11 February 2019

Deklarasi Capres (AS)

Oleh: Yanu Prasetyo

Salah satu hobi saya belakangan adalah menonton dan mendengarkan deklarasi capres. Capres di Amerika tentunya. Baru saja, beberapa jam lalu saya usai menonton deklarasi salah satu kandidat dari Partai Demokrat, Amy Klobuchar. Senator dari Minnesota. Deklarasinya unik. Bahkan luar biasa. Ditengah guyuran salju tebal yang terbayang dinginnya pasti melebihi Missouri. Missouri yang berada ditengah-tengah kontinen saja demikian ekstrem. Apalagi Minnesota yang ada di Utara. Sama sekali nggak kebayang bekunya. Benar-benar militan capres dan pendukung yang satu ini!


Selain Amy, saya juga menonton deklarasi kandidat lainnya. Ada Elizabeth Warren, Julian Castro, Kamala Harris, Cory Booker, Tulsi Gabbard, dan lain-lain. Live via facebook atau youtube tentu saja. Bukan hadir langsung. Jelas nama-nama di atas belumlah setenar Donald Trump. Sang petahana itu. Yang dipastikan akan maju lagi pada pilpres tahun depan. Meskipun, ada pula yang sudah menyindir bahwa tahun depan mungkin Ia bukan lagi orang yang bebas. Sindiran ini terkait dengan beberapa investigasi kasus hukum yang sudah nyerempet-nyerempet namanya belakangan.

Bentuk deklarasinya juga sederhana dan minimalis. Umumnya di tempat terbuka. Cukup panggung kecil, podium satu, poster kecil-kecil bertuliskan nama di kandidat, dan bendera Amerika. Sudah itu saja. Tempat yang dipilih biasanya berbau sejarah dan memiliki ikatan emosional terhadap kandidat. Seperti Julian Castro yang memilih San Antonia, Texas, karena disana 100 tahun yang lalu neneknya masuk menjadi imigran di AS. Atau tempat dimana ia terpilih menjadi senator, anggota DPR, gubernur, atau jabatan publik lainnya. Kandidat akan didampingi keluarga, teman, dan dikelilingi para pendukung atau relawannya. Sebelum pidato deklarasi, beberapa orang, termasuk keluarga, akan membuka dengan memberikan kesaksian soal sosok yang akan deklarasi.

Kembali ke hobi baru tadi. Biasanya, selepas melihat deklarasi, langsung saya mencari akun media sosial si kandidat. Facebook, instagram, dan twitter. saya "like" dan "follow". Ini bukan sekedar kepo, tapi agar informasi tentang si kandidat otomatis ada di timeline. Setelah itu, saya ketik nama kandidat di jendela mesin pencari. Biasanya langsung muncul website resmi kampanye mereka. Saya klik. Saya amati strukturnya, pesan-pesannya, program-programnya, cara mereka meminta donasi (biasanya dimulai dari $5, $10, sampai diatas $100), dan lain-lain. Walapun bukan pemilih, berselancar seperti ini mengasyikkan juga ternyata.

Dari nama-nama yang sudah mendeklarasikan bakal maju itu, tentu akan ada seleksi politik dan sosial. Ada beberapa jenjang yang harus dilewati agar menjadi capres sebenarnya dalam pemilu. Secara itung-itungan, tentu dengan minimnya jumlah partai yang ada, membuat kesempatan setiap kandidat juga kecil. Tapi disitulah seninya politik. Jika mampu melewati dan berhasil terpilih, maka ia bisa dikatakan sebagai kandidat yang benar-benar tangguh. Kekuatan finansial memang penting, tapi politik di AS membuktikan itu bukan segalanya.

Buktinya, beberapa politisi yang kemarin lolos menjadi senator dan anggota DPR pun banyak yang menolak dana korporasi yang menggiurkan itu. Mereka lebih memilih donasi dari masyarakat umum. Yang artinya dananya cekak bin pas-pasan. Pola ini pun nampaknya menjadi tren pada rata-rata di kalangan kandidat muda yang mendeklarasikan diri. Mereka menjauhkan diri dari citra didukung konglomerat. Mereka ingin tampil merepresentasikan kelas menengah, kelas pekerja, dan rakyat biasa yang secara ekonomi belakangan semakin tertekan. Resep ini sepertinya sempat pula dicoba oleh kandidat di Indonesia. Tapi entah bagaimana hasilnya? dugaan saya sih masyarakat belum "percaya" dan siap dengan metode seperti ini.

Nah, pas saya mencoba hal yang sama untuk capres dan cawapres kita, koq saya kesulitan ya menemukan website personal sang kandidat. Website lho ya, bukan sosmed. Hanya website kyai Ma'ruf Amin saja yang nampak siap untuk diikuti dan dibaca pemikirannya. Saya coba berulang-ulang sampai ganti browser. Rata-rata memang akun resminya di sosial media yang lebih banyak berisi aktivitas hari ini lagi ngapain? itu saja. Soal gagasan, pemikiran, program-program, keberpihakan, dan lain-lain nampaknya masih dianggap kurang penting. Apa memang orang sudah tidak suka berkunjung di website lagi?

No comments:

Post a Comment