25 October 2013

Mal dan Evolusi Sebuah Kota

dimuat di harian Pasundan Ekspres, Jumat, 25 Oktober 2013

Oleh : Yanu Endar Prasetyo


Kota besar mana yang tidak memiliki Mall? Pantaskah sebuah wilayah disebut “kota” jika tidak memiliki Mall? Imajinasi para remaja, generasi muda dan orang-orang di desa ketika membayangkan seperti apa wajah kota atau kabupatennya beberapa tahun mendatang barangkali juga tidak lepas dari keberadaan mall atau pusat perbelanjaan nan megah dan lengkap. Mall telah menjadi penanda utama modernitas suatu kota. Kehadiran mall sebagai simpul antara pasar, gaya hidup, dan hiburan seolah menyihir siapapun untuk merasa harus menjadi bagian di dalamnya. Dimana di dalam Mall - secara simbolik - terkandung sebuah kesempatan dan saluran hasrat (channel of desire) bagi individu untuk menunjukkan status sosial-ekonominya, gaya hidupnya, kesenangan dan kebanggaannya menjadi bagian dari manusia modern, terkini dan ter-update. Tanpa sempat menoleh lagi betapa banyak entitas-entitas lain yang sebenarnya merupakan jati diri dan penanda asli wilayahnya.

Disadari atau tidak, Mall yang diagung-agungkan sebagai simbol modernitas sebuah kota itu telah berhasil membuat wajah kota-kota di Jawa ini menjadi demikian monoton, seragam dan membosankan. Cobalah Anda rasakan ketika berkunjung dari satu kota ke kota lainnya di pulau Jawa ini, maka yang akan anda temukan adalah kesan keseragaman : panas, macet dan satu lagi : Mall. Tidak ada lagi perbedaan suasana antara Bandung, Semarang, Solo, Jakarta dan Surabaya. Semua sama-sama memiliki puluhan Mall megah, mini market yang menjamur, pasar tradisional yang dipaksa untuk modern, moda transprotasi yang seragam dan hilangnya penanda-penanda lokal yang khas dan membedakan akar budayanya. Apalagi jika kita masuk ke dalam Mall-Mall tersebut, maka yang kita temui akan jauh lebih homogen dan monoton, sadar atau pun tidak. Keberadaan mall secara budaya telah menjadi salah satu agen homogenisasi rasa dan penampilan.



Tetapi memang demikianlah fakta evolusi kota-kota di pulau Jawa ini. Mereka terjebak dalam homogenisasi yang sejatinya didorong oleh kepentingan kapitalis dengan mengatasnamakan pembangunan dan kemajuan. Hedonisme dan konsumerisme masyarakat secara langsung ataupun tidak dieksploitasi sedemikian rupa oleh para pemilik modal yang berselingkuh dengan penguasa untuk mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan. Jangankan dampaknya terhadap kehilangan citra dan jati diri daerahnya, dampaknya terhadap lingkungan pun (hilangnya ruang terbuka hijau, ruang bermain anak, pohon-pohon yang ditumbangkan, energi yang dibakar atau air tanah yang terus dikuras) mereka abaikan. Yang penting uang berputar dan kapital bisa dilipat gandakan. Maka tak heran jika kemudian banyak orang-orang mencari hiburan baru dan pelepas penat ke pedesaan atau hal-hal yang bernuansa alam dan masa lalu. Mereka sudah bosan melihat Mall dengan segala isinya atau gedung bertingkat dengan dinding-dinding pembatasnya yang angkuh. Maka jika kemudian kita yang tinggal di pedesaan menginginkan perubahan ke arah kota modern – dengan memiliki banyak mall, diskotik, karaoke, dll – maka kemana lagi orang-orang harus mencari dan menemukan apa yang mereka rindukan?

Justru yang perlu diperbanyak untuk dibangun di setiap kota-kota dan kabupaten adalah gedung-gedung kesenian, taman-taman terbuka, perpustakaan-perpustakaan canggih atau wahana-wahana lain untuk menyalurkan bakat dan membentuk karakter warganya. Gedung kesenian diperlukan untuk menjaga identitas budaya lokal. Pertunjukan-pertunjukan rutin perlu didukung dengan dana APBD secara serius, bahkan dengan kemampuan manajerial yang mencukupi helaran kesenian yang semula kecil itu suatu saat bisa menjadi festival budaya yang mendunia. Ingat, citra sebuah kota tidak hanya karena landmark fisiknya, tetapi juga bisa melalui turisme budaya yang menarik. Gedung kesenian dengan segala aktivitasnya adalah juga wujud tanggung jawab kita untuk mewariskan nilai-nilai luhur budaya lokal kita kepada generasi yang akan datang.

Sementara itu taman-taman yang tertata indah dan terbuka akan menjadi ruang interaksi sosial bagi warga kota yang menyehatkan. Anak-anak bisa bermain dengan aman dan nyaman. Kota ramah anak dan lansia (lanjut usia) bisa diwujudkan dengan ketulusan membangun sebuah kota, bukan sekedar meniru modernitas tanpa konsep dan visi. Perpustakaan yang canggih, lengkap dan modern akan mengantarkan warga kota kepada gerbang dunia secara lebih dekat. Perpustakaan daerah yang kondisinya sangat memprihatinkan, sepi dan koleksinya habis dimakan rayap, tidak boleh lagi terjadi. Karena penghargaan terhadap buku dan ilmu ini merupakan penanda sebenarnya tentang level peradaban suatu bangsa, bukan sedikit atau banyaknya Mall yang mampu dibangun dan dimiliki.

Orang akan selalu rindu asal-usulnya, kampung halamannya, dan desanya. Kesadaran ini seharusnya dipahami oleh para penguasa di daerah. Bahwa mereka tidak perlu ikut-ikutan membangun mall, pusat perbelanjaan dan penanda-penanda modern lainnya. Tidak perlu minder dengan kesederhanaan dan ke-ndeso-annya. Menata kota menjadi bersih, rapi, dan cantik jauh lebih bermakna daripada membangun Mall-Mall yang tidak merepresentasikan nilai dan budaya local. Karena pada akhirnya orang akan rindu kembali pada asal-usul dan mencari semua kesahajaan itu. Tentu setelah mereka sadar, betapa kota-kota yang semula mereka impikan menjadi surga yang mewah itu telah berubah menjadi neraka kecil yang mematikan akal sehat.




1 comment: