04 September 2015

SOSIOLOGI DALAM PRAKTIK

Oleh : Yanu Endar Prasetyo


“Reason has always existed, but not always in a reasonable form.”
(Karl Marx, 1843)[3]






A.   Jati Diri Sarjana Sosiologi
Mempelajari ilmu tentang masyarakat (sosiologi) merupakan proses kompleks dan dinamis antara pengenalan terhadap “diri[4] (ke dalam) dan pemahaman terhadap “lingkungan” (ke luar) sekaligus. Sejalan dengan pemikiran G.H. Mead tentang makna diri tersebut, penulis meyakini bahwa kelompok sosial selalu muncul terlebih dahulu sebelum kemudian lahir individu yang bisa berpikir dan sadar diri. Ada proses auto-refleksi terhadap hakekat ke-diri-an kita sebagai bagian dari sebuah komunitas yang dinamis, sekaligus proses pembelajaran dalam memotret fenomena sosial diluar diri dengan penalaran dan analisa yang kritis. Ibarat seorang fotografer, semakin Ia memahami karakter kamera dan lensa yang dipakainya, maka akan semakin bagus hasil bidikannya. Semakin tinggi jam terbang memotretnya, maka semakin peka sang fotografer itu terhadap aspek pencahayaan, obyek, dan sudut pandang yang harus diambil untuk menghasilkan karya seni yang berkelas. Pun halnya dengan kita sebagai individu maupuan sebagai seorang sarjana sosiologi.

Pemahaman tentang hakekat diri sebagai bagian dari kebudayaan yang lebih luas penting untuk diresapi sebagai jalan keterbukaan hati dan pikiran sebagai modal awal mempelajari sosiologi. Karena kita tidak sedang menghidupkan teori-teori di rak-rak buku perpustakaan sosiologi belaka,  tetapi justru untuk terus-menerus menambah koleksi teori dan buku-buku baru tentang masyarakat terkini. Kita tidak sedang menguji Marx, Weber, Durkheim dengan segala grand theory turunannya untuk disebut belajar sosiologi, tetapi kita sedang menguji pemahaman diri kita sendiri yang memiliki akar kultural dan pengalaman historis yang berbeda dengan siapa pun di dunia ini. Siapa pun kita dapat memberikan kontribusi bagi “the body of knowledge” ini melalui pemahaman sosiologi yang tak hanya kuat secara literer namun juga kaya secara empirik.
 Diri” adalah instrumen utama dalam setiap aktivitas intelektual yang kita jalani. Subyektifitas dan objektivitas, netralitas dan keberpihakan seorang sarjana sosiologi terhadap fenomena yang diamati atau peristiwa yang digeluti, tergantung pada kedalamannya memahami diri dan keterampilannya memberikan jarak dengan presisi yang tepat. Ibarat termometer yang hanya mampu mengukur suhu dengan optimal apabila diletakkan pada titik tertentu yang tepat. Diri kita juga akan mampu melakukan pengamatan, menuangkan analisis, menyajikan opini dan menarik kesimpulan dengan benar apabila berada pada posisi yang tepat layaknya termometer. Oleh karena itu, diri harus selalu siap dalam melakukan pengukuran, karena yang kita ukur adalah “suhu” masyarakat yang terus-menerus bergerak dan berubah.
Kapasitas seorang “diri” yang berlabel “sarjana sosiologi” tentu memiliki kepekaan tersendiri terhadap fenomena sosial jika dibandingkan dengan mereka yang bukan sarjana sosiologi. Bisa jadi Ia lebih peka atau malah sebaliknya. Tidak menjamin sarjana sosiologi mampu menjadi “termometer” yang andal jika tidak pernah diasah dalam berbagai field work di bidangnya. Namun kenyataannya, kerja lapangan sosiologi yang dimaksud nampaknya sering berbeda dengan kerja penghidupan yang sebenarnya. Sebab lainnya, menurut hemat penulis, [kuliah] sosiologi memang bukan untuk menciptakan kaum pekerja, melainkan kaum pemikir. Sosiologi bukan bengkel keterampilan kasar, tetapi bengkel penalaran yang mengajak kita berpikir logis dan komprehensif. Meskipun faktanya, ternyata tidak semua sarjana sosiologi secara linier terus berkutat dalam dunia pemikiran ilmu sosial [lihat gambar no 1]. Fakta beragamnya profesi tersebut dapat dianalisa dari berbagai sudut pandang, salah satunya bermakna bahwa kontribusi sarjana sosiologi saat ini sudah cukup diterima secara luas dalam berbagai bidang kehidupan.



Gambar No 1. Profesi/Karir/Pekerjaan saat ini (2015) dari Alumni/Sarjana Sosiologi FISIP UNS Angkatan Tahun 2003[5]. “UFO” = Unidentified Flying Object = alumni yang belum terdeteksi keberadaanya

Dari contoh kecil potret sarjana sosiologi di atas, maka penting untuk menekankan relasi antara proses penemuan eksistensi diri seorang sarjana sosiologi dengan perannya dalam praktik kesehariannya dalam bermasayarakat. Dengan demikian, lebih mudah bagi kita untuk menjawab pertanyaan : “apa sebenarnya peran sarjana sosiologi dalam kehidupan bermasyarakat? Apa manfaatnya belajar sosiologi” dan pertanyaan-pertanyaan lainnya seputar karir sarjana sosiologi di Indonesia. Jika mengambil ilustrasi dari beragam profesi sarjana sosiologi Fisip UNS Angkatan 2003 di atas, maka kita melihat 40% diantaranya bekerja di sektor privat (swasta). Dari 40% lulusan sosiologi yang bekerja di sektor swasta ini, jika dirinci lebih dalam lagi sebenarnya cakupan bidang perusahaan/instansi yang diikuti juga sangat beragam, mulai dari maskapai penerbangan, sekolah internasional, sekolah luar biasa, perusahaan farmasi, perusahaan komputer, kapal pesiar, bimbingan belajar dan lain sebagainya.
Fakta di atas tentu dapat menghasilkan beberapa analisa yang menarik mengapa banyak sarjana sosiologi yang “memilih” atau “terpaksa” terjun ke dunia swasta bersaing dengan sarjana-sarjana bidang ilmu lainnya?  Tentu saja dengan kompetisi yang tak kalah sengit bila dibandingkan dengan kompetisi mereka untuk menjadi PNS (22,86%). Memang di Indonesia sudah menjadi fenomena yang “umum” manakala bidang ilmu yang ditekuni berbeda sama sekali dengan pekerjaan atau karir yang dititi. Namun pasti ada penjelasan yang lebih memuaskan dibanding hanya sekedar “nasib” atau  “takdir”.  Salah satu latar belakang yang bisa penulis utarakan adalah ternyata jejaring individu, ketertarikan “diri” pada bidang tertentu, dukungan keluarga/orang-orang dekat, akses informasi, dan ketersediaan/peluang eksternal menjadi faktor-faktor pendorong dan penarik individu dalam memilih karir dan pekerjaannya. Faktor lainnya tentu masih sangat banyak dan bisa kita diskusikan lebih lanjut.
B.   Manfaat Belajar Sosiologi
Berdasarkan hasil survei kecil terhadap para sarjana sosiologi FISIP UNS angkatan 2003 di atas, penulis mencoba melakukan eksplorasi terkait “manfaat” belajar sosiologi. Pada akhirnya, penulis sampai pada satu kesimpulan bahwa manfaat belajar sosiologi adalah hampir tidak terbatas dalam praktik[6]-nya. Bahkan sangat sulit untuk sekedar dibuat ruang lingkupnya. Saat mengurai perjalanan karir satu orang sarjana sosiologi saja, kita akan mendapatkan cerita yang demikian panjang dan menarik untuk menjadi bahan penelitian tersendiri. Bahkan pengalaman individual semacam itu juga bisa menjadi kajian kompleksitas karena memang dibalik sesuatu yang nampaknya sederhana [individu], sealu tersimpan kerumitan/kompleksitas yang membentuknya. Tugas sarjana sosiologi salah satunya adalah membuat fenomena yang rumit tersebut menjadi lebih sederhana untuk dipahami dan dimengerti.
Dalam rangka “penyederhanaan” itulah, maka penulis berusaha melakukan refleksi diri terhadap apa yang penulis alami dan rasakan manfaatnya ketika belajar sosiologi. Meskipun bisa jadi sangat berbeda dengan rekan alumni lainnya, setidaknya sedikit dari sekian banyak manfaat belajar sosiologi yang penulis rasakan dapat dicontohkan ke dalam beberapa hal sebagai berikut :
1.    Belajar/Praktik Pengorganisasian Individu/Komunitas/Massa

Salah satu faktor penting yang dituntut dalam karir penulis sebagai peneliti sosiologi pedesaan sekaligus sebagai pengelola/manajemen di institusi tempat bekerja saat ini adalah bagaimana “mendamaikan” antara pekerjaan riset-fungsional dengan pekerjaan administratif-struktural, utamanya dalam kegiatan diseminasi dan kerja sama. Dua hal tersebut sama sekali tidak dapat dipisahkan dalam birokrasi penelitian, tetapi seringkali justru saling menghambat. Belum lagi dengan berbagai kegiatan pengorganisasian yang dilakukan secara independen di luar tugas-tugas formal-institusional, sebagai wujud keberpihakan dan kepedulian pada masalah-masalah sosial tertentu, seperti dampak industrilasiasi, buruh perempuan, kerusakan lingkungan, pendataan budaya dan lain sebagainya. Dalam prakteknya, kajian-kajian tentang power (kekuasaan), authority (kewenangan), perilaku organisasi, dan lain sebagainya menjadi sangat bermanfaat sebagai modal memasuki arena pengorganisasian ini, terutama dalam menunjang kemampuan memetakan peran para aktor, aturan main organisasi, pemilihan metode persuasi yang tepat hingga penanganan konflik yang terjadi. Karena ternyata di dunia kerja/kehidupan nyata kemampuan semacam inilah yang jauh lebih penting untuk dikuasai ketimbang keterampilan teknis pada umumnya.

2.    Belajar/Praktik Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat

Salah satu tugas utama di tempat penulis bekerja adalah bagaimana menjembatani antara penyedia teknologi tepat guna[7] (provider) dengan penggunanya (user). Mayoritas pengguna teknologi tepat guna saat ini adalah mereka yang berada di pedesaan. Tujuan pemanfaatan teknologi tersebut adalah untuk pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) atau untuk peningkatan pendapatan masyarakat (income generating activities). Dalam konteks semacam ini, maka penulis merasa beruntung pernah belajar sosiologi dengan beragam cabang-cabang kajiannya (sosiologi agama, pedesaan, perkotaan, politik, organisasi, dll). Meskipun diperoleh dengan sekilas tanpa pendalaman yang serius, setidaknya semua wawasan itu menjadi bekal penting dalam praktek pemberdayaan masyarakat melalui pemanfaatan teknologi tepat guna tersebut. Dari berbagai pengalaman pemberdayaan ekonomi di beberapa wilayah (Subang, Belu, Praya, Enrekang, dll) menunjukkan bahwa pemahaman yang komprehensif terhadap kelompok/ komunitas/masyarakat yang sedang didampingi adalah kunci penerimaan terhadap kita. Meskipun kita masuk dengan barang yang sama (teknologi) dan dengan tujuan yang sama pula (peningkatan pendapatan), namun kita bisa masuk dan diterima dengan cara yang berbeda, misalnya melalui tokoh agama, lembaga adat, organisasi koperasi, atau lembaga dan personal lainnya yang kita anggap memiliki daya ungkit yang optimal. Pada titik kritis pemberdayaan inilah, pemahaman sosiologi bisa memimpin dalam pengambilan keputusan.

3.    Belajar/Praktik Berjejaring

Semakin luas kita membuka jejaring dengan dunia luar, maka semakin terasa manfaat belajar sosiologi. Tidak semua bisa tergambarkan dengan contoh nyata yang baik, tetapi akan sangat terasa bahwa untuk mendapatkan sari pati suatu ilmu adalah dengan mempraktekkannya. Lalu bagaimana mempraktekkan sosiologi, salah satunya adalah dengan belajar membangun jejaring. Bisa dimulai dari minat kita, misalnya berjejaring dengan media atau komunitas penulis kalau kita hobi menulis, berjejaring dengan banyak organisasi kalau kita seorang aktivis, menjadi anggota asosiasi atau himpunan kalau kita ingin mengasah kepemimpinan, berjejaring dengan grassroots kalau kita menaruh keberpihakan pada mereka, dan seterusnya. Semakin lihai seorang sarjana sosiologi dalam membuka dan masuk ke dalam jaringan tertentu, maka akan semakin mudah semua urusannya dapat diselesaikan. Prinsip ini juga berlaku untuk sarjana manapun, tetapi akan jauh lebih tepat bila seorang sarjana sosiologi memahami arti pentingnya jejaring ini sedini mungkin. Pada kemampuan berjejaring inilah daya saing kita diukur sebagai pemerhati sosial.


4.    Belajar/Praktik Berpikir Kritis dan Bersuara Lewat Tulisan

Tidak ada memang mata kuliah khusus yang menjadikan seorang sarjana sosiologi pandai menulis. Namun kemampuan berekspresi melalui bahasa tulis sangat penting untuk dikuasai, khususnya bagi mereka yang masih menekuni dunia pemikiran atau pergerakan. Sebab, kunci agar pemikiran tetap langgeng salah satunya adalah melalui tulisan. Apalagi di era social media seperti saat ini, akan sangat bermanfaat bila gagasan dan pemikiran tersebut dituangkan dalam tulisan, sehingga dengan mudah akan di-broadcast, di-share, di-like, atau di-read oleh publik yang tak terbatas jumlahnya. Apalagi jika sarjana sosiologi juga memiliki penguasaan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya dengan baik, maka akan semakin mudah dalam penyebarluasan gagasan, pemikiran, kritik, dan upaya-upaya mempengaruhi opini publik lainnya. Artinya, pemahaman sosiologi yang kita miliki akan jauh lebih bermanfaat ketika ia bisa dituliskan dan dibaca oleh publik. Ada baiknya memang keterampilan menulis dan bahasa ini menjadi prioritas “bekal” yang diberikan oleh jurusan sosiologi kepada para mahasiswanya, disamping penguasaan teori dan metodologi ilmu sosial. Hal ini sejalan dengan pesan Al Ghazali yang termahsyur itu : “Jika engkau bukan anak raja atau anak ulama besar, maka menulislah

5.    Belajar/Praktik Berkespresi dengan Seni

Bahasa lain yang sangat berdekatan dengan sosiologi - menurut pengalaman penulis - adalah bahasa seni. Media tulis mungkin terbatas dalam ruang lingkup atau segmen pembaca tertentu, misalnya hanya mereka yang mengerti bahasa indonesia, inggris, ilmiah, pelanggan koran, dan seterusnya. Namun dunia seni memiliki segmen “pembaca” yang jauh lebih universal. Dengan wawasan dan pemahaman kita terhadap isu-isu sosial tertentu, akan memudahkan kita untuk berkolaborasi dengan para seniman dalam menuangkan gagasan tertentu lewat karya seni, baik itu film, dokumenter, fotografi, seni instalasi, seni panggung, teater, dan lain sebagainya. Dengan keluasan dan keleluasaan perspektif a la sosiologi serta pengalaman lapangan sosial yang kaya, tentu akan bermanfaat dalam memancing lahirnya ide-ide kreatif berikutnya. Disinilah peran seorang sarjana sosiologi juga penting dalam menghasilkan karya seni yang sarat akan pesan-pesan moral, sindiran, refleksi, kritik, ironi, dan bahkan sekedar promosi atau propaganda untuk penyadaran publik terhadap isu-isu tertentu. Bagi anda yang memang berminat menekuni dunia aktivis atau gerakan sosial lainnya, rajin-rajinlah berkolaborasi dengan para seniman untuk mendukung aktivitas serta gerakan yang sedang Anda perjuangkan.

C.   Sarjana Sosiologi dan Karir dalam Dunia Penelitian
Trend dunia penelitian global saat ini bergerak ke arah multidisiplin ilmu. Artinya, peluang untuk meniti karir dalam dunia riset dengan latar belakang ilmu apa pun sesungguhnya masih terbuka sangat luas, termasuk bagi para sarjana sosiologi. Berbeda dengan karir dalam birokrasi atau bidang profesi lainnya, karir dalam dunia penelitian memiliki jalur, aturan main, pengakuan dan pencapaiannya tersendiri. Inilah yang harus dipahami dengan baik sebelum memutuskan untuk terjun menekuni dunia dengan kepakaran peneliti ini, baik di Indonesia maupun secara internasional.
Salah satu yang harus dipahami dalam karir peneliti adalah tentang bagaimana seseorang bisa diakui sebagai seorang peneliti di bidangnya. Tentu saja bukan hanya latar belakang pendidikan yang harus disandangnya, melainkan juga pencapaian-pencapaian tertentu yang dianggap “bernilai” tinggi bagi kalangan komunitas ilmiah itu sendiri. Sebagai contoh sesuatu yang bisa disebut sebagai capaian yang harus dihasilkan oleh seorang peneliti misalnya : publikasi ilmiah di jurnal internasional yang terindex global (scopus, elsevier, procedia, dll), publikasi ilmiah dalam prosiding seminar-seminar internasional dan nasional, karya tulis ilmiah dalam bentuk buku yang diterbitkan oleh penerbit internasional maupun nasional, paten, lisensi, dan lain sebagainya.
Secara sederhana kita dapat membagi karir peneliti di Indonesia ini ke dalam dua jalur, peneliti formal (pemerintah) dan “peneliti non-pemerintah”. Peneliti diluar pemerintah ini berarti mereka yang bekerja sebagai peneliti dalam berbagai lembaga riset milik swasta, organisasi, institut atau lembaga profit dan non-profit, internasional dan nasional lainnya. Standar kualifikasi, sertifikasi dan karir peneliti non-pemerintah ini berbeda-beda tergantung bagaimana lembaga tempat mereka bernaung mengaturnya.
Sementara “peneliti pemerintah“ adalah mereka yang bekerja di lembaga penelitian milik pemerintah maupun pemerintah daerah yang keberadaannya diatur oleh peraturan yang berlaku di negara/lembaga tersebut. Misalnya para peneliti yang berada di LIPI, BATAN, LAPAN, BPPT, BIG, BSN, dan Lembaga-Lembaga Litbang di Kementrian teknis maupun Balitbangda di daerah-daerah serta para peneliti di Perguruan Tinggi/Universitas.  Luaran dan capaian seorang peneliti pemerintah tersebut kemudian secara “birokratis” dibuat jenjang-jenjang kepakaran/jabatan dan penilaian dengan standar tertentu. Dari sinilah kemudian kita mengenal gelar peneliti pertama, muda, madya, utama dan Profesor Riset. 
Gambar No 2. Ilustrasi Jenjang Jabatan Fungsional Peneliti.
Sumber : Perka LIPI No 5 Tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis JFP

                Dengan melihat kekhasan dunia karir peneliti tersebut, maka hendaknya sarjana sosiologi yang berminat secara serius menekuni dunia penelitian sudah mempersiapkan visi risetnya jauh-jauh hari. Membuka jejaring, memperbanyak magang penelitian, dan membangun kontak serta relasi dengan para peneliti profesional, baik pemerintah maupun non-pemerintah, untuk menimba ilmu dan pengalaman. Dengan memperkaya field work semacam itu sejak dini, maka ke-diri-an seorang sarjana sosiologi akan makin terasah dan memiliki ciri khas dan kompetensi riset yang jelas.
 
Kesimpulan
                Karir seorang sarjana sosiologi salah satunya ditentukan oleh bagaimana mereka membentuk dan memperkuat kapasitas “diri”(self)-nya. Eksistensi diri Kita tak lain adalah dengan siapa kita bergaul? buku apa yang kita baca? film apa yang kita tonton? dan seterusnya. Belajar sosiologi memberikan kesempatan bagi kita untuk memperkaya wawasan seluas mungkin, belajar berjejaring sebanyak mungkin, hingga pada akhirnya kita memiliki kemampuan dalam memetakan potensi dan masalah dimana pun kita berkarir. Kesadaran bahwa setiap dunia kerja memiliki karakteristiknya yang unik (misalnya karir di dunia penelitian) maka penting bagi seorang sarjana sosiologi untuk memahami kekhasan tersebut jauh-jauh hari sebelum memutuskan terjun ke dalamnya. Dengan demikian diharapkan proses adaptasi akan menjadi lebih mudah, lancar dan cepat.

Ucapan Terima Kasih
                Terima kasih kepada seluruh rekan-rekan alumni sosiologi Fisip UNS, khususnya angkatan 2003, juga kepada Dr. Ahmad Zuber, S.Sos. DEA (Kepala Prodi Sosiologi FISP UNS), Dr. Drajat Tri Kartono, M.Si (Ketua Panitia) serta Bapak/Ibu Dosen, Seluruh Civitas dan panitia HIMASOS yang telah menyelenggarakan seminar dalam rangka Dies Natalies ini dengan baik.




[4] Pemahanan tentang Diri (self) dari G. H. Mead ; “Diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sebuah obyek sekaligus subyek. Diri muncul dan berkembang melalui aktivitas dan hubungan sosial. Mustahil diri muncul tanpa pengalaman sosial. Diri juga berhubungan secara dialektis dengan pikiran, karena tubuh bukan diri dan baru akan menjadi diri jika pikiran telah berkembang” (Ritzer & Goodman, 2010:280-281)
[5] Survei kecil ini tidak dimaksudkan untuk melakukan generalisasi melainkan hanya untuk memberikan ilustrasi dan pengayaan pada makalah ini sebagai bahan diskusi.
[6] prak·tik n 1 pelaksanaan secara nyata apa yg disebut dl teori: teorinya mudah, tetapi -- nya sukar; 2 pelaksanaan pekerjaan (tt dokter, pengacara, dsb): -- dokter dibuka mulai pukul 15.00; 3 perbuatan menerapkan teori (keyakinan dsb); pelaksanaan: aturan itu menemui kesukaran dl -- nya; sumber : http://kbbi.web.id/praktik
[7] Teknologi Tepat Guna (TTG) menurut Inpres No 3 Tahun 2001 adalah “teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dapat menjawab permasalahan masyarakat, tidak merusak lingkungan, dapat dimanfaatkan dan dipelihara oleh masyarakat secara mudah, serta menghasilkan nilai tambah dari aspek ekonomi dan aspek lingkungan

No comments:

Post a Comment