27 January 2019

The Wheel Estate: Dari Gaya Hidup Hingga Kisah Orang-Orang Biasa yang Bangkrut


Oleh: Yanu Prasetyo

Jessica Bruder, seorang jurnalis yang menelisik sisi lain kehidupan orang Amerika. Lebih dari tiga tahun ia mengikuti dan mewawancarai puluhan orang yang hidup di rumah berjalan: RV, mobil Van, bus sekolah, hingga trailers yang telah dimodifikasi. Mereka tersebar di seluruh penjuru Amerika. Dari North Dakota di utara hingga San Marcos di California. Dari Texas, Kentucky, hingga Brooklyn. Jessica mengabadikan kisah-kisah orang yang ditemuinya itu dalam bukunya berjudul “Nomadland: Surviving America in the Twenty-First Century”. Terbit tahun 2017 dan masuk ke dalam 100 notable books dari The New York Times book review. Di buku ini, Ia mencatat kisah orang-orang yang lebih memilih disebut “houseless” daripada “homeless”. Mereka yang terpaksa menjual “real estate” dan pindah ke “wheel estate” untuk bertahan hidup. Sebuah narasi tentang sisi gelap dari ketimpangan ekonomi di Amerika.

Dahulu, kita mengenal suku primitif yang hidup berpindah-pindah demi mencari sumber air dan makanan. Sekarang, di abad ini, homo sapiens modern pun mengulang pola hidup yang sama. Berpindah-pindah. Nomaden. Dengan alasan yang sama pula: untuk bertahan hidup. Yang membedakan adalah penyebabnya. Suku primitif terpaksa hidup berpindah karena ancaman iklim, musim, atau menghindari perang dengan suku lain. Sementara manusia modern terpaksa hidup di jalanan akibat gagal bertahan dalam sistem ekonomi kapitalis. Penghisap darah dan keringat orang hingga bangkrut.

Dahulu, berkendara dengan mobil RV bagi orang Amerika pada umumnya adalah bagian dari gaya hidup. Mengisi liburan dengan camping di alam bebas. Berkeliling kontinen dengan membawa segenap anggota keluarga. Mengisi waktu senggang sambal menikmati pemandangan. Sambil memancing di danau terpencil atau berjemur di tepi pantai tanpa perlu menyewa penginapan. Dapur, Kasur, dan kamar mandi (meskipun ciut) ada di dalam. Hemat dan penuh petualangan. Sekarang, ia tak lagi sekedar hiburan. Tetapi pilihan terakhir agar tetap bisa bertahan. Malahan, bagi sebagian orang ia adalah pilihan satu-satunya ketika tua dan pensiun!

Membaca kebangkrutan ini matematika-nya cukup mudah. Tinggal melihat keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran. Semua “tagihan” itu terekam dalam satu sistem yang melekat pada individu. Kalau kita gagal bayar pada satu tagihan, maka akan merembet secara sistemik pada pengeluaran lainnya. Jika semakin hari semakin banyak tagihan yang tak terbayar, maka tanda-tanda kebangkrutan muncul. Jika tiba-tiba kita kehilangan pekerjaan, tidak cukup tabungan, maka mustahil bisa tetap tinggal di rumah sewaan. Rumah sendiri pun harus terjual jika kita bermasalah dengan tagihan kartu kredit, student debt, biaya pengobatan, atau hal-hal urgen lainnya. Maka, ketika kemalangan bertubi-tubi itu datang, harta terakhir yang tidak boleh lepas adalah kendaraan. Ya, memiliki kendaraan bisa mengurangi beban-beban itu secara signifikan.  

Sejak resesi ekonomi tahun 2008 lalu, makin banyak warga Amerika yang terpaksa tinggal berpindah-pindah di mobil atau trailers mereka. Bergerak dari satu titik ke titik lainnya. Dalam mobilitasnya itu, mereka mencari pekerjaan paruh waktu apa pun yang memungkinkan. Jika musim dingin datang, maka mereka berbondong-bondong bergerak ke selatan mencari kehangatan. Sebab, tinggal di mobil atau trailer pada musim dingin sangat menyiksa. Perlu banyak energi yang berarti banyak pengeluaran. Dalam perjalanan bermigrasi, itu mereka bertemu dengan sesama yang senasib. Saat rumah mobil itu mogok di jalan, maka kawan lain akan berhenti dan mengulurkan tangan. Sebagaimana naluri manusia, mereka pun menjadi komunitas. Berjejaring hingga meluas. Bertukar facebook atau nomor untuk saling berkabar. Bahkan, mendapat teman kencan dan sahabat berpetualang. Tak peduli nenek-nenek atau anak muda belia, mereka merasa senasib dan sepenanggungan.

Di tengah semua himpitan hidup ini, mengetahui bahwa mereka tidak sendirian tentu bisa menjadi sebuah pengobat jiwa yang ampuh. Agar tak diam-diam terbunuh dalam sepi. Membuat mereka membuang sejenak pikiran untuk segera mengakhiri hidup yang terasa makin sia-sia itu. Saat dulu masih hidup menetap, mimpi dan keinginan mereka begitu banyak. Kini, ketika mereka harus hidup nomad, mimpi mereka cuma satu: menemukan tempat parkir yang aman untuk istirahat malam ini. Atau, kalau beruntung, untuk bertahan satu musim lagi.   

No comments:

Post a Comment