15 November 2016

Kota, Budaya dan Bencana

Yanu Endar Prasetyo
pasundan ekspres, 15 November 2016

Masa depan peradaban manusia berada di Kota. Sebab, pada tahun 2030 nanti, lebih dari enam puluh persen penduduk dunia akan tinggal di perkotaan. Oleh karena itu, jika salah dalam merencanakan dan mengelola kota akan berujung pada bencana dan krisis multidimensi yang berkepanjangan. Isu-isu yang berkembang dalam pembangunan kota ini tentu saja bervariasi antar negara. Untuk negara maju seperti Amerika Serikat misalnya, isu penting saat ini adalah soal integrasi penduduk dan komunitas (akibat banjir imigran dan masalah rasial), tingginya kriminalitas (akibat bebasnya kepemilikan senjata api), dan ketimpangan ekonomi (meningkatnya pengangguran dan tunawisma). Bagi negara seperti Indonesia yang sedang bertumbuh pesat kota-kota metropolitannya, isu utama perkotaan adalah seputar kepastian rencana tata ruang (kepentingan publik versus privat, industri versus pertanian), akses dan kualitas transportasi publik, lingkungan (pengelolaan sampah, drainase, ruang terbuka hijau, banjir) serta ketimpangan ekonomi penduduk yang makin menganga.
Jika ditelusur secara sosiologis, unsur-unsur pembentuk masalah perkotaan itu pada akhirnya kembali kepada karakteristik kapital masing-masing wilayah atau negara. Flora (2013) membagi kapital ini ke dalam tujuh bentuk yang mempengaruhi perkembangan suatu wilayah menjadi urban, yaitu social capital, cultural capital, human capital, natural capital, financial capital, political capital dan built capital. Namun demikian, masalah perkotaan muncul dari perpaduan berbagai sumber daya kapital tersebut. Kompleks dan tidak sederhana untuk diuraikan, apalagi diselesaikan. Faktor sosial budaya (cultural and social capital) masyarakat menjadi sangat penting dan utama untuk digarap. Budaya ini menyangkut tata nilai, identitas, hingga gaya hidup dan perilaku sehari-hari. Memahami budaya masyarakat perkotaan ini menjadi kunci untuk memilih pendekatan pembangunan kota yang tepat. Dengan memahami budaya ini pula isu-isu sensitif seputar penataan kota, kebersihan sungai, penggurusan, pemukiman, pusat bisnis, ruang terbuka hijau, kawasan industri, kemacetan dan lain-lain diharapkan dapat dilakukan secara lebih humanis dan beradab.

Pakar kapital sosial terkemuka, Robert D. Putnam, menulis dalam buku terbarunya tentang degradasi modal sosial kontemporer berjudul “Our Kids : American Dream in Crisis” (2015). Ia menunjukkan pesimisme yang kuat akan masa depan kehidupan sosial di Amerika Serikat. Ketimpangan ekonomi dan runtuhnya mimpi kesejahteraan a la Amerika yang selama ini menjadi daya tarik bagi imigran dari seluruh dunia kian menghantui. Bahkan sudah nampak di depan mata. Kota-kota di Amerika Serikat tumbuh tak terbendung sembari terus menggerus modal sosial masyarakat dan komunitasnya. Desa-desa di Amerika ditinggalkan oleh penduduknya karena tidak ada pekerjaan disana. Ketimpangan standar kehidupan di perkotaan pun kian menganga. Hal ini pula yang terpotret jelas dalam buku Francois Bourguignon (2015) tentang The Globalization of Inequality. Disimpulkan buku itu bahwa pola pembangunan (developmentalisme) dunia harus segera dikoreksi, sebab ia ternyata hanya menghasilkan penyebarluasan ketimpangan itu sendiri ke seluruh dunia.

Neighborhood Revitalization
Bagaimana negara maju menjawab persoalan masa depan perkotaan ini? Kita bisa belajar dari sebuah kota bernama City Heights di San Diego, Amerika Serikat, yang berhasil mengubah wajah kota dengan memadukan investasi pada modal sosial budaya dengan kapital lainnya, terutama kapital finansial dan fisik. Dua dasawarsa yang lampau, San Diego yang terletak di wilayah California dan dekat dengan perbatasan meksiko ini merupakan kota yang menyeramkan. Angka kriminalitas sangat tinggi dan hampir setiap hari terjadi penembakan. Sebagai wilayah yang paling banyak disinggahi imigran pasca perang dunia II, San Diego juga menjadi salah satu kota paling multikultur di Amerika Serikat. Banyak pengungsi dari Vietnam, Somalia, Timur Tengah dan pendatang dari China, Meksiko serta Afrika berkumpul di kota ini. Segregasi antar etnis, agama dan rasial pun kentara dan menimbulkan banyak konflik. Termasuk, kesenjangan kaya dan miskin menjadi sangat kentara dimana para imigran yang tidak memiliki keterampilan ini adalah representasi dari kaum miskin dan marginal.
Kriminalitas dan rasisme yang tinggi ini menyebabkan lunturnya kepercayaan (trust) antar warga dan bahkan antar tetangga. Mereka tinggal dalam perumahan yang tidak saling mengenal dan malah saling curiga satu sama lain. Masyarakat berada dalam suasana yang anomi dan diliputi perasaan ketakutan (anxiety). Sampai kemudian ada inisiatif dari pengusaha besar yang pro-komunitas mulai mendiskuskan ulang kota mereka bersama pemerintah, kepolisian dan warga. Muncul gerakan sosial di kota itu yang disebut dengan revitalisasi bertetangga. Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dibangun relawan untuk mengenalkan, mempertemukan dan menyatukan kembali warga kota City Heights sebagai suatu komunitas yang bersatu. Singat cerita, public-privat partnership dijalankan untuk proyek-proyek sosial strategis, seperti pembangunan kantor polisi baru yang lebih humanis dan ramah dengan ruang terbuka dan pusat kebugaran gratis, pembangunan community center, ruang-ruang publik, akses pada kesehatan, pendidikan multkultural di sekolah-sekolah yang mengakomodir lebih dari 20 bahasa, mendorong partisipasi orang tua dalam kegiatan sekolah anak-anak mereka, kerja sama antar pemuka umat beragama, sampai dengan kegiatan gotong royong menghapus vandalisme dan menata keindahan kota.
Sesuatu yang sederhana dan sebenarnya pernah mengakar dalam masayarakat itu sendiri. Namun akibat dari pertumbuhan kota yang tanpa perencanaan partisipatif dan ruang-ruang dialog, maka apa yang menjadi modal sosial warga (trust, network, and norm) itu terkoyak-koyak dan perlu investasi sosial ekonomi yang mahal serta panjang untuk memulihkannya kembali. Hari ini, City Heights di San Diego telah berubah seratus delapan puluh derajat menjadi kota multkultur yang lebih nyaman untuk ditinggali. Kriminalitas turun tajam seiring bangkitnya rasa memiliki sebagai suatu komunitas. Kesenjangan ekonomi perlahan dikikis dengan berkurangnya diskriminasi rasial dan agama dalam pekerjaan sehari-hari. Kendala komunikasi dan budaya diselesaikan dengan pendidikan dan forum-forum publik yang melibatkan anak-anak dan orang tuanya sekaligus.

Link City Heights Community Development Corporation : Here 


San Diego adalah sekelumit contoh sukses membangun kota dari pendekatan kapital sosial dan budaya. Bagaimana dengan di Indonesia? Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota lainnya di Indonesia juga berbenah dan nampak mulai memberikan hasil yang memuaskan. Bedanya, kota-kota ini menata dirinya mulai dari political capital, yaitu diawali dengan memiliki kepala daerah yang memiliki visi jelas dan mampu menindakkannya di lapangan. Pendekatan kapital politik ini nampaknya masih akan menjadi mainstream untuk pembangunan kota-kota di Indonesia. Tanpa memiliki pemimpin yang berpihak pada kepentingan publik, hampir dipastikan pembangunan kota tersebut tak memiliki arah atau akan tertinggal dari daerah lain.
Namun demikian, kritik paling utama dari pendekatan kapital politik adalah perubahan yang disentuh terkadang masih bersifat pemukaan, pencitraan dan belum sesuatu yang menjadi masalah mendasar. Contoh masalah mendasar adalah membangun sesuatu yang benar-benar visioner dan preventif untuk keberlangsungan selama lima puluh bahkan seratus tahun mendatang. Pendekatan politik masih cenderung dengan sentuhan jangka pendek dan populis karena memiliki target politik elektoral lima tahunan. Oleh karena itu, nampaknya negara kita masih perlu lebih banyak lagi contoh dan model pengelolaan kota yang bervisi jangka panjang dan menyentuh akar budaya masyarakatnya sebagai penjamin keberlangsungan peradaban kota yang lebih humanis. Harapannya, kita dapat mencegah dan mengurangi bencana alam maupun sosial perkotaan di masa mendatang.   


2 comments: