25 August 2014

Dilema UU Desa


Oleh : Yanu Endar Prasetyo
Inilah Koran, 25 Agustus 2014 


Setelah melalui proses dan dinamika politik yang cukup panjang, pada tanggal 15 Januari 2014, pemerintah Republik Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) yang merupakan babak baru dalam pembagian kekuasaan, penataan dan desentralisasi Desa. Kehadiran UU Desa ini dianggap sebagai pengakuan negara atas eksistensi Desa sebaga sebuah wilayah otonom, baik desa sebagai sebuah kesatuan hukum maupun desa sebagai kesatuan adat di Nusantara. Tak lama setelah itu, pada tanggal 30 Mei 2014, pemerintah juga sudah merampungkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Artinya, UU Desa sudah dapat diimplementasikan karena telah memiliki dasar dan petunjuk hukum. Apakah UU Desa ini benar-benar dapat dengan mudah dan tepat diimplementasikan di lapangan? Mengingat banyak sekali perubahan mendasar yang tercantum dalam UU Desa ini, baik dari sisi pengelolaan keuangan desa, pembagian kekuasaan politik desa, pengelolaan sumber daya dan strategi pembangunan desa-desa di Indonesia yang nampaknya tidak mudah untuk disinkronisasikan dengan realitas masyarakat pedesaan terkini.


Sebagai contoh, UU Desa ingin mengembalikan egalitarianisme dan semangat gotong royong (solidaritas) yang khas masyarakat desa, padahal mereka saat ini sudah cenderung menjadi komunitas yang terbuka dan bergerak ke arah individualisme serta komersialisme hubungan sosial maupun ekonomi yang masif. UU Desa ingin mendelegasikan secara penuh kekuasaan mengelola anggaran desa (rata-rata 1,4 Milyar/Desa) padahal otonomi daerah di level lebih tinggi (provinsi/kabupaten/kota) menunjukkan banyak sekali kepala daerah yang terjerat masalah hukum akibat korupsi. UU Desa ingin membumikan praktek demokrasi elektoral di tingkat terbawah melalui pemilihan kepala desa secara serentak di sebuah kota/kabupaten sebagaimana pemilu legislatif dan presiden, padahal saat ini masyarakat menyaksikan bagaimana politik itu dinodai oleh praktek politik uang, intimidasi dan oligarkhi kekuasaan yang akut. UU Desa ingin mengakui hak adat dan ulayat pribumi asli termasuk tata kelola pemerintahannya padahal banyak sekali komunitas Adat yang sudah terlanjur lenyap dan kalaupun tersisa tidak lagi dihayati oleh anggota masyarakatnya karena hanya menjadi desa dinas yang lebih taat kepada aturan nasional daripada hukum adat. UU Desa ingin mengembalikan penguasaan terhadap sumber daya dan aset desa kepada masyarakat setempat, padahal saat ini sumber daya itu sudah banyak yang terlanjur dikuasai oleh kapitalis akibat liberalisasi ekonomi tanpa kendali. 

Bahkan, beberapa Kepala Daerah dan tokoh masyarakat, semisal dari Bali, sudah berencana akan melakukan judical review terhadap beberapa pasal dalam UU Desa ini yang dianggap akan mengganggu keberlanjutan desa adat (pakraman) dan kesinambungan sosial budaya di Bali. Bukan hanya Bali, Sumatera Barat dan sebagian besar masyarakat Adat di Sumatera juga merasa “penyeragaman” pemilihan kepala desa secara langsung oleh masyarakat sebagaimana tercantum dalam UU Desa ini dianggap akan menghilangkan peran adat Ninik Mamak yang selama ini berperan memilih wali nagari. Kekhawatiran terhadap beragam konflik atas ide pembentukan desa-desa baru atau penghapusan dan penggabungan beberapa desa sebagai upaya penataan desa agar sesuai dengan persyaratan UU Desa juga bermunculan. Artinya, percepatan pebangunan desa yang diharapkan melalui implementasi UU Desa ini bisa saja terhambat oleh berbagai kendala multidimensi diatas. Disini peran sosiologi sangat penting untuk memberikan perspektif dan pendekatan selain dari kaca mata administrasi pemerintahan maupun ilmu politik. Sosiologi harus mampu memberikan penjelasan secara komprehensif terkait kondisi historis maupun potret desa hari ini beserta dampaknya jika UU Desa ini diimplementasikan. 

Desa di Indonesia telah demikian lama diposisikan sebagai secara marginal oleh negara. Desa juga diposisikan sebagai objek karena dianggap sebagai wilayah tertinggal dengan sumber daya manusia yang berkualitas dan berpendidikan rendah. Desa ramai-ramai ditinggalkan oleh penduduk dan tenaga kerjanya akibat dari pembangunan yang timpang di perkotaan. Lahan pertanian di desa dikonversi menjadi pemukiman, pabrik-pabrik dan saluran irigasi sebagai jantung pertaniannya hampir tidak pernah tersentuh oleh perbaikan. Hubungan kekerabatan dan solidaritas antar warga desa yang dulu menonjol kini makin tergerus dengan hubungan-hubungan kontraktual berbasis kepentingan ekonomi. Tanah atau lahan yang identik menjadi milik orang desa kini juga tidak lagi sepenuhnya dikuasai, sebaliknya malah banyak yang berpindah tangan dan orang desa kehilangan sebagian besar tanahnya. Desa mau tidak mau harus ikut berkompetisi dan bersaing dengan modal yang demikian minim. Spirit UU Desa ini salah satunya adalah mendorong percepatan pembangunan di desa sekaligus mendorong desa-desa agar mandiri secara ekonomi dengan kebebasan merencanakan arah pembangunan yang dianggap penting bagi mereka. Sebagai contoh, desa memiiki kewenangan untuk memanfaatkan teknologi tepat guna, melakukan investasi, menyisihkan dana desa untuk membeli aset-aset strategis di desa dan lain sebagainya. 

Disinilah kemudian dilema sosial itu muncul, di satu sisi warga desa ingin menikmati kesejahteraan yang setara dengan desa-desa lain bahkan dengan perkotaan, namun di sisi lain desa juga belum rela jika adat dan tradisi yang telah bertahan ratusan tahun itu lenyap akibat pola penyeragaman pengaturan desa-desa ini. Melihat dilema UU Desa - baik secara substansi filosofis, historis maupun sosiologis – di atas, diperlukan sebuah tinjauan dan pembacaan ulang secara lebih komprehensif, terutama dari sudut pandang warga desa sebagai subjek pembangunan itu sendiri. Selama ini, mereka yang memperjuangkan UU Desa adalah para elit desa yang berusaha mencari jalan keluar dari dilema peran dan kekuasaan politiknya masing-masing. Perlu dibangun model implementasi UU Desa yang mampu mengintegrasikan faktor-faktor kearifan lokal (Adat), potensi Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia, Teknologi Tepat Guna dan Infrastruktur fisik maupun sosial ekonomi lainnya agar menjadi satu kesatuan yang saling mengisi dalam mengartikulasikan UU Desa agar dapat bermanfaat seluas-luasnya bagi keberlanjutan desa dengan segala isinya.     

No comments:

Post a Comment