02 August 2012

Surat dari Ayah (1) : cq. Arafa Nuhbahtra

1 Agustus 2012
Dear Arafa Nuhbahtra,

Seperti baru kemarin melihatmu “terjun bebas” dari rahim bunda. Kulitmu yang merah, tangisanmu yang memecah gelembung ketegangan menjadi rona kebahagiaan pada setiap wajah orang di keluarga kita. Semua masih tergambar jelas. Benar-benar seperti baru kemarin. 

Bundamu saja masih serupa ketika pertama ayah meminangnya. Padahal hampir 4 tahun sudah kami berdua bersama, dan tiga tahun sudah kita hidup serumah bertiga.

Kehadiranmu tiga tahun lalu memang bak gempa, khususnya dalam kehidupan ayah. Semua hal berubah begitu cepat dan drastis. Khususnya dalam cara ayah memandang dunia. Ibarat dalam sebuah nyenyak yang terbuai mimpi, kamu membangunkanku hingga tak sempat tertidur lagi. Lebih gagah dari itu, kamu justru hadir bak “cermin hidup” bagi ayah. Tidak saja kerumitan yang membahagiakan, kamu juga hadir memberi pelajaran buat ayah. Pelajaran tentang kehidupan.


Ketika kamu marah, gaya dan perilakumu sungguh tak asing. Itu aku.

Ketika kamu merengek, merajuk meminta sesuatu, kamu selalu bisa membuat ayah marah. Aku memarahimu, tak jarang mencubit dan menabok pantatmu. Tapi bukannya kamu takut, justru kamu balik memarahiku. Apa-apaan ini? tanyaku pada diriku sendiri.

Kamu yang haus perhatian, selalu sukses mencuri perhatian orang-orang disekelilingmu. Dan kamu paling cepat belajar untuk urusan yang satu itu. Tak pernah kehabisan akal.

Tidak mau diatur. Sepertinya sifat itu juga tidak asing bagiku. Dan mungkin kelak bagimu.

Hanya soal warna kulit, wajahmu dan wadag fisikmu, sepertinya itu 90% duplikat bundamu. Aku mensyukuri itu, sangat-sangat mensyukuri itu (jangan tertawa kau, Nak!)

Tak akan habis daftar untuk mengungkapkan kejengkelan, kekaguman, kebahagiaan, dan rasa bersalah ayah kepadamu, jagoan. Jauh dari sempurna aku berperan menjadi ayahmu. Ayah janji, akan berusaha menjadi teman yang lebih baik lagi bagimu, dan juga adikmu kelak.


Tapi, terkadang ayah takut, kita tidak punya waktu lebih lama untuk bersua, berantem, bercanda dan berbagi. Ayah takut, ada hal lain yang selalu masuk daftar prioritas diatas nomor urutmu. Tapi tentu itu bukan keinginan ayah. Semoga ayah selalu diberi kekuatan untuk menomorsatukan dirimu dan keluarga kecil kita ini. Meskipun pada waktunya nanti, Engkau pasti paham bahwa hal terpenting dalam hidup ini adalah mengetahui dan menentukan tujuanmu sendiri.

Sekuat tenaga, ayah – dan sudah pasti bunda – akan berusaha menjadi orang pertama dan terakhir yang selalu mendukungmu meraih tujuan-tujuan hidupmu.

Selamat berulang tahun.
Dari Ayah Yanu Endar Prasetyo

No comments:

Post a Comment