30 January 2019

Soal Nasib Gula yang Tak Semanis Rasanya


Oleh: Yanu Prasetyo

Ada guyonan menarik soal nasib gula dalam secangkir kopi. Katanya, jika kopi terlalu pahit, maka gula yang disalahkan. Karena terlalu sedikit. Kalau kopi terlalu manis, gula lagi yang disalahkan. Karena kebanyakan. Kalau kopi dan gulanya pas. Maka kopi yang mendapat pujian, “kopinya mantab!”. Gula pun dilupakan. Demikian sial nasib gula hingga tak pernah mendapat pujian.


Bukan hanya hubungan cintanya dengan kopi yang serba salah, hubungan gula dengan manusia juga tak kalah peliknya. Menilik sejarahnya, masa lalu gula adalah sejarah yang penuh dengan penindasan. Sejarah kelam kolonialisme dan perbudakan. Sejak bangsa Eropa, terutama Englishmen, mengenal Saccharum Officinarum L. (nama latin dari gula tebu) ini, dengan cepat komposisi diet mereka berubah. Banyak literatur yang menyebut gula pertama kali ditemukan atau diproduksi di India. Padahal jauh sebelum itu, bangsa-bangsa di pasifik seperti Papua Nugini, Philipina, dan Indonesia, sudah menanam tebu dan mengenal gula ini. Bukan hanya sucrose, mereka juga sudah mengenal sumber makanan manis lainnya seperti madu, cokelat, dan buat-buahan umumnya.



Sejarawan sempat menemukan catatan pengiriman (via kapal laut) gula pertama ke Inggris bertahun 1319 (Mintz, 1985). Bahkan Columbus, konon pernah membawa sugar cane ini ke Amerika pada pelayaran keduanya dari Canary Islands pada tahun 1493. Pada tahun 1625, giliran Portugis yang dikenal sebagai pemasok utama gula di daratan Eropa. Mereka mengirim gula dari koloni utamanya: Brazil. Dari sinilah kemudian Brazil berkembang dan dikenal sebagai pengekspor gula paling besar pada era itu. Bahkan sampai sekarang.

Sekitar tahun 1650, gula masih cukup eksklusif di Inggris. Tentu karena harganya yang sangat mahal. Namun tak perlu waktu lama untuk membuat gula menjadi barang umum, from luxury and rarity into commonplace. Pasar yang menguntungkan ini mendorong bangsa Inggris, Portugis, Spanyol dan Prancis untuk mengimpor gula sebanyak-banyaknya dari koloni jajahannya. Seiring dengan revolusi industri dan perkembangan kapitalisme yang demikian cepat, permintaan gula pun semakin tinggi di pasaran. Tahun 1900-an, gula sudah dikenal luas dan menjadi barang murah. Baik oleh bangsawan maupun rakyat jelata. Baik di Eropa maupun belahan dunia lainnya. Sumbernya pun tak lagi hanya tebu, tapi juga tanaman-tanaman lainnya.

Meskipun demikian manis dan terkenal, nasib gula ternyata masih juga belum beruntung. Dalam kamus kesehatan manusia modern, posisi gula juga cenderung terpojokkan. Dulu lemak yang selalu jadi kambing hitam. Kini, konsumsi gula berlebihanlah yang dianggap sebagai salah satu pembunuh mematikan. Terutama gula tambahan. Gula alami yang terkandung dalam makanan seperti buah-buahan dianggap menyehatkan. Namun, tetap saja tidak boleh dikonsumsi berlebihan.

Menurut World Health Organization (WHO), standar konsumsi gula perhari adalah cukup 25 gram. Tapi bagi orang Indonesia, takaran itu sepertinya masih dianggap kurang manis. Buktinya, konsumsi perkapita masyarakat Indonesia mencapai 31 gram per hari (2015). Menurut prediksi Prof. Bustanul Arifin, Guru Besar Unila itu, total konsumsi gula masyarakat Indonesia akan mencapai 25,6 juta ton pada 2025 dan 29,1 juta ton pada 2045. Itu diluar konsumsi kue, minuman dan produk pangan lain yang menggunakan gula rafinasi dan turunannya.

Jadi, meskipun selalu disalah-salahkan, toh gula tetap selalu dicari. Meskipun manisnya mengandung racun berbahaya, tetap saja diburu. Walaupun jarang dipuji, gula tetap tampil manis seperti yang sudah-sudah. Ia sabar dan tidak berubah. Sulit membayangkan jika tiba-tiba gula hilang dari pasaran.

So, how could sugar have become so important in our modern history? The answer may seem self-evident: sugar is sweet, and human beings like sweetness!


Well, sudahkah Anda mencaci gula hari ini?

===
sumber ilustrasi: huffingtonpost


No comments:

Post a Comment