“Ternak Teri :
Nganter Anak, Nganter Istri”. Sebuah idiom baru yang makin sering kita dengar dalam
pidato-pidato para pejabat maupun obrolan masyarakat, terutama di Kabupaten
Subang, Jawa Barat. Ungkapan itu untuk menggambarkan munculnya “pekerjaan” baru
bagi para lelaki masa kini di beberapa wilayah industri di Kabupaten Subang
sejak menjamurnya pabrik-pabrik baru. Pembangunan pabrik-pabrik tersebut membentang
di tujuh kecamatan mulai dari Pabuaran, Cipeundeuy, Kalijati, Purwadadi,
Pagaden, Cibogo dan Cipunagara. Bisa digambarkan secara sederhana, pertumbuhan
industri dan pabrik-pabrik berdiri sejajar mengikuti jalur tol Cikopo-Palimanan
yang saat ini sedang dalam tahap penyelesaian.
Disebabkan pabrik-pabrik yang baru bermunculan tersebut ternyata
lebih banyak merekrut buruh perempuan, daripada laki-laki. Sehingga apa boleh
buat, kaum lelaki hanya bisa antar-jemput sang istri yang bekerja sebagai
karyawan pabrik. Bagus jika disela-sela “ternak teri” tersebut para kepala
rumah tangga ini juga sibuk menjalankan profesinya. Malangnya, sebagian besar
bapak-bapak ini ternyata tidak memiliki pekerjaan tetap, bahkan menganggur. Entah
aturan darimana yang mmebuat seorang lelaki sulit mencari pekerjaan di Pabrik
saat ini, apa lacur perempuan harus menanggung beban ganda : menjadi kepala
rumah tangga sekaligus pencari nafkah.
Mungkin bagi beberapa daerah industri lain, seperti Bekasi,
Karawang dan Purwakarta, idiom tersebut sudah dilupakan atau dianggap biasa.
Namun bagi masyarakat Subang, yang ber-alam pikir agraris-perkebunan, fenomena
ini mengundang kekhawatiran jangka panjang, terutama dampak sosial dari
perempuan yang harus menjadi kepala rumah tangga. Dampak pertama adalah pendidikan dan perhatian pada anak terabaikan.
Seperti kita pahami, pendidikan sejatinya tidak hanya dilakukan secara formal
di sekolah, akan tetapi lebih penting adalah pendidikan non-formal di
lingkungan keluarga atau rumah. Apa jadinya jika seorang anak atau beberapa
anak di dalam rumah itu tidak mendapat kasih sayang penuh dari ibunya, karena
sang ibu harus berjuang berangkat pagi pulang malam untuk memenuhi nafkah
keluarganya. Kebanyakan laki-laki tidak begitu bertanggung jawab apabila mengasuh
anak di rumah. Mereka cenderung dibiarkan bebas dan minim perhatian.
Akibatnya, seorang anak dengan mudahnya menyerap
nilai-nilai apa pun, terutama yang bersifat negatif, dari lingkungan yang
cenderung bebas tersebut. Kehadiran Ibu yang biasanya menjadi filter tidak bisa
diharapkan jika waktu dan tenaganya sudah habis untuk bekerja. Jika ada ratusan
bahkan ribuan rumah tangga dengan pola asuh anak seperti ini, sulit dibayangkan
bagaimana masa depan anak-anak minim perhatian Ibu tersebut? Bagaimana moral
mereka? Bagaimana dunia dan pergaulan mereka kelak ketika dewasa? dan
seterusnya. Kedua, sebagai dampak
ikutan absennya istri di rumah, para suami atau lelaki yang kebanyakan
menganggur ini jadi kehilangan “otoritas” nya sebagai pengatur ekonomi, pencari
nafkah utama keluarga. Pendapatan istri mungkin menjadi lebih besar dari
pendapatannya. Harga diri sebagai seorang bapak rumah tangga luluh lantak.
Pelarian dari semua itu, perselingkuhan makin marak untuk sekedar membuktikan
kejantanan dan kesenangan sesaat. Aroma prostitusi di lingkungan sekitar pabrik
yang dihuni ribuan pendatang pun tercium kuat.
Puncaknya, ini yang ketiga,
bukan hanya anak yang kehilangan perhatian, tetapi rumah tangga juga senantiasa
berada di ujung tanduk perceraian dan ketegangan. Benih-benih kekerasan dalam
rumah tangga bermunculan. Jika kurang mampu mengendalikan diri, maka kekerasan
fisik maupun psikis terhadap pasangan dan anak, cenderung meningkat drastis.
Tekanan ekonomi dari lingkungan, perilaku konsumif yang sulit di rem, pergaulan
bebas hingga kekerasan dalam rumah tangga ini lama kelamaan akan membentuk
sebuah karakter masyarakat yang apatis akut terhadap apa pun. Kehilangan
kepekaan nurani karena hanya menjadi robot atau skrup-skrup kapitalisme yang
kehilangan makna hidup dan bahkan tujuan hidupnya. Hari-hari dilalui untuk
hanya benar-benar memenuhi kebutuhan hidup hari ini dengan ketidakpastian masa
depan akibat bayang-bayang PHK, krisis ekonomi hingga gangguan kesehatan dan
resiko kecelakaan yang menghantui setiap detik. Belum dihitung jika ternyata
buruh perempuan itu ternyata menanggung tiga beban sekaligus : mencari nafkah,
mendidik anak dan menjadi subyek kekerasan dalam rumah tangga!
Ini tentu bukan buah manis emansipasi atau tujuan
pengarusutamaan gender. Ini – disadari atau tidak – merupakan pengrusakan dan
pemiskinan kultural dan struktural secara sistemik terhadap sistem kehidupan
warga akibat dari rekruitmen buruh perempuan besar-besaran tanpa
mempertimbangkan dampak sosialnya. Rasa-rasanya harus ada yang bergerak dan
tergerak untuk mencegah tatanan masyarakat ini menjadi semakin timpang. Boleh
saja investasi terus digenjot, lapangan pekerjaan terus diciptakan,
pabrik-pabrik terus dibangun atas nama pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, jangan
sampai pertumbuhan ekonomi di satu sisi – yang terkadang ilusif – itu harus
dibayar sangat mahal dengan marginalisasi para kepala rumah tangga (laki-laki)
yang berakibat pada eksploitasi fisik dan psikis perempuan serta berdampak
buruk terhadap masa depan generasi anak cucu kita. Sudahkah para penguasa
wilayah, para pembuat regulasi, para oknum penyalur tenaga kerja dan para
pemilik atau pengelola perusahaan berpikir sejauh itu? Seharusnya ada jalan
keluar untuk masalah ini, jika memang kita ada kemauan dan keberpihakan secara
nurani serta manusiawi.
No comments:
Post a Comment