19 May 2015

PABRIK DAN PEREMPUAN KEPALA RUMAH TANGGA


Oleh : Yanu Endar Prasetyo

“Ternak Teri : Nganter Anak, Nganter Istri”. Sebuah idiom baru yang makin sering kita dengar dalam pidato-pidato para pejabat maupun obrolan masyarakat, terutama di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Ungkapan itu untuk menggambarkan munculnya “pekerjaan” baru bagi para lelaki masa kini di beberapa wilayah industri di Kabupaten Subang sejak menjamurnya pabrik-pabrik baru. Pembangunan pabrik-pabrik tersebut membentang di tujuh kecamatan mulai dari Pabuaran, Cipeundeuy, Kalijati, Purwadadi, Pagaden, Cibogo dan Cipunagara. Bisa digambarkan secara sederhana, pertumbuhan industri dan pabrik-pabrik berdiri sejajar mengikuti jalur tol Cikopo-Palimanan yang saat ini sedang dalam tahap penyelesaian.


Disebabkan pabrik-pabrik yang baru bermunculan tersebut ternyata lebih banyak merekrut buruh perempuan, daripada laki-laki. Sehingga apa boleh buat, kaum lelaki hanya bisa antar-jemput sang istri yang bekerja sebagai karyawan pabrik. Bagus jika disela-sela “ternak teri” tersebut para kepala rumah tangga ini juga sibuk menjalankan profesinya. Malangnya, sebagian besar bapak-bapak ini ternyata tidak memiliki pekerjaan tetap, bahkan menganggur. Entah aturan darimana yang mmebuat seorang lelaki sulit mencari pekerjaan di Pabrik saat ini, apa lacur perempuan harus menanggung beban ganda : menjadi kepala rumah tangga sekaligus pencari nafkah.

Mungkin bagi beberapa daerah industri lain, seperti Bekasi, Karawang dan Purwakarta, idiom tersebut sudah dilupakan atau dianggap biasa. Namun bagi masyarakat Subang, yang ber-alam pikir agraris-perkebunan, fenomena ini mengundang kekhawatiran jangka panjang, terutama dampak sosial dari perempuan yang harus menjadi kepala rumah tangga. Dampak pertama adalah pendidikan dan perhatian pada anak terabaikan. Seperti kita pahami, pendidikan sejatinya tidak hanya dilakukan secara formal di sekolah, akan tetapi lebih penting adalah pendidikan non-formal di lingkungan keluarga atau rumah. Apa jadinya jika seorang anak atau beberapa anak di dalam rumah itu tidak mendapat kasih sayang penuh dari ibunya, karena sang ibu harus berjuang berangkat pagi pulang malam untuk memenuhi nafkah keluarganya. Kebanyakan laki-laki tidak begitu bertanggung jawab apabila mengasuh anak di rumah. Mereka cenderung dibiarkan bebas dan minim perhatian.

Akibatnya, seorang anak dengan mudahnya menyerap nilai-nilai apa pun, terutama yang bersifat negatif, dari lingkungan yang cenderung bebas tersebut. Kehadiran Ibu yang biasanya menjadi filter tidak bisa diharapkan jika waktu dan tenaganya sudah habis untuk bekerja. Jika ada ratusan bahkan ribuan rumah tangga dengan pola asuh anak seperti ini, sulit dibayangkan bagaimana masa depan anak-anak minim perhatian Ibu tersebut? Bagaimana moral mereka? Bagaimana dunia dan pergaulan mereka kelak ketika dewasa? dan seterusnya. Kedua, sebagai dampak ikutan absennya istri di rumah, para suami atau lelaki yang kebanyakan menganggur ini jadi kehilangan “otoritas” nya sebagai pengatur ekonomi, pencari nafkah utama keluarga. Pendapatan istri mungkin menjadi lebih besar dari pendapatannya. Harga diri sebagai seorang bapak rumah tangga luluh lantak. Pelarian dari semua itu, perselingkuhan makin marak untuk sekedar membuktikan kejantanan dan kesenangan sesaat. Aroma prostitusi di lingkungan sekitar pabrik yang dihuni ribuan pendatang pun tercium kuat.  

Puncaknya, ini yang ketiga, bukan hanya anak yang kehilangan perhatian, tetapi rumah tangga juga senantiasa berada di ujung tanduk perceraian dan ketegangan. Benih-benih kekerasan dalam rumah tangga bermunculan. Jika kurang mampu mengendalikan diri, maka kekerasan fisik maupun psikis terhadap pasangan dan anak, cenderung meningkat drastis. Tekanan ekonomi dari lingkungan, perilaku konsumif yang sulit di rem, pergaulan bebas hingga kekerasan dalam rumah tangga ini lama kelamaan akan membentuk sebuah karakter masyarakat yang apatis akut terhadap apa pun. Kehilangan kepekaan nurani karena hanya menjadi robot atau skrup-skrup kapitalisme yang kehilangan makna hidup dan bahkan tujuan hidupnya. Hari-hari dilalui untuk hanya benar-benar memenuhi kebutuhan hidup hari ini dengan ketidakpastian masa depan akibat bayang-bayang PHK, krisis ekonomi hingga gangguan kesehatan dan resiko kecelakaan yang menghantui setiap detik. Belum dihitung jika ternyata buruh perempuan itu ternyata menanggung tiga beban sekaligus : mencari nafkah, mendidik anak dan menjadi subyek kekerasan dalam rumah tangga!  

Ini tentu bukan buah manis emansipasi atau tujuan pengarusutamaan gender. Ini – disadari atau tidak – merupakan pengrusakan dan pemiskinan kultural dan struktural secara sistemik terhadap sistem kehidupan warga akibat dari rekruitmen buruh perempuan besar-besaran tanpa mempertimbangkan dampak sosialnya. Rasa-rasanya harus ada yang bergerak dan tergerak untuk mencegah tatanan masyarakat ini menjadi semakin timpang. Boleh saja investasi terus digenjot, lapangan pekerjaan terus diciptakan, pabrik-pabrik terus dibangun atas nama pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, jangan sampai pertumbuhan ekonomi di satu sisi – yang terkadang ilusif – itu harus dibayar sangat mahal dengan marginalisasi para kepala rumah tangga (laki-laki) yang berakibat pada eksploitasi fisik dan psikis perempuan serta berdampak buruk terhadap masa depan generasi anak cucu kita. Sudahkah para penguasa wilayah, para pembuat regulasi, para oknum penyalur tenaga kerja dan para pemilik atau pengelola perusahaan berpikir sejauh itu? Seharusnya ada jalan keluar untuk masalah ini, jika memang kita ada kemauan dan keberpihakan secara nurani serta manusiawi.
    

No comments:

Post a Comment