10 July 2012

Studi Banding Pansus RUU Desa Ke Brazil dan Cina = Mubazir!



Oleh : Arya Hadi Dharmawan

Harian Kompas edisi 09.07.2012 halaman 4 memuat berita tentang Pansus RUU Desa DPR RI yang sebagian pergi ke China dan sebagian lain akan ke Brazil serta yang lain memilih tak pergi ke luar negeri. Menanggapi keputusan mereka yang pergi ke China dan Brazil ini, aku lalu menulis pesan ke grup BBM yang di dalamnya ada beberapa teman anggota DPR yang kukenal baik. Begini kira-kira redaksi isi BBM-ku [diedit].  



Kawan-kawanku anggota DPR RI [Pansus RUU Desa] yang baik...



Mengapa Pansus RUU Desa DPR harus studi banding ke China dan Brazil kawan-kawan? Bukankah semua orang paham, bahwa struktur sosial, etika moral dan ideologi, serta budaya masyarakat desa di China/Brazil berbeda total dengan desa2 kita. Belum lagi soal landscape dan setting ekologi sebagai pembentuk "kesatuan masyarakat hukum" desa di Amerika Latin dan China, jelas berbeda 100% dengan Indonesia. Lalu apa yang hendak kalian pelajari buat desa kita? adakah manfaatnya?



Kawan-kawanku para anggota DPR RI [Pansus RUU Desa] yang budiman...

Kalian perlu tahu bahwa desa-desa di Indonesia saja sudah amat-sangat beragam karakternya. Diantara desa-desa itu akan sangat sulit disatukan cara pengelolaannya. Range keragaman itu begitu luasnya: Desa Jawa vs Desa Luar Jawa, Desa Pesisir vs Desa Pegunungan, Desa di Indonesia Bag Barat vs Desa di Indonesia bagian Timur.

Apakah kalian menganggap kasus-kasus desa di Indonesia kurang beragamnya dan kurang inspiratifnya, sehingga DPR memerlukan harus pergi ke China dan Brazil?

Kawan-kawanku anggota DPR RI [Pansus RUU Desa] yang baik...

Saya baca di Kompas, bahwa salah satu tujuan kalian ke China adalah meninjau satu desa yg industri-nya maju. Kalau hal ini yang hendak kalian tuju, maka bukankah kalian mensimplifikasi soal desa dan pedesaan kita? Persoalan desa sangat kompleks tak hanya soal memacu industri pedesaan. Namun, jikalaupun kalian perlu contoh industri pedesaan yang maju, kenapa tak pergi saja ke Jepara Jawa Tengah (sentra indutri ukiran - furnitur) yang mampu menghadirkan jutaan dollar pe minggu kepada warganya, kenapa harus ke China? Atau kalian pergi ke salah satu desa sentra Bordir di Kab. Tasikmalaya yg punya konseksi perdagangan sampai China dan ASEAN yg bisa men-generate jutaan dollar per bulan bagi warganya, kenapa harus ke Brazil? Atau pergilah kalian ke pinggiran danau Toba di Sumatera Utara atau pinggiran Danau Bedugul di Bali yang ekonominya bergerak-deras dengan industri pertanian hortikultura yg menyejahterakan warganya. Begitu banyak contoh di Indonesia, bukan? Kenapa China dan Brazilia?

Kawan-kawanku anggota DPR RI [Pansus RUU Desa] yang budiman...

Persoalan penataan desa bukanlah melulu soal "seperti apa disain pembangunan ekonominya" walau ini penting. Melainkan, "bagaimana desa meraih kewenangan dan memandirikan warga desanya dari ketergantungan" pihak luar. Jikalau ini yang kalian pikirkan, maka kalian harus menengok struktur ekonomi politik dan struktur agraria penguasaan SDA suatu kawasan. Persoalannya, struktur agraria Latin Amerika yg penuh dengan struktur Hacienda yang berhadap-hadapan sangat keras dengan Latifundia dengan ciri konflik serta pertarungan agraria sangat radikal (sering hingga dengan angkat senjata). Ciri struktur ekologi politik SDA disana jelas sangat berbeda dengan ciri struktur agraria yang umumnya peasantry-semi individual ala Indonesia. Kalau demikian, untuk apa ke Brazilia, yang jelas pengalamannya tak bisa dipakai di Indonesia, kecuali soal gerakan sosialnya saja. Kalau kalian hendak melihat pola kerjasama Hacienda - Latifundia, maka pengalaman PIR dan kemitraan di Indonesia bisa menjadi pelajaran. Pertanyaannya: bisakah pelajaran "buruk" dalam struktur-struktur pola hubungan sosial agraria yang terlanjur memburuk di negeri ini bisa diperbaiki via pendekatan orisinal dengan kelembagaan ala Indonesia? Inilah yang justru kita cari. Apakah kita akan mengimpor cara-cara Brazilia yg "alienatif" terhadap struktur agraria Indonesia, sebagai pelajaran? Bukankah itu naif sekali?

Kawan-kawanku di parlemen [Pansus RUU Desa] yang berbahagia....

Jadi kembali lagi, apa yang akan dicari oleh tim studi banding RUU Desa DPR RI ke Brazilia dan China? Bisakah kita mendapatkan sesuatu yang berharga yang bisa diimpor untuk selanjutnya diterapkan di Indonesia? Ini pertanyaan besar yg perlu dijawab oleh Pansus RUU Desa, sebelum mereka bisa-bisa dipojokkan oleh publik (bukankah publik negeri ini sangat alergi mengengar segala hal terkait studi banding)?

Kawan-kawan di Pansus RUU Desa DPR RI yang berbahagia... 

Teori-teori pembangunan desa dimanapun dari yang dikembangkan Chrystaller atau Von Thunen di Jerman sampai Teori sosiologi pedesaan dari Sajogyo dan Selo Sumarjan dari Indonesia sangat memberikan petunjuk bahwa setiap desa itu pada hakikatnya punya CULTURAL DISTINCTION, setiap desa punya SPATIAL PECULIARITY yg tidak dimiliki oleh desa lain, bahkan bagi desa disebelahnya sekalipun. Teori dan praktek pembangunan, sudah ribuan pelajaran membuktikan adanya thesis "THE FAILURE OF REPLICATION" (kegagalan mereplikasi kekhasan desa A yg dibawa ke desa B). Artinya: jangan pernah mencoba menerapkan bahwa success story di Desa A bisa serta-merta direplikasi di Desa B dan jangan berharap bakal sukses juga dihadirkan bagi desa B). Semua pakar sosial-ekonomi pedesaan paham sekali tentang hal ini. Jadi, pertanyaannya: kalaupun desa di China bisa sukses (ukuran sukses itu apa ya?), maka musykil rasanya hal itu lalu bisa direplikasikan di desa-desa di Cianjur, Wonogiri, Konawe, Merauke dst....[Saya terus terang kurang paham rational-basis dari studi banding ini apa? Saya tidak mempersoalkan studi bandingnya, melainkan efektivitasnya]. 

Pada akhirnya, saya kasihan terhadap teman-teman anggota DPR RI dari Pansus RUU Desa yang tidak saja bakal disorot tajam soal studi bandingnya oleh publik. Juga saya boleh menduga, bahwa teman-teman DPR RI TIDAK AKAN MEMBAWA PENGALAMAN BERHARGA APAPUN untuk RUU Desa dari kunjungan ke China dan Brazilia ini, kecuali pengalaman pribadi yang bisa menyaksikan seperti apa wajah desa di China dan Brazilia itu, dan kebingungan yang menyedihkan, karena kalian akan tahu betapa tidak kompatibelnya pengelolaan desa-desa di China dan Brazil dengan di Indonesia. Belum lagi, desa di China bagian selatan punya sistem sosial yang berbeda dengan di Utara, dan yang di Barat pun sangat berbeda antara yang dekat dengan Eropa Tengah dan yang dekat-dekat ke kawasan India. Lalu desa China yg mana? Juga Brazilia itu sebuah "jazirah" yg luas. Desa dekat amazon tentu beda dengan yg diluar kawasan itu. Jadi desa Brazilia yg mana? Sungguh studi banding ini tak akan menghasilkan apa-apa. Bukan saya mendahului Tuhan dan pesimis. Belajarlah ke Papua (antara Papua Barat dengan Papua saja sudah berbeda). Belajarlah ke NTB, mengapa antara desa-desa suku Sasak selalu berbeda dengan desa-desa non suku Sasak. Belajarlah ke Kalimantan, mengapa desa Melayu berbeda cara pengelolaannya dengan Desa Dayak. Belajarlah ke Sumbar, mengapa konsep Nagari tidak operasional/tidak jalan di desa-desa di luar ranah Minang sekalipun tetap dalam satu Provinsi Sumbar....dst. Pertanyaannya: sudahkah kita memahami desa kita dengan baik sebelum ke luar negeri?

Salam keprihatinan desa dan semoga publik tidak emosional atas keputusan kalian pergi ke luar negeri.....
====================================================================

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr  

--------------------------------------------------------------------------------------------
Head of Rural Sociology Study Program of the Graduate School 
of Bogor Agricultural University 
Kampus IPB Darmaga
Jl. Kamper Wing 1 Level 3 
Bogor 16680 INDONESIA 
telp/fax: +62 251 8627793 

http://jurnalsodality.ipb.ac.id 

http://spd.ipb.ac.id

http://www.facebook.com/arya.dharmawan

List-owner/Moderator of http://www.yahoogroups.com/group/LISI

List-owner/Moderator of  http://www.yahoogroups.com/group/spdipb

List-owner/Moderator of  http://www.yahoogroups.com/group/APSSI

No comments:

Post a Comment