24 August 2016

S3 KE LUAR NEGERI, SIAPA TAKUT?



Sudah ada ribuan kisah inspiratif dari berbagai belahan dunia tentang keberhasilan mewujudkan mimpi untuk mengejar pendidikan yang terbaik. Puluhan bahkan ratusan buku best seller dan film juga sudah dibuat untuk mengabadikan kisah-kisah tersebut. Bukan bermaksud menambah deretan kisah klise semacam itu, tetapi memang rasanya sangat berbeda manakala apa yang diceritakan dalam buku-buku, film dan kisah tersebut kita alami sendiri! Ya, perasaan berbeda itulah yang barangkali bisa saya bagikan dalam tulisan kali ini.
 
Kita mulai dari akhir. 

Bermula pada detik-detik menjelang keberangkatan saya ke Amerika Serikat untuk melanjutkan pendidikan Doktoral. Rasa-rasanya, sekarang adalah waktu yang tepat untuk menuliskan kembali apa yang sudah saya lewati jelang keberangkatan ini. Terlebih, Blog ini sudah vakum selama berbulan-bulan akibat kesibukan dan pontang panting yang perlu dan tidak perlu. Penting dan tidak penting. Mulai dari aktivitas yang ekstra pada gerakan sosial Subang Baru di kota tempat saya tinggal, pekerjaan di Kantor yang sangat padat hingga terutama dan utama adalah kesibukan mengikuti seluruh proses beasiswa maupun perburuan kampus yang sayang untuk tidak diceritakan kembali.

Sejujurnya, apa yang saya peroleh sekarang, yaitu mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Amerika Serikat, sangat berbeda dari apa yang pernah saya bayangkan dahulu kala. Benar bahwa mimpi menyelesaikan pendidikan hingga jenjang tertinggi itu telah ada bahkan sejak masih kecil. Namun masih sulit dipercaya bahwa saya benar-benar memperolehnya saat ini, di Amerika Serikat pula! Sebuah negeri dengan sistem pendidikan yang terkenal mapan dan memiliki ratusan universitas terbaik di dunia. Sungguh, bagi seorang anak dari sebuah kota kecil nun jauh di Blitar sana, bukan anak orang kaya (orang tua saya keduanya hanya lulusan SMEA), dan PNS yang tidak hebat-hebat amat (saya tahu betul kemampuan saya diantara teman-teman yang lain) melanjutkan S3 ke Luar Negeri adalah sebuah kesempatan yang luar biasa. Lantas, bagaimana dan apa yang membuat saya bisa sejauh ini?

Melawan Mitos

Selepas menyelesaikan S2 saya di Institut Pertanian Bogor tahun 2012 lalu, banyak rekan atau senior di tempat saya bekerja yang mendorong untuk segera melanjutkan ke jenjang S3. Tapi sebagian besar mereka melihat paling-paling S3 di dalam negeri saja sudah lumayan. Sebab, jarang cerita mereka yang S2 dalam negeri bisa S3 ke luar negeri. Kalau pun bisa sangat sedikit jumlahnya. Kalau S2 lulusan Luar negeri biasanya mudah untuk S3 ke luar negeri. Alasannya, satu : bahasa inggrisnya sudah baik. Kedua, sudah memiliki jejaring dengan profesor maupun Universitas di LN. Ketiga, ijazah S2 LN lebih dihargai. Bagi saya, itu mitos sodara-sodara! 

Benar adanya bahwa mayoritas mahasiswa yang pernah S2 di LN bisa lebih mudah melanjutkan doktoralnya di LN. Akan tetapi bahwa mustahil mahasiswa S2 dalam negeri bisa melanjutkan ke LN itu benar-benar mitos. Mengapa mitos? 

Sebab melanjutkan kuliah ke LN tidak hanya membutuhkan ijazah LN sebelumnya. Kuliah ke LN juga bukan melulu milik mereka yang sudah pernah kesana sebelumnya. Karena ternyata – sesuai pengalaman pribadi saya berproses selama hampir 3 tahun berjibaku dengan perwujudan mimpi ini – ada hal penting lainnya yang diperlukan untuk benar-benar melanjutkan pendidikan ke Luar Negeri, khususnya untuk kita-kita yang berasal dari golongan ekonomi kelas menengah atau warga biasa-biasa saja. Kalau kamu anak orang kaya atau orang penting di negeri ini, jelas beda lagi ceritanya hehe.

Tujuh Jurus Utama

“senjata”, “amunisi” dan “modal” yang kita perlukan untuk kuliah di LN menurut versi Saya adalah sebagai berikut :  

Satu, Niat yang bulat sebulat-bulatnya. Niat ini jangan pipih atau lonjong, apalagi abstrak. Niat harus bulat. Bahkan kalau kita sudah berkeluarga, seperti saya, bukan hanya niat kita saja yang baru bulat tetapi niat orang-orang terdekat juga harus sama-sama bulatnya. Niat yang bulat ini akan memudahkan kita untuk menggelinding lebih cepat. Kebulatan niat ini juga akan melahirkan keberanian untuk melawan mitos yang dihembuskan oleh lingkungan di sekitar kita. Apa pun mitos itu : mulai dari kampus asal kita yang tidak ternama, lembaga/kantor kita yang biasa-biasa saja, sulitnya mendapatkan skor Toefl yang tinggi, susahnya test IELTS, mahalnya biaya kursus dan tes yang harus dikeluarkan, jauhnya jarak, dstnya. Semua mitos dan bayangan negatif itu hanya bisa dilawan dengan kebulatan niat dan tekad  kita. Tanpa itu, saya jamin pasti loyo dan patah semangat di tengah jalan.

Dua, keberanian mengambil resiko. Jangan dianggap melanjutkan kuliah tidak akan mengorbankan apa-apa atau siapa-siapa. Banyak hal dipertaruhkan ketika kita berniat melanjutkan pendidikan. Minimal kita mempertaruhkan zona nyaman yang dinikmati saat ini. Berat lho meninggalkan zona nyaman saat ini. Belum lagi keluarga yang kadang-kadang menjadi pertimbangan utama bagi orang Indonesia seperti kita. Buat agar keluarga mendukung semua mimpi-mimpi kita, karena kesuksesan Kita adalah ridho dari orang-orang dekat. Kalau meyakinkan mereka saja kita gagal, bagaimana kita mau meyakinkan orang lain di luar sana? Belum lagi jabatan, karir, waktu luang, uang jajan, pulsa, bensin, kuota internet dan seabreg hal-hal kecil lainnya yang pastinya akan menjadi “korban” keganasan mimpi anda! Hehe

Tiga, bahasa inggris. Nah, bahasa inggris adalah modal ketiga setelah kebulatan niat dan keberanian mengambil resiko. Jadi kalau ada yang bilang bahwa bahasa inggris menjadi modal utama/pertama saya kurang setuju. Pengalaman saya pribadi yang memiliki kemampuan bahasa Inggris pas-pasan, ternyata berhasil juga mencapai nilai yang diinginkan dengan dua modal yang pertama diatas : niat yang bulat & keberanian mengambil resiko! Apa sebab? Karena bahasa inggris itu skill yang bisa dilatih. Bisa ditingkatkan. Dan sangat bisa dikuasai oleh siapa pun. Hanya saja memang proses penguasaannya bisa berbeda-beda antara satu orang dengan orang lainnya. Tergantung seberapa serius dan seberapa optimal lingkungan di sekitar kita mendukung pencapaian dan penguasaan bahasa Inggris tersebut. Pada bab lain nanti akan saya ceritakan bagaimana tips mendapatkan skor bahasa inggris yang optimal menurut versi penulis. Intinya, jangan minder dengan kemampuan bahasa inggrismu saat ini, kamu hanya perlu bekerja lebih keras untuk meningkatkannya. Perlu diingiat, musuh terbesar dalam proses penguasaan bahasa ini adalah diri kita sendiri. Bukan yang lain.

Empat, berjuang mencari beasiswa. Setelah tiga modal di atas bersama-sama dibentuk dan dikuatkan, maka arahkan pencarian utama kita pada skema beasiswa apa yang paling tepat untuk membiayai. Rumus saya sederhana : coba saja semua peluang beasiswa yang ada! Bisa LPDP, beasiswa Bappenas, Beasiswa dari Negara Tujuan, dan apa pun beasiswa yang ada. Mau yang beasiswa gelar maupun non gelar. Short course maupun graduate coba saja semuanya sesuai dengan kemampuan yang ada. Kalau tidak bisa mencoba semuanya, setidaknya buat prioritas dan fokuskan untuk memenuhi seluruh persyaratan yang diminta oleh skema beasiswa itu. Penuhi semuanya tanpa kecuali setiap persyaratan. Jika tidak yakin lengkap persyaratannya, lebih baik jangan melamar dulu sampai yakin semuanya sudah lengkap. Agar tidak sia-sia seluruh upayanya. Jika sekali gagal, coba lagi. Jika gagal lagi, anggap itu latihan. Jika masih gagal lagi, maka hanya ada 3 pilihan : coba lagi, coba lagi dan coba lagi!

Lima, melamar kampus impian. Dari pengalaman saya, melamar beasiswa dan melamar kampus adalah dua hal yang berbeda tetapi saling membutuhkan. Melamar kampus akan membutuhkan kepastian scholarship nya, sedangkan melamar beasiswa juga memerlukan kepastian kampusnya dimana? Disinilah seninya. Bagaimana agar kedua proses bisa berjalan beriringan dan bertemu di ujung jalan. Sebagai prioritas maka kita bisa mencari kampus terlebih dahulu baru mencari beasiswa, atau sebaliknya. Proses diterima di sebuah kampus juga tidak sebentar dan membutuhkan persyaratan yang banyak juga. Kampus-kampus di luar negeri juga memiliki jadwalnya masing-masing yang berbeda satu sama lain. Maka penting untuk membuat prioritas kampus atau Universitas yang akan kita tuju untuk kemudian melihat waktu yang tepat untuk melamar. Cara paling konvensional dan jitu adalah mendekati dulu profesor atau sensei (kalau mau kuliah ke Jepang) sampai kemudian kita mendapatkan rekomendasi atau malahan LoA (Letter of Acceptance) dari Profesor atau jurusan yang kita minati, baru kemudian beranjak pada proses admission di level Universitas untuk mendapatkan LoA sebenarnya. Harapannya, akan terjalin kecocokan lahir dan batin dengan calon pembimbing/advisor dengan kita, jadi kalau ada kendala dalam proses rekrutmen di universitas sang advisor bisa membantu memberikan jalan keluar. LoA ini penting sekali sifatnya dalam persaingan beasiswa, biasanya dibutuhkan LoA unconditional sebagai bukti bahwa kita diterima tanpa syarat di kampus tersebut, atau ada juga LoA conditional, artinya kita diterima dengan syarat-syarat tambahan lainnya. 


 contoh Unconditional LoA

Enam, rajin berselancar di internet. Jangan bosan-bosan berselancar di Internet untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya info. Baik itu soal beasiswa yang akan kita ikuti kompetisinya maupun universitas dan profesor yang akan kita lamar untuk melanjutkan studi. Untuk menyemangati di tengah kepenatan, biasanya saya berselancar tentang keindahan atau tempat-tempat adventure di kota tempat universitas tujuan berada. Ini baik banget secara psikologis karena bisa memberi dorongan semangat yang lebih kuat (semangat belajar sambil piknik). Saya juga berusaha meningkatkan kemampuan bahasa inggris dengan rajin menonton tutorial di youtube maupun modul-modul soal online lainnya.

Tujuh, jurus menengadah ke atas langit. Setelah semua jurus sebelumnya dilaksanakan. Sekarang saatnya bersabar dan berdoa tiada henti. Perbanyak puasa, mengaji, bersedekah, menolong orang lain dan hal-hal baik lainnya menurut agama dan kepercayaan kita. Sebab, entah berhubungan atau tidak, namun secara kejiwaan berdoa akan mampu menyeimbangkan hidup kita. Terutama di tengah kompetisi yang sengit dan perjuangan hidup yang tidak ada ujungnya, maka senjata pamungkas kita adalah dengan bersabar dan bertawakkal pada yang Maha memberi. Berdoa juga menjauhkan kita dari rasa jumawa atau kepedean, termasuk menghindarkan kita dari rasa rendah diri berlebihan. Berdoa menuntun kita pada perasaan yang “sedang-sedang saja”, artinya tidak over optimis dan juga tidak over pesimis. Sebab, ambisi yang kuat biasanya dekat pula dengan kekecewaan dan ketidakpuasan, padahal, bukankah pendidikan hanya satu hal kecil saja diantara hal-hal lain yang patut kita syukuri di dunia ini? Tengadahkan tanganmu ke langit, sembari tundukkan kepalamu ke bumi. Sisanya adalah pelihara prasangka baik pada Tuhanmu. Maka yang akan terjadi, terjadilah.

So, selamat berjuang untuk meraih mimpimu setinggi mungkin.

Mimpi bolehlah setinggi awan,
Tetaplah kaki menginjak bumi.
Kuliah ke Luar Negeri adalah harapan,
Pencapaian yang kelak mungkin akan berarti.


No comments:

Post a Comment