membaca novel ini. Benar-benar
membawa imajinasi yang akrab ke masa lampau. Barangkali karena kepiawaian
penulisnya dalam bertutur dan juga riset-riset komprehensif yang dilakukan
menyebabkan novel setebal 508 halaman ini kaya akan pengetahuan sejarah yang cukup detail dan boleh diacungi jempol.
Dalam novel ini, Langit Kresna Hariadi menempatkan suksesi kekuasaan di Majapahit
sebagai setting politiknya. Polemik
perebutan kekuasaan terasa kental dengan bumbu-bumbu misteri pembunuhan,
persekongkolan, kebohongan, fitnah dan kegalauan yang menghinggapi masing-masing
tokohnya. Dimulai dari terbunuhnya Raja Jayanegara yang diracun oleh Ra Tanca. Setelah
meracun Raja - dengan memanfaatkan kemampuannya sebagai tabib yang dipercaya –
tanpa ampun Gajah Mada langsung balas membunuh Ra Tanca seketika itu juga. Ra
Tanca sendiri di masa lalu memang memiliki riwayat makar – pendukung Ra Kuti,
pemberontak sebelumnya – tetapi kemudian ia menyerah dan mendapat pengampunan
dari Jayanegara.
(Gajah Mada)
Pasca mangkat-nya
orang nomor satu di Majapahit yang mendadak itu, terjadi kekosongan kekuasaan
yang membuat seluruh Majapahit gelisah. Ya, sebab Jayanegara tidak meninggalkan
seorang anak sebagai pewaris tahta kerajaannya. Tetapi ia memiliki dua orang
adik perempuan, Sri Gitarja (kelak bergelar Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani) dan Dyah Wiyat. Siapakah diantara kedua perempuan tersebut
yang layak menggantikan Jayanegara? Disinilah konflik utama dalam novel ini
dibangun. Kedua putri Raja atau calon ratu itu digambarkan sebagai kakak
beradik yang saling menyayangi satu sama lain. Akan tetapi kursi kekuasaan itu
berhawa panas dan mengundang nafsu manusia untuk menguasainya. Bukan kedua
putri Raja itu ternyata yang saling jegal, melainkan kedua orang dekat calon
suami mereka, Raden Cakradara dan Raden Kudamerta yang melakukan intrik-intrik
keji demi menggapai kekuasaan.
Singkat cerita,
pasca terbunuhnya Jayanegara itu terjadi peristiwa pembunuhan beruntun yang menimpa
kerabat dan orang-orang dekat Radet Kudamerta (calon suami Dyah Wiyat). Rentetan pembunuhan, baik yang berhasil maupun yang gagal itulah yang menjadi
teka-teki sepanjang novel ini. Gajah Mada, sebagai seorang Patih Daha dan
mantan pemimpin pasukan Bhayangkara (semacam pasukan khusus dan terlatih) berada
di tengah-tengah pusaran misteri ini dan berupaya untuk memecahkannya. Gajah
Mada sendiri digambarkan sebagai sosok yang kuat secara fisik, berwibawa dan
cerdas ini memiliki peran sentral dalam menyatukan berbagai kepingan misteri
yang ada. Ia juga menjadi orang yang dipercaya, baik oleh Ratu (biksuni)
Gayatri maupun oleh keluarga Jayanegara. Pengarang novel ini rupanya lebih
menonjolkan sisi kecerdikan Gajah Mada dalam mengorganisir pasukan Bhayangkara
dan para telik sandi daripada
menonjolkan kekuatan fisik atau kanuragannya. Bahkan hingga selesai, hanya ada
satu adegan perkelahian yang dilakoni Gajah Mada, yaitu ketika menggagalkan rencanya
anak buah Panji Wiradapa (orang dekat raden Kudamerta) yang ingin
menghalang-halangi istri dan anak pertama raden Kudamerta - yang berarti ia
membohongi Dyah Wiyat dan Majapahit karena mengaku belum mempunyai istri dan
anak - Dyah Menur, untuk kembali menuju kotaraja.
Balas
dendam yang tak berkesudahan memang mewarnai perjalanan kerajaan-kerajaan kecil
maupun besar di masa lalu. Perebutan kekuasaan dengan cara-cara yang kotor dan
keji – seperti kisah Ken Arok dalam menguasai Singasari – juga mampu diselipkan
dengan cantik oleh pengarang novel ini. Barangkali kekurangan – sebenarnya juga
bisa dianggap kelebihan disisi lain - yang terkandung dalam novel ini adalah pembaca
akan menemui banyak sekali nama alias
atau samaran dari setiap tokoh yang jika tidak runut atau sabar membaca akan
membuat bingung. Memang demikian dilema menulis novel berlatar sejarah,
minimnya sumber tertulis dan simpang siur nama tempat, tokoh, tahun dan cerita
tidaklah mudah untuk dijahit dengan sempurna.
Terlepas dari
itu, membaca novel ini kita akan menemukan banyak pelajaran mengejutkan. Bahwa tidak
selamanya laki-laki itu adalah sosok yang tegar dan kuat, terutama ketika
terjepit dan terpojok. Justru perempuan yang seringkali dianggap lemah, mampu
tampil tegar dalam himpitan kekecewaan dan kesedihan yang bertubi-tubi. Dilema cinta
yang dipendam Dyah Wiyat kepada Ra Tanca (pembunuh kakaknya) dan kebohongan
yang dilakukan oleh raden Kudamerta (calon suaminya) serta kerelaan Sri Gitarja
menyerahkan kursi kekuasaan kepada adiknya adalah contoh bagaimana perempuan
mampu berpikir jernih dan tegar bahkan ketika dirundung duka dan kekecewaan. Iri,
dengki, dan hasutan yang digambarkan dalam novel ini juga refleksi dari
kehidupan kita sehari-hari. Betapa (dalam politik) orang-orang paling berbahaya itu seringkali justru
berasal dari orang-orang terdekat kita sendiri!
Judul
Buku : Gajah Mada : Bergulat Dalam
Kemelut Takhta dan Angkara
Pengarang
: Langit Kresna Hariadi
Penerbit
: Tiga Serangkai-Solo
Tahun
terbit : April 2008 (cetakan kedelapan)
Halaman
: xii-508
Serial Novel Gajah Mada Karya Langit Kresna Hariadi
No comments:
Post a Comment