Oleh: Yanu Prasetyo
Kamis lalu (15/2), akhirnya Amazon, perusahaan mega-raksasa itu,
membatalkan rencananya membangun kantor barunya di Long Island, New York. Pembatalan
dilakukan setelah para aktivis, warga, dan politisi lokal setempat menolak pembangunan
kantor baru tersebut. Alasannya masuk akal, secara ekonomi New York tidak
membutuhkan Amazon. Perhitungan mereka, kehadiran Amazon tidak akan menyerap
tenaga kerja yang signifikan. Ditambah, mereka menolak keras rencana pemerintah
setempat yang akan memberikan subsidi (keringanan) pada perusahaan raksasa itu.
Nilai subsidinya gak tanggung-tanggung. Mencapai 3 milyar
Dollar. Gila saja, masak perusahaan kaya raya harus disumbang oleh pajak yang
dukumpulkan oleh warga. Padahal, banyak masalah lain yang menjadi concern
warga New York, seperti perumahan dan pendididikan. Daripada diberikan kepada
perusahaan yang jelas-jelas sudah makmur itu, bukankah lebih baik digelontorkan
untuk kepentingan publik lainnya? Tapi, memang begitulah praktik kebijakan
ekonomi di Amerika (dan mungkin di kapitalis state lainnya), dimana Pemerintah selalu tersenyum lebar-lebar dan membuka tangan
untuk korporasi besar.
Mereka,
para investor dan korporasi itu dianggap bagaikan “dewa” dan “malaikat”. Kehadirannya
diharapkan membuka lapangan kerja baru. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dan akhirnya,
ketika angka pertumbuhan ekonomi dianggap meningkat, maka pemerintah daerah
akan dianggap sukses dan para pejabatnya akan terpilih lagi pada pemilu
berikutnya. Begitu seterusnya. Menjadi sebuah lingkaran ekonomi politik yang
diikuti terus menerus. Tidak peduli apakah korporasi itu benar-benar menepati
janjinya ketika sebelum masuk (biasanya mereka menjanjikan akan menyerap sekian
ratus ribu pekerja lokal) atau tidak.
Ada banyak
kasus ketika subsidi (dalam berbagai bentuk) pemerintah lokal itu telah
diterima, si korporasi besar ini berkelit dan ingkar janji dengan berbagai alasan. Semula ia
berjanji menyerap seratus ribu karyawan baru, namun akhirnya terwujud hanya seribu dengan
berbagai alasan. Ini terjadi di Wisconsin beberapa tahun yang lalu. Dimana setelah
pemerintah negara bagian memberikan subsidi kepada Foxconn (4.8 Milyar Dollar)
untuk membangun pabrik baru disana. Begitu deal, Foxconn tiba-tiba mengecilkan
skala pabriknya dan mengumumkan akan menggunakan automatisasi (robot) pada operasional
pabriknya. Akibatnya, mimpi penyerapan lapangan kerja baru untuk warga lokal pun
lenyap seketika. Pemerintah dan warga dikerjai. Kemungkinan inilah yang diantisipasi oleh
warga New York. Mereka tidak mau dikadalin oleh Amazon. Siapa yang mau
membangun kantor, siapa yang harus membayar? Enak saja! Begitu istilahnya.
Yang lebih
unik, rencana masuknya korporasi ke sebuah negara bagian seringkali menjadi “perang”
dan rebutan antar tetangga. Mereka berebut menjadi yang termanis di hadapan korporasi.
Memberikan kemudahan, diskon, dan subsidi sebesar-besarnya. Langsung maupun tidak langsung. Tanpa tahu apa
rencana sebenarnya dari si korporasi itu? Ini terjadi di Kansas City, Missouri. Dimana kota
Kansas ini terbelah dua, wilayah timur masuk ke negara bagian Missouri, dan wilayah
barat masuk ke negara bagian Kansas.
Semula, ada dua
korporasi besar yang memiliki homebase di kota ini. Applebee’s di Kansas City
Missouri, dan AMC entertainment di Kansas City Kansas. Lalu terjadi perang subsidi
yang menyebabkan kedua perusahaan ini bertukar lokasi. Satu pindah ke Kansas, karena merasa mendapat
fasilitas dan keringanan. Dan satu lagi pindah ke Missouri dengan alasan yang
sama. Akibat dari perpindahan headquarter dua korporasi ini, warga dan negara
bagian tidak mendapat apa-apa meskipun mereka telah memberikan banyak
keringanan dan subsidi itu. Pekerjaan
baru yang diharapkan tidak muncul. Justru sebaliknya, menimbulkan masalah baru
dimana 10,000 karyawan dari kedua korporasi sekarang harus menjadi komuter akibat
kantornya menjadi saling berjauhan. Korporasi sih mana peduli, mereka mengejar
dan mencari apa pun yang menguntungkan. Itu saja.
Menurut
perhitungan The Atlantic, Amerika rata-rata memberikan subsidi hingga 90 milyar
Dollar untuk korporasi-korporasi besar seperti Nike, Boeing, Ford, General
Motors, dan lain-lain (Media Tirto juga pernah mengangkat isu ini pada tanggal
16 Januari 2018 yang lalu). Lebih besar dari apa yang dikeluarkan oleh pemerintah Federal untuk
pendidikan dan infrastruktur. Dengan tren gerakan-gerakan anti-billionaire dan
resistensi pada monopoli korporasi besar di AS, nampaknya protes-protes serupa
dengan New York akan terus menggema dalam beberapa tahun ke depan. Ketimpangan ekonomi adalah pemicunya.
Lagi-lagi, pemerintah akan selalu diuji dan dihadapkan pada satu pertanyaan: apakah
ia lebih membela kepentingan korporasi atau kepentingan warganya sendiri?
Lalu, apa kabar
dengan Indonesia?
===
sumber foto: New York Times
sumber foto: New York Times
No comments:
Post a Comment