12 April 2014

Prof. Endang “Egum” Gumbira Sa'id : Sosok Guru yang Rendah Hati, Pemaaf & Bijaksana

Oleh : Yanu Endar Prasetyo

Kenangan saya terhadap Prof. Egum tidak hanya terekam dalam pikiran saja melainkan sudah membekas di lubuk hati yang terdalam. Meskipun saya bukan mahasiswa atau murid Beliau secara langsung di bangku perkuliahan, tetapi perkenalan dengan Beliau telah memberikan pelajaran sangat berharga dan tak terlupakan. Beliau bukan hanya berjasa kepada saya (yang bahkan waktu itu beliau tidak kenal siapa saya) tetapi juga salah seorang yang menginspirasi saya untuk menjadi pembelajar - dan utamanya - menjadi manusia dengan kepribadian yang jauh lebih baik.
Perkenalan saya dengan Prof. Egum dimulai pada tahun 2009. Pada waktu itu saya menjadi ketua panitia seminar nasional Grass Roots Innovation (GRI) di Sabuga, Bandung. Pada saat itu tidak banyak narasumber nasional yang dianggap cocok untuk berbicara GRI, sebab isu GRI masih dianggap “baru” bagi kalangan akademisi di Indonesia, meskipun tema ini sudah demikian maju di India dan China. Salah satu – kalau tidak dibilang satu-satunya – narasumber yang paling concern dan memiliki track record mendalami topik ini adalah Prof. Egum. Maka kami putuskan untuk mengundang beliau sebagai narasumber utama dalam seminar nasional tersebut. Yang berkesan bagi saya bukan hanya soal penguasaan materi, keberpihakan dan pengalaman beliau terhadap GRI, tetapi bahkan dari hal terkecil bagaimana beliau “melayani” permintaan dan pertanyaan-pertanyaan dari saya yang bagi Profesor atau orang super sibuk lainnya mungkin akan dianggap sepele, remeh temeh dan tidak penting.

Tanyakan saja pada sekretaris atau asisten saya ya” itu perkataan yang sering saya dengar ketika mengundang narasumber penting lainnya. Tetapi tidak dengan prof. Egum. Beliau tidak pernah sekalipun tidak menjawab pesan pendek dari orang biasa seperti saya. Bahkan beliau dengan sangat rendah hati meminta maaf jika tidak sempat mengangkat telepon atau sms di hari sebelumnya. Sungguh sebuah sikap rendah hati dan jiwa melayani serta mendidik yang sangat matang dari seorang Guru Besar seperti Prof. Egum. Tidak hanya itu, dalam pertemuan tatap muka ketika seminar berlangsung beliau sangat ramah, murah senyum dan tidak pernah sekalipun mempermasalahkan soal fasilitas atau tetek bengek apapun yang biasanya selalu ditanyakan oleh narsum seminar. Bahkan untuk menyerahkan honor narasumber saja saya dan bendahara panitia harus berlari mengejar beliau yang dengan cepat bergegas keluar gedung untuk mengejar acara beliau selanjutnya. Tanpa jemputan beliau datang dan tanpa mempedulikan honor beliau meninggalkan demikian banyak ilmu dan pesan bagi peserta seminar. “Pak Egum ini bukan orang biasa” batin saya.
Setelah perkenalan dan pertemuan dalam seminar tersebut, sepertinya takdir ingin mempertemukan kami (yang memiliki jarak usia 30 tahun) secara lebih dekat. Awal tahun 2010 muncul kesempatan bagi saya untuk melanjutkan studi S2 dengan beasiswa dari Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KNRT). Pada saat seleksi awal tersebut, setiap calon karyasiswa diminta untuk membuat proposal dan mendapatkan promotor yang sesuai dengan bidangnya. Tanpa berpikir panjang, saya ikut mendaftar dengan tujuan untuk mendalami GRI sekaligus menjadi murid dari Prof. Egum, tokoh GRI Indonesia. Saat itu saya berkomunikasi cukup intensif baik melalui surat, email, sms, maupun telepon. Dengan sabar beliau memotivasi dan menjawab setiap pertanyaan saya. Saya pun memutuskan untuk mendaftar di Magister Manajemen Bisnis (MB) IPB, salah satu tempat dimana Prof. Egum mengajar dan mendedikasikan ilmunya.
Selembar fax tiba di kantor, isinya adalah “surat kesediaan menjadi pembimbing” dari Prof. Egum. Luar biasa senang hati saya waktu itu. Sungguh kebaikan Prof. Egum sangat memotivasi saya. “Dengan surat dari orang besar ini mungkin akan memudahkan proposal saya diterima” pikir saya waktu itu. Mungkin iya, mungkin tidak. Yang jelas proposal saya diterima, Baik di KNRT maupun di MB IPB. Saya pun mendaftar ke MB IPB, mengikuti berbagai tes ujian masuk sampai akhirnya MB IPB menerima saya. Tapi bagai disambar petir di siang bolong, tiba-tiba saja ada telepon dari pengelola beasiswa KNRT bahwasanya jurusan yang saya ambil (MB IPB) tidak dapat dibiayai oleh beasiswa dikarenakan bukan perkuliahan regular (kelas profesional) yang artinya biaya kuliahnya dua kali lipat dari IPB regular. Pemberi beasiswa menolak dan menyarankan saya untuk pindah ke jurusan pascasarjana yang regular.
Dalam kondisi cukup panik, akhirnya saya putuskan untuk mendaftar di jurusan Sosiologi Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia IPB. Disitulah letak ego anak muda seperti saya muncul. Apa yang sudah diusahakan bersama dengan Prof. Egum seolah menjadi sirna. Padahal seharusnya saya segera memberi kabar kepada Beliau tentang perubahan jurusan dan lain sebagainya itu. Tetapi saya justru sibuk “menyelamatkan diri” agar segera diterima di jurusan yang baru dan bisa dikatakan komunikasi dengan Prof. Egum menjadi terputus. Padahal saya tahu persis, ketika akan menerima saya sebagai mahasiswa bimbingan tersebut posisi Prof. Egum sedang penuh oleh mahasiswa bimbingan. Artinya, untuk menerima saya Beliau harus segera meluluskan salah satu dari puluhan mahasiswa bimbingannya. Tapi saya justru melenggang begitu saja tanpa kabar.
Sejujurnya, sepanjang kuliah S2 saya seringkali terusik oleh rasa bersalah tidak segera menemui Prof. Egum untuk menjelaskan kenapa saya tiba-tiba “menghilang”. Sampai akhirnya, hampir dua tahun setelah itu, pada akhir tahun 2012 ada kesempatan tak terduga yang mempertemukan kami kembali, yaitu pada seminar internasional GRI di Yogyakarta. Pada waktu itu saya membantu teman-teman panitia sekaligus berdoa agar ada kesempatan untuk meminta maaf dan menyampaikan penyesalan secara langsung pada prof Egum. Doa saya terkabul, momen itu datang ketika saya bisa bersama beliau berdua saja dalam satu lift menuju ruang FGD. Disitulah saya meminta maaf dan menceritakan semua proses tersebut. Saya pikir Prof. Egum akan kesal dan kecewa dengan saya. Tetapi justru sebaliknya, sebuah reaksi yang tidak saya duga. Dengan senyum yang ramah beliau justru mengucapkan selamat atas kelulusan saya. Sama sekali tidak terpancar kekecewaan. “Mau lanjut ke Malaysia nggak mas? Lagi banyak beasiswa nih kesana” Prof. Egum justru menawarkan kesempatan yang lebih besar pada saya. Saya yang telah mengecewakan beliau (karena menghilang tanpa kabar) justru ditawari kesempatan untuk S3 melalui koneksi beliau! Subhanallah, jika bukan manusia yang berjiwa besar dan bijaksana, tidak mungkin sifat pemaaf dan pemurah seperti itu bisa melekat pada diri Prof. Egum.
Saya tidak mengiyakan maupun menolak tawaran baik beliau. Di satu sisi saya takut mengecewakan beliau untuk kedua kalinya, dan di sisi lain memang keinginan saya untuk mengabdi terlebih dahulu kepada masyarakat sebelum melanjutkan pendidikan kembali. Itulah pertemuan terakhir saya dengan Guru Besar yang rendah hati, pemaaf dan bijaksana ini. Tahun ini kami (LIPI) ada seminar lagi dan ingin mengundang beliau menjadi salah satu pakar. Namun, belum juga kesempatan belajar tatap muka itu hadir kembali, Allah SWT telah memanggil beliau terlebih dahulu. Saya yakin, Allah SWT sangat mencintai beliau melebihi kekaguman kita pada Prof. Egum. Semoga saya dan kita semua yang ditinggalkan mampu meneladani keluhuran ilmu dan budi Prof. Endang Gumbira Sa'id ini.
Selamat jalan Prof!

Subang, 12 April 2014 

4 comments:

  1. Saya lagi hunting buku manajemen agribsnis dari beliau, kebaca deh tulisan pak prasetyo :). Rada sulit dapat buku beliau tersebut :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga bisa lekas menemukan buku beliau ya! salam sukses:)

      Delete
  2. Saya pernah diajar beliau di MB-IPB. Memang rugi rasanya jika saat MK yang beliau bawa kita gak masuk kuliah. Jika kita datang pagi dan menunggu utk kuliah di lobby, ketika bekiau datang, maka beliau lah yang malah menyapa selamat pagi lebih dulu ke kami.. Sapaannya ke mahasiswa adalah..dek.. Mas.. Mbak..

    ReplyDelete
  3. Beliau sosok yg ramah. Semoga almarhum diberikan tempat yg mulia di sisi Allah SWT. Aamiin

    ReplyDelete