17 February 2019

New York vs. Amazon: Menyoal Subsidi Pemerintah Pada Korporasi


Oleh: Yanu Prasetyo

Kamis lalu (15/2), akhirnya Amazon, perusahaan mega-raksasa itu, membatalkan rencananya membangun kantor barunya di Long Island, New York. Pembatalan dilakukan setelah para aktivis, warga, dan politisi lokal setempat menolak pembangunan kantor baru tersebut. Alasannya masuk akal, secara ekonomi New York tidak membutuhkan Amazon. Perhitungan mereka, kehadiran Amazon tidak akan menyerap tenaga kerja yang signifikan. Ditambah, mereka menolak keras rencana pemerintah setempat yang akan memberikan subsidi (keringanan) pada perusahaan raksasa itu.

Nilai subsidinya gak tanggung-tanggung. Mencapai 3 milyar Dollar. Gila saja, masak perusahaan kaya raya harus disumbang oleh pajak yang dukumpulkan oleh warga. Padahal, banyak masalah lain yang menjadi concern warga New York, seperti perumahan dan pendididikan. Daripada diberikan kepada perusahaan yang jelas-jelas sudah makmur itu, bukankah lebih baik digelontorkan untuk kepentingan publik lainnya? Tapi, memang begitulah praktik kebijakan ekonomi di Amerika (dan mungkin di kapitalis state lainnya), dimana Pemerintah selalu tersenyum lebar-lebar dan membuka tangan untuk korporasi besar.


Mereka, para investor dan korporasi itu dianggap bagaikan “dewa” dan “malaikat”. Kehadirannya diharapkan membuka lapangan kerja baru. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dan akhirnya, ketika angka pertumbuhan ekonomi dianggap meningkat, maka pemerintah daerah akan dianggap sukses dan para pejabatnya akan terpilih lagi pada pemilu berikutnya. Begitu seterusnya. Menjadi sebuah lingkaran ekonomi politik yang diikuti terus menerus. Tidak peduli apakah korporasi itu benar-benar menepati janjinya ketika sebelum masuk (biasanya mereka menjanjikan akan menyerap sekian ratus ribu pekerja lokal) atau tidak.

Ada banyak kasus ketika subsidi (dalam berbagai bentuk) pemerintah lokal itu telah diterima, si korporasi besar ini berkelit dan ingkar janji dengan berbagai alasan. Semula ia berjanji menyerap seratus ribu karyawan baru, namun akhirnya terwujud hanya seribu dengan berbagai alasan. Ini terjadi di Wisconsin beberapa tahun yang lalu. Dimana setelah pemerintah negara bagian memberikan subsidi kepada Foxconn (4.8 Milyar Dollar) untuk membangun pabrik baru disana. Begitu deal, Foxconn tiba-tiba mengecilkan skala pabriknya dan mengumumkan akan menggunakan automatisasi (robot) pada operasional pabriknya. Akibatnya, mimpi penyerapan lapangan kerja baru untuk warga lokal pun lenyap seketika. Pemerintah dan warga dikerjai. Kemungkinan inilah yang diantisipasi oleh warga New York. Mereka tidak mau dikadalin oleh Amazon. Siapa yang mau membangun kantor, siapa yang harus membayar? Enak saja! Begitu istilahnya.

Yang lebih unik, rencana masuknya korporasi ke sebuah negara bagian seringkali menjadi “perang” dan rebutan antar tetangga. Mereka berebut menjadi yang termanis di hadapan korporasi. Memberikan kemudahan, diskon, dan subsidi sebesar-besarnya. Langsung maupun tidak langsung. Tanpa tahu apa rencana sebenarnya dari si korporasi itu? Ini terjadi di Kansas City, Missouri. Dimana kota Kansas ini terbelah dua, wilayah timur masuk ke negara bagian Missouri, dan wilayah barat masuk ke negara bagian Kansas.

Semula, ada dua korporasi besar yang memiliki homebase di kota ini. Applebee’s di Kansas City Missouri, dan AMC entertainment di Kansas City Kansas. Lalu terjadi perang subsidi yang menyebabkan kedua perusahaan ini bertukar lokasi. Satu pindah ke Kansas, karena merasa mendapat fasilitas dan keringanan. Dan satu lagi pindah ke Missouri dengan alasan yang sama. Akibat dari perpindahan headquarter dua korporasi ini, warga dan negara bagian tidak mendapat apa-apa meskipun mereka telah memberikan banyak keringanan dan subsidi itu. Pekerjaan baru yang diharapkan tidak muncul. Justru sebaliknya, menimbulkan masalah baru dimana 10,000 karyawan dari kedua korporasi sekarang harus menjadi komuter akibat kantornya menjadi saling berjauhan. Korporasi sih mana peduli, mereka mengejar dan mencari apa pun yang menguntungkan. Itu saja.

Menurut perhitungan The Atlantic, Amerika rata-rata memberikan subsidi hingga 90 milyar Dollar untuk korporasi-korporasi besar seperti Nike, Boeing, Ford, General Motors, dan lain-lain (Media Tirto juga pernah mengangkat isu ini pada tanggal 16 Januari 2018 yang lalu). Lebih besar dari apa yang dikeluarkan oleh pemerintah Federal untuk pendidikan dan infrastruktur. Dengan tren gerakan-gerakan anti-billionaire dan resistensi pada monopoli korporasi besar di AS, nampaknya protes-protes serupa dengan New York akan terus menggema dalam beberapa tahun ke depan. Ketimpangan ekonomi adalah pemicunya. Lagi-lagi, pemerintah akan selalu diuji dan dihadapkan pada satu pertanyaan: apakah ia lebih membela kepentingan korporasi atau kepentingan warganya sendiri?

Lalu, apa kabar dengan Indonesia?

===
sumber foto: New York Times

No comments:

Post a Comment