21 November 2013

Kompetisi Debat Mahasiswa : Sebuah Nostalgia



Beberapa pekan yang lalu, hari kamis sore, saya dikirimi pesan singkat oleh Teguh, wakil presiden BEM Universitas Subang (UNSUB). Malam harinya pesan singkat tersebut baru terbaca. Intinya Ia meminta bantuan saya untuk menjadi juri sebuah lomba antar jurusan di Unsub. Debat mahasiswa? membaca pesan tersebut sontak memori saya seperti terlempar pada sebelas tahun yang lalu, tepatnya di tahun 2002, dimana untuk pertama kalinya saya berkesempatan mengikuti lomba serupa, tetapi untuk tingkat pelajar se-Jawa.

Kala itu saya baru saja duduk di bangku kelas III IPS (C1) di SMA Negeri I Blitar, Jawa Timur. Semampu yang saya ingat, pagi itu tiba-tiba datang sebuah surat dari bidang kesiswaan yang menginformasikan adanya lomba debat politik pelajar se-Jawa Bali yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Politik, FISIP Universitas Mahasiswa (UI). Kebetulan pada waktu itu saya sedang menjadi semacam "pelaksana harian" Ketua OSIS karena sang ketua OSIS (sahabat saya hingga kini, Wetty Kurilla Hayu) sedang berada di Negeri Sakura (Jepang) untuk program pertukaran pelajar, sehingga sepucuk surat itu pun bisa sampai di tanganku. Singkat cerita, akhirnya sekolah kami memutuskan untuk memberangkatkan delegasi pada kompetisi debat politik tersebut, karena dinilai cukup bergengsi. Waktu itu kompetisi debat (bagi kami yang tinggal di kota kecil) belum semewah sekarang, dimana beberapa saluran TV nasional menyelenggarakannya dalam bentuk program siaran. Bagi diriku pribadi, ini tantangan! beberapa lomba yang mirip-mirip (seperti pelajar teladan, pidato, menulis karya ilmiah, dll) di tingkat kota dan karesidenan yang saya ikuti, selalu tiga besar, tetapi bagaimana kemampuanku ditingkat yang lebih tinggi saya belum tahu. Jangan-jangan cuma jago kandang? batinku.


Diputuskanlah kami bertiga sebagai delegasi sekolah dalam kompetisi debat politik tersebut, yaitu sahabatku Adi Siswanto (sekarang bekerja dan tinggal di Probolinggo), Ineke (perempuan, sekarang kalau tidak salah tinggal di Surabaya) dan saya sendiri. Namun keberangkatan kami tidak semulus yang kami kira. Pertama dan utama soal dana! ya, sekolah kami bersedia mengirim tetapi tidak memiliki anggaran yang cukup untuk mengirim kami ke Depok. Setelah kami hitung-hitung pun ternyata butuh biaya yang cukup banyak. 

Akhirnya kami meminta bantuan kepada salah satu alumni yang berpengalaman, melalui saran dan anjuran dari Guru sejarah kami yang rumahnya selalu menjadi basecamp para alumni. Lewat bantuan alumni tersebut, saya untuk pertama kalinya juga memiliki pengalaman bertemu (dengan menyengaja) makhluk yang disebut "politisi", yaitu walikota Blitar (kami datang ke rumah dinasnya) dan ketua DPRD (kami datang ke kantornya). Dengan membawa "proposal kecil" yang diarahkan oleh alumni, kami berdoa agar mereka tergerak untuk menjadi "sponsor" kami. Meskipun sudah sering duduk di kepengurusan OSIS maupun organisasi pelajar lainnya, tetapi saat itulah barangkali aku bisa mencerna benar bagaimana praktik "melobi" itu dilakukan dalam arti yang sebenarnya. Bagaimana uluran bantuan seorang politisi (yang sering diasosiasikan negatif, licik, curang, hitam, dan sejenisnya) bisa begitu saja membukakan jalanku dan teman-teman untuk berangkat ke UI, kampus yang selalu terdengar namanya namun seolah yang akan pernah terjangkau oleh tangan dan kaki kecilku. Politisi ternyata ada yang baik, dan politisi yang baik akan membawa kebaikan kepada lebih banyak orang! pikirku senang, karena mereka pun memberikan bantuannya yang signifikan. Tidak perlu kutanya darimana sumbernya, yang jelas melalui kebaiakan hati mereka kami bertiga bisa menghirup hawa kompetisi debat politik pelajar se-jawa, alhamdulillah!

Sekalipun gugur di babak penyisihan (setelah kalah nilai dalam dua kali pertandingan awal) tetapi tidak ada sedikit pun rasa sedih atau kecewa di hati kami. Jelas saja, karena kami menemukan hal yang jauh lebih berharga dari piala, yaitu pengalaman bersentuhan dengan pelajar-pelajar lain seantero jawa bali, bisa menghirup segarnya udara di kampur UI yang diidam-idamkan banyak pelajar seusia kami waktu itu, itulah piala dan hadiah sebenarnya yang kami bawa pulang. Bahwa setelah itu dalam hatiku muncul kepercayaan diri yang berlipat-lipat dari sebelumnya, bahwa aku bisa melompat lebih tinggi. Biar pun aku anak kampung, anak IPS (yang selalu inferior dengan anak IPA), di luar sana masih menunggu banyak tempat untuk kujelajahi, banyak perlombaan untuk kutaklukkan, dan banyak mimpi baru lahir dari pengalaman itu. Kami pulang dengan semangat dan mimpi-mimpi baru. Dari perlombaan inilah barangkali bisa dikatakan keberanianku untuk menaklukkan kompetisi makin menjadi. 

Buahnya setelah itu, di masa saya menjadi mahasiswa, tidak satu hari pun saya lepaskan dari kegiatan organisasi dan kompetisis. Semua hal dijajal, semua orang didatangi untuk berkenalan dan tidak ada lagi kesulitan kala kita melihatnya sebagai tantangan. Menjadi mahasiswa berprestasi (mawapres), mengikuti pelayaran kebangsaan, menulis berbagai artikel di media massa nasional, menulis buku, menjadi peneliti, hingga membangun berbagai komunitas dari nol kemudian menjadi jejak-jejak yang bisa kutinggalkan. sekarang saatnya berpikir dan melangkah agar bagaimana jejak itu bisa menjadi kebaikan bagi sebanyak-banyaknya orang dan alam.



Terima kasih untuk teman-teman BEM Unsub (Dimas, Teguh, Fina, Suhenda, dkk) yang telah mengundang dalam acara ini, Pak Hj. Oman Warjoman, Pak Haji Ma'mur Sutisna, Pak Lukman Nur Hakim, Pak Rektor Unsub, Rama riyadi dkk. Bagi saya, acara ini adalah nostalgia, semoga bagi teman-teman semua (peserta dan penonton) bisa menjadi mula dari mimpi-mimpi mulia kalian semua.

salam Debat!

No comments:

Post a Comment