06 November 2013

MENYOAL PROSES REKRUTMEN CPNS DAERAH

diterbitkan oleh Pasundan Ekspres, 
6 November 2013

oleh : Yanu Endar Prasetyo



Habis (bayar) berapa jadi PNS?” demikian pertanyaan dan obrolan yang sering terlontar di tengah-tengah publik manakala proses rekrutmen atau penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) digelar. Dugaan bahwa untuk lolos menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus menggunakan jalur suap bukan lagi kasak-kusuk, melainkan sudah bukan rahasia umum dan bahkan menjadi keyakinan publik bahwa itulah jalur sebenarnya yang harus ditempuh. Jika dulunya pertanyaan seperti itu sangat tabu diungkapkan, saat ini justru menjadi ajang pembentukan “harga pasar” untuk setiap kursi PNS. Tidak peduli apakah rekrutmen itu digelar untuk kalangan khusus (honorer) atau kalangan umum, suara-suara miring terkait transaksi ekonomi ilegal dibalik proses rekrutmen ini selalu saja muncul lalu berakhir begitu saja tanpa penyelesaian. Ibarat bermain judi, begitu hasil diumumkan para pemenang akan berpesta sementara yang kalah akan gigit jari dan mencoba peruntungannya kembali (tidak kapok).


Buruknya transparansi dan kualitas dalam proses rekrutmen CPNS, utamanya di daerah, sudah menjadi sorotan yang lama. Aroma Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) selalu melekat erat. Namun ibarat bau kentut, aromanya bisa tercium namun barangnya tidak dapat disentuh. Semua orang bisa mencium baunya, namun tak satu pun yang mau mengakui bahwa dia yang melakukannya. Bahkan ketika ia menjadi korban penipuan atau terlanjur menyuap dan gagal menjadi PNS, tidak ada pikiran untuk mempermasalahkannya di jalur hukum, sebab seratus persen “korban” pun sadar bahwa tindakannya melakukan suap itu juga adalah pelanggaran hukum. Kondisi inilah yang kemudian menjadi “surga” bagi para calo dan mafia rekrutmen PNS untuk terus-menerus mengeruk uang haram. Disinilah kekuasaan seorang penguasa atau pejabat dapat diukur, apakah dia memikirkan diri dan kelompoknya sendiri atau memikirkan masa depan daerahnya?

Makin buruk proses dan hasil rekrutmen PNS suatu daerah, maka akan semakin buruk pula pelayanan publik dan pembangunan di wilayah tersebut. Demikian barangkali hipotesis yang dapat diangkat untuk dibuktikan. Bagaimana tidak? Jikalau PNS yang sejatinya merupakan pelayan publik proses rekrutmennya dilumuri oleh suap dan nepotisme, maka dapat dipastikan mereka akan abai terhadap kualitas, kompetensi dan bahkan pengabdian seseorang. Puluhan tahun seseorang bekerja menjadi honorer dikalahkan oleh mereka yang tidak pernah berkeringat namun memiliki uang untuk membeli kursi PNS. Hasrat ekonomi dan kepentingan jangka pendek para mafia rekrutmen CPNS ini mengalahkan kepentingan publik keseluruhan. Dengan begitu, pemerintah daerah yang tidak membenahi proses rekrutmen CPNS-nya menjadi lebih bersih sama saja sedang melakukan pembusukan dari dalam. Pelan-pelan ia menggerogoti wibawa pemerintah (dan Negara) serta menghancurkan harga dirinya sendiri sebagai abdi Negara.

Dampak dari buruknya proses rekrutmen pelayan publik ini pula yang menyebabkan korupsi makin mengakar, membudaya dan sulit untuk disembuhkan. Sebab mereka (PNS) yang masuk dari jalur suap ini ketika bekerja akan menerapkan pola yang sama dalam melayani publik di SKPD tempatnya berdinas kelak. Pungutan tak resmi, uang terima kasih, uang tanda tangan, nepotisme dalam proyek dan bentuk-bentuk KKN lainnya menjadi modus untuk mengembalikan modal sebelumnya. Lagi-lagi kepentingan publik secara luas yang dikorbankan. Tetapi sayangnya, yang kita sebut sebagai “publik” itu sendiri juga apatis dan tidak merasa gerah dengan kondisi semacam ini, justru masyarakat atau publik pula yang ikut melanggengkan kebobrokan sistem ini. Tidak salah jika kemudian ada pepatah mengatakan bahwa wajah pemimpin (kinerja pemerintah) adalah gambaran umum dari warganya sendiri. Pemerintah korup adalah hasil pilihan warga yang juga korup. Lingkaran setan.

Namun demikian, harapan untuk perbaikan selalu ada. Dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi yang ada saat ini sebenarnya bisa dihasilkan sistem rekrutmen CPNS yang bersih dan berwibawa. Dimulai dari sistem pendataan, administrasi hingga proses seleksi yang transparan dan akuntabel sangat memungkinkan dari sisi teknologi dan bahkan sudah banyak diterapkan. Namun tanpa keinginan politik dan visi perbaikan yang kuat dari pemimpin di daerah, sistem terbaik tidak akan pernah terbentuk. Reformasi birokrasi yang mendengung bising beberapa tahun belakangan menjadi hampa tak bermakna jika tidak dimulai dari proses rekrutmen sumber daya manusianya. Solusi bukan hanya di tangan pemimpin tetapi juga ada di tangan dan suara publik. Jikalau kita beramai-ramai menolak KKN dalam arti sebenarnya (tindakan dan perilaku), mungkin juga suatu saat para mafia akan gigit jari. Namun sepanjang kita (masyarakat) tidak menjadi bagian dari solusi tersebut, maka sejatinya kita adalah bagian dari masalah itu sendiri.




No comments:

Post a Comment