Oleh : Yanu Endar Prasetyo
Kota
besar mana yang tidak memiliki Mall? Pantaskah sebuah wilayah disebut “kota”
jika tidak memiliki Mall? Imajinasi para remaja, generasi muda dan orang-orang
di desa ketika membayangkan seperti apa wajah kota atau kabupatennya beberapa
tahun mendatang barangkali juga tidak lepas dari keberadaan mall atau pusat
perbelanjaan nan megah dan lengkap. Mall telah menjadi penanda utama modernitas
suatu kota. Kehadiran mall sebagai simpul antara pasar, gaya hidup, dan hiburan
seolah menyihir siapapun untuk merasa harus menjadi bagian di dalamnya. Dimana
di dalam Mall - secara simbolik - terkandung sebuah kesempatan dan saluran
hasrat (channel of desire) bagi individu untuk menunjukkan status
sosial-ekonominya, gaya hidupnya, kesenangan dan kebanggaannya menjadi bagian
dari manusia modern, terkini dan ter-update. Tanpa sempat menoleh lagi
betapa banyak entitas-entitas lain yang sebenarnya merupakan jati diri dan
penanda asli wilayahnya.
Disadari
atau tidak, Mall yang diagung-agungkan sebagai simbol modernitas sebuah kota
itu telah berhasil membuat wajah kota-kota di Jawa ini menjadi demikian
monoton, seragam dan membosankan. Cobalah Anda rasakan ketika berkunjung dari
satu kota ke kota lainnya di pulau Jawa ini, maka yang akan anda temukan adalah
kesan keseragaman : panas, macet dan satu lagi : Mall. Tidak ada lagi perbedaan
suasana antara Bandung, Semarang, Solo, Jakarta dan Surabaya. Semua sama-sama
memiliki puluhan Mall megah, mini market yang menjamur, pasar tradisional yang dipaksa
untuk modern, moda transprotasi yang seragam dan hilangnya penanda-penanda
lokal yang khas dan membedakan akar budayanya. Apalagi jika kita masuk ke dalam
Mall-Mall tersebut, maka yang kita temui akan jauh lebih homogen dan monoton,
sadar atau pun tidak. Keberadaan mall secara budaya telah menjadi salah satu
agen homogenisasi rasa dan penampilan.
Tetapi
memang demikianlah fakta evolusi kota-kota di pulau Jawa ini. Mereka terjebak
dalam homogenisasi yang sejatinya didorong oleh kepentingan kapitalis dengan
mengatasnamakan pembangunan dan kemajuan. Hedonisme dan konsumerisme masyarakat
secara langsung ataupun tidak dieksploitasi sedemikian rupa oleh para pemilik
modal yang berselingkuh dengan penguasa untuk mengeruk sebanyak-banyaknya
keuntungan. Jangankan dampaknya terhadap kehilangan citra dan jati diri
daerahnya, dampaknya terhadap lingkungan pun (hilangnya ruang terbuka hijau,
ruang bermain anak, pohon-pohon yang ditumbangkan, energi yang dibakar atau air
tanah yang terus dikuras) mereka abaikan. Yang penting uang berputar dan
kapital bisa dilipat gandakan. Maka tak heran jika kemudian banyak orang-orang
mencari hiburan baru dan pelepas penat ke pedesaan atau hal-hal yang bernuansa
alam dan masa lalu. Mereka sudah bosan melihat Mall dengan segala isinya atau
gedung bertingkat dengan dinding-dinding pembatasnya yang angkuh. Maka jika
kemudian kita yang tinggal di pedesaan menginginkan perubahan ke arah kota
modern – dengan memiliki banyak mall, diskotik, karaoke, dll – maka kemana lagi
orang-orang harus mencari dan menemukan apa yang mereka rindukan?
Justru
yang perlu diperbanyak untuk dibangun di setiap kota-kota dan kabupaten adalah
gedung-gedung kesenian, taman-taman terbuka, perpustakaan-perpustakaan canggih
atau wahana-wahana lain untuk menyalurkan bakat dan membentuk karakter
warganya. Gedung kesenian diperlukan untuk menjaga identitas budaya lokal.
Pertunjukan-pertunjukan rutin perlu didukung dengan dana APBD secara serius,
bahkan dengan kemampuan manajerial yang mencukupi helaran kesenian yang
semula kecil itu suatu saat bisa menjadi festival budaya yang mendunia. Ingat,
citra sebuah kota tidak hanya karena landmark fisiknya, tetapi juga bisa
melalui turisme budaya yang menarik. Gedung kesenian dengan segala aktivitasnya
adalah juga wujud tanggung jawab kita untuk mewariskan nilai-nilai luhur budaya
lokal kita kepada generasi yang akan datang.
Sementara
itu taman-taman yang tertata indah dan terbuka akan menjadi ruang interaksi
sosial bagi warga kota yang menyehatkan. Anak-anak bisa bermain dengan aman dan
nyaman. Kota ramah anak dan lansia (lanjut usia) bisa diwujudkan dengan
ketulusan membangun sebuah kota, bukan sekedar meniru modernitas tanpa konsep
dan visi. Perpustakaan yang canggih, lengkap dan modern akan mengantarkan warga
kota kepada gerbang dunia secara lebih dekat. Perpustakaan daerah yang kondisinya
sangat memprihatinkan, sepi dan koleksinya habis dimakan rayap, tidak boleh
lagi terjadi. Karena penghargaan terhadap buku dan ilmu ini merupakan penanda
sebenarnya tentang level peradaban suatu bangsa, bukan sedikit atau banyaknya
Mall yang mampu dibangun dan dimiliki.
Orang
akan selalu rindu asal-usulnya, kampung halamannya, dan desanya. Kesadaran ini
seharusnya dipahami oleh para penguasa di daerah. Bahwa mereka tidak perlu
ikut-ikutan membangun mall, pusat perbelanjaan dan penanda-penanda modern
lainnya. Tidak perlu minder dengan kesederhanaan dan ke-ndeso-annya. Menata
kota menjadi bersih, rapi, dan cantik jauh lebih bermakna daripada membangun
Mall-Mall yang tidak merepresentasikan nilai dan budaya local. Karena pada
akhirnya orang akan rindu kembali pada asal-usul dan mencari semua kesahajaan
itu. Tentu setelah mereka sadar, betapa kota-kota yang semula mereka impikan
menjadi surga yang mewah itu telah berubah menjadi neraka kecil yang mematikan
akal sehat.
Thanks for the poost
ReplyDelete