Menulislah Dengan
Cinta!
“tidak ada
cara yang baku dalam menulis dan menghasilkan karya, tapi setidaknya lakukanlah
dengan sepenuh hati, menulislah dengan cinta”
(Hermawan
Aksan)
Itulah barangkali benang merah hasil diskusi Obrolan
Penulis Subang kemarin (Senin, 24/12/12) di RM. Bale Desa Kabupaten Subang. Acara
diskusi bulanan yang digagas dan diselenggarakan oleh Penerbit Tiga maha
tersebut menghadirkan salah satu penulis serba bisa dari Bandung, Hermawan
Aksan. Selain sibuk menjadi salah satu redaktur di Harian Tribun Jabar,
Hermawan Aksan juga sangat produktif dalam menulis, baik berupa cerpen, carpon (cerita pendek berbahasa Sunda), novel, non fiksi, maupun
menjadi editor dan penyunting naskah buku-buku bestseller lainnya. Tentu menjadi kesempatan
yang langka bagi teman-teman penulis di Subang untuk bisa bersua dengan sang penulis.
Dari
hitungan saya, sekitar 24 orang peserta yang hadir dalam acara ini. Tua dan
muda. Laki-laki dan perempuan. Salah satu yang menarik adalah hadirnya penulis cilik
kita, jessica martiana (12 tahun), yang sengaja diantar oleh mamanya untuk
menghadiri diskusi ini. Saya sendiri sudah membaca beberapa cerpen (yang belum
dibukukan) karya jessica, menurut saya jika mau terus berlatih dia akan bisa
jadi penulis yang luar biasa. Imajinatif, itulah ciri khas cerpen jessica. Selain
jessica, hadir juga satu keluarga lengkap dari Subang Utara, tepatnya
Pusakanegara. Mereka adalah keluarga besar bapak Tarjoni, salah seorang guru di
Madrasah Ibtidaiyah di Subang. Sebagian besar peserta lainnya adalah
teman-teman mahasiswa dari universitas Subang (Unsub), HMI, beberapa jurnalis
dan tentu saja beberapa anggota dari Komunitas Blogger Subang (KBS).
Diskusi
dibuka dengan paparan “riwayat” kepenulisan Hermawan Aksan. Siapa yang
menyangka bahwa ternyata menjadi penulis bukanlah mimpinya dari kecil. Bahkan sama
sekali tidak terbayang olehnya. Meskipun demikian, kebiasaan membaca yang
dimilikinya memang sudah terasah sejak kecil, dimana orang tuanya sering
membawa surat kabar dan majalah masa itu ke rumah. Hermawan kecil pun melahap
semua bahan bacaan itu. Saat beranjak remaja, minat studinya pun cukup “tidak
biasa”, ia memilih jurusan astronomi ITB sebagai pelabuhan “sementara”nya. Di sela-sela
kuliah, ia banyak menghabiskan waktu di perpustakaan membaca berbagai buku,
termasuk karya sastra. Ia bisa berada di perpustakaan dari buka sampai tutup. Bahkan
sering menamatkan satu buku beberapa kali. Kutu buku.
Karir
menulisnya ternyata cukup panjang dan berliku. Sama seperti kita penulis pemula
lainnya, beberapa karyanya juga sering ditolak oleh media. Namun dengan tetap
semangat, pada akhirnya karya cerpen maupun cerponnya bisa diterima oleh media
dan bahkan menjuarai beberapa sayembara penulisan. Kecuali puisi, Hermawan
mengaku “menyerah” menulis puisi, akibat dari puisinya yang selalu gagal
dimuat. Setelah cukup lama bergelut dengan cerpen, Hermawan Aksan pun
menelorkan novel pertamanya, “Dyah Pitaloka : Senja Di Langit Majapahit”.
Disusul novel-novel dan kumcer berikutnya. Sejak saat itu, panggilan untuk
menjadi editor dan proof reader dari
berbagai penerbit dan penulis tidak pernah berhenti sampai sekarang, salah satu
pelanggannya adalah penulis wanita
ternama, Dewi Lestari (Dee). Sangking banyaknya tawaran, “bahkan saya sempat menolak beberapa tawaran” tuturnya. Curriculum Vitae yang cukup lengkap
tentang karya-karya Hermawan Aksan dapat dilihat disini.
Ketika
diskusi dimulai, peserta antusias bergiliran bertanya atau sekedar sharing. Terhitung
ada lima kali termin tanya jawab yang saya buka. Setiap termin ada tiga atau
empat penanya. Sebagian besar pertanyaan seputar bagaimana tips dan trik dalam
menulis? Bagaimana agar dimuat media? Bagaimana mencari judul yang baik? Bagaimana
mengatasi kendala menulis (mentok) dan lain sebagainya. Dengan sabar dan santai
Hermawan menjawab satu persatu pertanyaan peserta. Sesekali setiap selesai
menjawab Ia akan bertanya pada si penanya, “kira-kira
sudah menjawab belum ya?”. Pembawaan Hermawan Aksan yang tenang, kalem, dan
terus menebar senyum nampaknya mampu membawa forum diskusi ini berjalan hangat.
Sampai
pada sesi makan siang bersama, peserta masih nampak antusias. Makin menyenangkan
ketika datang sekardus rambutan yang dibawa oleh kawan Didi Sopyan dari kampung
Cipacar. Berikut Brownies Amerta yang dibawa oleh Sally “Esage” juga hampir tak
bersisa (untung masih ada beberapa potong untuk saya bawa pulang hehe). Di akhir
acara, semua peserta sepakat agar diskusi ini bisa dijalankan secara rutin,
bulanan. Tentu saja tidak melulu di rumah makan, tetapi di tempat yang variatif
dengan pembicara-pembicara yang semakin mantab. Semoga saja, karena tujuan kami
mengadakan kegiatan ini adalah untuk membangun budaya menulis dan berdiskusi
plus bonus agar kita semua panjang umur karena rajin menulis dan bersilaturahmi.
"penulis itu (memang) seksi"
Salam
kata.
YEP
Postingan tentang menulislah dengan cinta... sangat menarik untuk dibaca saya suka mengunjungi blog ini
ReplyDeleteAh, sayang saya tak hadir waktu itu.
ReplyDeletePenulis (blog) memang seksi mas. :D