27 September 2007

Lomba Karya Tulis 2007

Lomba Karya Tulis Pemuda Tk Nasional & Penghargaan Utk Penulis Artikel Kepemudaan
Author: Redaksi. 19 June 2007 : 11:48 am.
Claim Your Blog Now! Looking for FREE software?


Dalam Rangka Hari Sumpah Pemuda ke-79, Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena (FLP menyelenggarakan LOMBA KARYA TULIS PEMUDA TINGKAT NASIONAL dan PENGHARGAAN UNTUK PENULIS ARTIKEL KEPEMUDAAN. Berhadiah Total: Rp 30 juta!

Persyaratan Lomba Karya Tulis:

Naskah berbentuk “esai” dengan tema “Kepemimpinan Pemuda”.
Lomba dibagi dalam 3 kategori: pelajar, mahasiswa, dan umum.
Lomba terbuka untuk semua WNI berusia 15-35 tahun.
Esai tidak bertentangan dengan SARA dan tidak mengandung unsur pornografi.
Naskah merupakan karya asli, bukan terjemahan, atau saduran.
Naskah belum pernah dipublikasikan di media massa cetak/elektronik dan tidak sedang diikutkan dalam lomba sejenis.
Naskah ditulis dengan Bahasa Indonesia yang baik, diketik di kertas A4, font Times New Roman, 6-12 halaman, spasi ganda.
Mencantumkan kategori di sudut kiri amplop pengiriman naskah.
Nama penulis harus diletakkan pada halaman terpisah dengan lembar naskah
Naskah dikirim rangkap 3 (tiga).


Persyaratan Penghargaan Penulis:

Artikel telah dimuat di media massa cetak antara bulan Januari - September 2007 yang bertema Kepemudaan.
Melampirkan artikel (atau fotokopinya) yang telah dimuat sebanyak tiga rangkap.
Lomba terbuka untuk umum (tanpa batasan usia)
Artikel tidak bertentangan dengan SARA dan tidak mengandung unsur pornografi.
Mencantumkan “Penghargaan Penulis” di sudut kiri amplop.

Persyaratan Teknis:

Pengiriman naskah disertai dengan fotokopi identitas diri (KTP/SIM/Kartu Pelajar/Paspor dan biodata singkat: nama, alamat lengkap, nomor telepon/handphone, e-mail)
Pengiriman naskah lomba esai atau penghargaan penulis dikirim ke:
Panitia Lomba Karya Tulis Tingkat Nasional dan Penghargaan Penulis
d.a Rumah Cahaya FLP
Jl. Keadilan Raya No 13 Blok XVI Depok Timur 16418
Naskah ditunggu selambat-lambatnya tanggal 3 Oktober 2007

HADIAH
Lomba Karya Tulis Pemuda

Untuk masing-masing kategori:

Juara I : Rp 2.500.000 + paket hadiah buku
Juara II : Rp 2.000.000 + paket hadiah buku
Juara III : Rp 1.500.000 + paket hadiah buku
3 pemenang hiburan @ Rp 500.000 + paket hadiah buku

Penghargaan Penulis Artikel Kepemudaan

Juara I : Rp 2.500.000 + paket hadiah buku
Juara II : Rp 2.000.000 + paket hadiah buku
Juara III : Rp 1.500.000 + paket hadiah buku

Pengumuman pemenang dapat dilihat di http://www.forumlingkarpena.net dan http://forumlingkarpena.multiply.com pada 18 Oktober 2007.

Pemenang pertama Lomba Karya Tulis dari setiap kategori dan pemenang utama Penghargaan Penulis yang berdomisili di Indonesia akan diundang ke Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2007 dengan biaya kedatangan ditanggung panitia.

Acara ini diselenggarakan oleh :
Deputi Bidang Pemberdayaan Kepemimpinan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena

Didukung oleh:
Majalah Remaja Annida
Lingkar Pena Publishing House
DAR Mizan

Keterangan lebih lanjut hubungi
Lisa: (021) 573-8158
Koko: 0813-67675459
Denny: 0888-1425763
Dee: 0813-82828440

The Newest Journey 2


The Newest Journey


kebersamaan di S2 Sosiologi FISIPOL UGM angkatan 2007
Lagi nampang di depan Keraton Yogyakarta, 20 September 2007

24 September 2007

Memahami Perempuan Bercadar

by : Yanu Endar Prasetyo

Ada satu hal yang terlewatkan dari fenomena radikalisme keagamaan akhir-akhir ini. Apalagi jika kita percaya pada pepatah, bahwa "di balik laki-laki yang hebat, dibelakangnya terdapat perempuan yang kuat". Kasus terorisme yang melambungkan beberapa nama, seperti Amrozi, Imam Samudra, Ali Imron, dan kawan-kawan, jika kita amati lebih jauh, ternyata terdapat wajah seorang istri/ibu/perempuan bercadar yang berada di balik "martir-martir" pejuang berani mati tersebut. Apakah ini kebetulan? Tentu tidak !

13 September 2007

gempa dan bencana aktual

Warga Padang Resah Karena Prediksi Tsunami

Kamis, 07 April 2005 17:31 WIB
TEMPO Interaktif, PADANG:Sebagian warga Padang resah. Keresahan itu dipicu analisa sejumlah pakar gempa dan tsunami yang memprediksi akan terjadi gempa besar di zona subduksi Kepulauan Mentawai yang bisa memicu tsunami. Maklum, Padang yang berpenduduk 786 ribu jiwa itu terletak di pesisir dan 80 persen warganya tinggal di dekat pantai. Warga Ulak Karang yang mengontrak, misalnya, mencari kontrakan baru di pinggir kota yang tempatnya lebih tinggi. Sementara warga yang memiliki rumah di kawasan yang tak jauh dari pantai itu sebagian sudah mengosongkan rumahnya. Untuk sementara sebagian warga Padang pindah ke daerah asal mereka seperti Bukittinggi, Payakumbuh, atau Solok bahkan ada yang turut mengontrak rumah di pinggir kota. Mereka memburu kontrakan di daerah yang jauh dari pantai dan berada di ketinggian. Perumahan di Kuranji, Belimbing, Ulu Gadut, Penggambiran yang terletak di pinggir kota diserbu pengontrak baru itu. Padahal kawasan pinggiran kota itu relatif sepi. Karena banyak peminat, harga rumah kontrakan pun melonjak dua kali lipat. Perumahan Mawar Putih Kuranji yang berjarak sekitar 7 kilometer dari pantai dengan ketinggian 8 meter dari permukaan laut banyak diminati pengontrak. Rumah yang biasanya dikontrak Rp 800 ribu sekarang dipatok menjadi Rp2 juta per tahun. Sementara rumah yang agak besar yang dulunya hanya Rp2 juta per tahun kini naik menjadi Rp4 juta."Sejak isu tsunami dan gempa di Nias setiap hari rata-rata 10 orang mencari rumah kontrakan di sekitar sini," kata Rudi, warga Kuranji. Menurutnya calon pengontrak ada yang hanya mencari rumah untuk didiami malam hari saja, siang hari tetap tinggal di rumahnya di Padang. Ada juga yang mencari rumah untuk orangtua mereka yang uzur.Suprialdi, 34 tahun, karyawan swasta yang tinggal di Tabing juga turut berburu rumah kontrakan. Suprialdi selalu terbayang tsunami setiap mendengar debur ombak saban malam.” Keluarga saya sempat tidur di kolong meja," katanya. Karena selalu cemas, akhirnya istri dan anak Suprialdi dititipkan ke mertuanya di Payakumbuh, sampai memperoleh rumah kontrakan yang dirasa aman."Bagaimana kami tidak percaya? Peneliti sudah mengatakan ada gempa di Mentawai disertai tsunami. Diperkirakan warga Padang hanya bisa menyelamattkan diri dalam 15-20 menit. Kami mau lari ke mana? Bukit yang tinggi di Padang ada di pinggir kota yang jaraknya sampai 7 kilometer," kata Suprialdi. Selain ramai-ramai mencari rumah kontrakan, warga pesisir juga menempelkan papan bertuliskan “dijual” pada rumah-rumah dan toko di sepanjang pantai.Keresahan itu juga memakan korban. Seorang perempuan, Fifi, 34 tahun, warga Kelurahan Jati V ditemukan tewas di kamar mandi rumahnya karena menggorok lehernya dengan pisau dapur. Kabarnya, ia bunuh diri setelah mendengar cerita ibunya tentang cara menyelamatkan diri jika tsunami seperti Aceh menerjang Padang. Meski polisi masih menyelidiki penyebab pasti Fifi bunuh diri, namun menurut Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Poltabes Padang AKP Dodi Pribadi, diduga korban bunuh diri karena stress menghadapi isu bunuh diri yang beredar di kota Padang.Pemerintah Kota Padang berusaha menenangkan warganya hanya dengan mendatangkan penceramah agama dan berzikir bersama. Mereka berceramah tentang cara menghadapi gempa dan tsunami dari sudut agama Islam. Antisipasi bencana malah belum dilakukan. "Menghadapi ancaman gempa dan tsunami kita memang harus waspada tetapi jangan panik,” kata Wali Kota Padang Fauzi Bahar. Dalam waktu dekat, kata Walikoty, akan ada pertemuan antara Gubernur Sumatera Barat dengan bupati dan wali kota kawasan pesisir untuk membicarakan masalah ini.Pakar gempa dari Pusat Penelitian Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Danny Hilman Natawidjaja, melalui telepon mengatakan menyarankan agar pemerintah daerah dan masyarakat Mentawai, Padang, Bengkulu dan daerah barat Sumatra lainnya segera melakukan tindakan antisipatif (mitigasi). Ini karena daerah itu berpotensi gempa besar yang bisa diiringi tsunami di Mentawai. Jika pusat gempa di Mentawai bisa memicu tsunami, daerah yang paling berbahaya adalah kawasan penduduk padat seperti Padang. Gempa besar diiringi tsunami memang pernah terjadi di Padang, Bengkulu, dan kawasan sekitarnya. Apabila terjadi tsunami di Mentawai, kata Danny, evakuasi tidak begitu sulit, karena masyarakat bisa lari ke bukit. Tapi di Padang sangat rawan karena padat penduduk. "Harus sedari dini mengantisipasi. Mitigasi yang dipersiapkan selama 5 tahun akan bisa meminimalkan korban sekitar 70 persen," ungkapnya. febrianti

12 September 2007

Nuklir dan Fatwa Ulama


Sudah menjadi kebiasaan saat menjelang bulan puasa atau lebaran, fatwa yang paling ditunggu masyarakat – khususnya umat Islam - adalah kapan dimulainya puasa dan kapan jatuhnya tanggal satu syawal? Namun, menjelang Ramadhan kali ini, nampaknya ada fatwa lain yang lebih hangat dan tak sabar ditunggu hasil akhirnya oleh publik. Ada sebuah perdebatan yang sedang ramai menghiasi surat kabar kita belakangan ini. Apa lagi kalau bukan soal resistensi masyarakat Jepara terhadap rencana pendirian PLTN, yang memicu lahirnya fatwa "haram" sebagian ulama Jateng terhadap pendirian PLTN tersebut. Sementara itu, MUI bersikeras akan menguji ulang fatwa haram tersebut. Siapakah kira-kira yang akan memenangi drama pertarungan kali ini?
Layaknya kasus lain yang serupa tapi tak sama, seperti pelabelan halal dan haram pada produk tertentu, penanganan prostitusi, kasus kepemimpinan negara oleh perempuan, penerapan secara formal syariat Islam, penetapan awal dan akhir bulan puasa, dan lain sebagainya, kita sesungguhnya sedang menyaksikan pertarungan yang sengit antara kepentingan pasar atau pemilik modal, negara, dan civil society. Tarik ulur kekuatan tersebut, terkadang berlangsung menggelikan dan berakhir dengan keputusan aneh yang sekaligus membingungkan publik secara luas. Rumus umum yang selama ini berlaku adalah, pertama, jika kepentingan pasar dan negara bersatu, maka kekuatan civil society jelas akan kesulitan dalam membendung. Contoh, kebijakan kenaikan harga BBM tahun 2005, privatisasi BUMN, Komersialisasi pendidikan melalui BHP, dan lain sebagainya.
Kedua, Jika negara dalam posisi lemah, dan pasar relatif tidak agresif, maka civil society akan berpeluang menekan kebijakan negara. Contoh, formalisasi syariat Islam di Naggroe Aceh Darussalam, Otonomi khusus Papua, dan sebagainya. Dengan catatan, elemen dan struktur di dalam civil society tersebut relatif bersatu dan memiliki suara kepentingan yang bulat.
Ketiga, ketika posisi pasar, negara, dan kekuatan civil society ini relatif seimbang, maka keputusan pihak keempat (otoritas agama, Adat, atau penguasa non-formal lainnya) akan sangat berperan di dalam menentukan kemana arah bola panas ini akan bergulir? Pihak keempat ini, meskipun adalah juga bagian dari civil society, namun karena otoritas dan power hegemoniknya yang besar, sewaktu-waktu dapat berubah menjadi wasit yang memegang peluit dan kartu hukuman terakhir yang menentukan nasib para pemain tadi. Hal ini pula yang mungkin sedang terjadi dalam kasus rencana pembangunan PLTN di jepara ini.
Keberpihakan Fatwa
Di Republik Islam Iran, meskipun ancaman dan tekanan politik serta ekonomi terus dilancarkan oleh Amerika, tetapi presiden Mahmoud Ahmadinejad begitu kukuh dan ngotot mempertahankan hak pengayaan uranium bagi negaranya. Mengapa bisa demikian? Sebab, selain rasionalisasi dan pertimbangan politik serta militer, ada hal lain yang membuat rakyat Iran juga mendukung keputusan pemerintahnya. Yaitu, adanya fatwa dari para Ayatulloh sebagai pemimpin negara dan spiritual tertinggi, yang memberikan restu dan payung hukum bagi negara untuk menunjukkan kedaulatannya : mendirikan dan mengembangkan teknologi nuklir untuk kesejahteraan rakyat !
Itu Iran. Lain di Iran, lain pula di Indonesia. Kompleksitas persoalan yang dihadapinya pun juga berbeda. Di Indonesia, otoritas ulama – taruhlah seperti ulama yang tergabung dalam MUI - tidak menempati posisi yang sejajar atau melampaui kekuatan negara. Meskipun, posisi ulama ini masih sangat strategis dan memiliki daya tawar yang cukup tinggi. Akan tetapi, fatwa sebagai produk hukum ulama, sifatnya hanyalah anjuran dan bahan pertimbangan dari sisi hukum semata. Sementara, keputusan untuk mengikuti atau tidak mengikuti fatwa tersebut, menjadi hak individu umat Islam. Posisi mengambang seperti inilah yang sebenarnya menyebabkan sebuah fatwa berpeluang menjadi blunder. Ibarat bola liar yang ditendang kesana kemari tanpa arah yang jelas dan terkadang mampu mengecoh kiper hingga membobol gawangnya sendiri.
Di satu sisi, fatwa dapat digunakan sebagai alat legitimasi politik dan ekonomi yang merugikan masyarakat. Namun, di sisi lain fatwa juga dapat menjadi alat perjuangan yang mendorong pengorbanan hingga bahkan bunuh diri altruistik para penganutnya. Misalnya, fatwa untuk jihad dalam arti perang, bunuh diri berjama’ah sekte-sekte agama menjelang ‘kiamat’, bom bunuh diri seorang ekstrimis-teroris, dan lain semacamnya. Maka bukan tidak mungkin, fatwa haram bagi pendirian PLTN ini, dapat menambah kekuatan dan dorongan tersembunyi (invisible drive) bagi masyarakat Jepara untuk melawan kebijakan negara kelak. Sebaliknya, fatwa halal sebagai counter yang mungkin akan dikeluarkan Ulama Pro-Pemerintah atau elit ulama Ormas Islam yang berpihak pada pemilik modal, akan dapat pula menjadi "senjata" negara untuk melumpuhkan perlawanan ulama akar rumput dan civil society pada umumnya.
Secara ilmiah, saya tidak yakin akan konsekuensi logis dari pendirian PLTN di Jepara, Jawa Tengah. Baik dari sisi safety, ekonomi, lingkungan, maupun dampaknya terhadap bangsa Indonesia, dan masyarakat Jepara khususnya. Namun, saya yakin, dibutuhkan dialog yang intensif antara pemerintah dan masyarakat, agar kebijakan yang lahir tidak hanya menguntungkan satu pihak saja. Memang, isu ini baru pada tahap rencana, sedangkan untuk realisasinya, PLTN ini membutuhkan waktu dan perencanaan yang cukup panjang. Akan tetapi, alangkah baiknya jika negara mau belajar dari berbagai kasus yang pernah dan sedang dialami negeri ini. Bahwa sesungguhnya, kecerobohan dalam mengambil kebijakan, nantinya harus dibayar dengan biaya ekonomi dan sosial yang teramat mahal. Tengoklah, kasus lumpur Lapindo yang telah membawa kita pada ujung keputusasaan dan frustasi yang dalam. Begitu pula dengan berbagai kerusakan lingkungan dan ekosistem yang dahsyat akibat aktivitas penambangan yang belum tentu mensejahterakan rakyat sekitarnya.
Dengan demikian, fatwa ulama diharapkan tidak semata-mata melihat pada aspek hukum tekstualnya belaka, melainkan juga harus melihat konteks kemanusiaan dimana ia berpijak. Seperti argumentasi di atas, selain untuk pencerahan, ternyata fatwa berpeluang ditumpangi oleh konspirasi kejahatan yang merugikan. Tinggal sekarang, mampukah ulama kembali kepada posisi strategisnya sebagai pemberi pencerahan pada umat? Atau hanya akan menjadi stempel bagi kenaifan penguasa dan kerakusan pegusaha belaka? Wahai para alim ulama, integritas Anda sedang diuji!

04 September 2007

Dilema Tradisi Nyumbang

(Artikel ini dimuat di kompas, rubrik forum, 1 Sepetember 2007)

Yanu Endar Prasetyo

Kita yang hidup di tengah masyarakat Jawa, tentu sangat akrab dengan tradisi nyumbang. Sebuah tradisi yang sarat nilai gotong royong dan solidaritas sosial. Di beberapa tempat, tradisi nyumbang memiliki beberapa nama. Sebagian masyarakat di Jawa Timur ada yang menyebutnya "mbecek", "buwuh", "ewuh", dan ada pula yang menyamakan dengan istilah "jagong". Makna masing-masing sebutan di atas mungkin sedikit berbeda. Namun, secara substansif maksudnya sama. Tradisi nyumbang merupakan wujud solidaritas seorang anggota masyarakat terhadap saudara, tetangga, rekan kerja, atau anggota masyarakat lainnya yang sedang memiliki hajatan (perayaan). Bentuk dari Nyumbang disini, dapat berupa materi (uang atau barang kebutuhan pokok) dan non-materi (tenaga dan pikiran). Biasanya, disesuaikan dengan jenis undangan dan hajatan yang sedang berlangsung. Masyarakat sudah paham, bentuk sumbangan apa yang harus diberikan untuk hajatan tertentu? Besarnya pun berdasarkan atas asas suka dan rela.
Seperti kita tahu, masyarakat Jawa hidup dalam lingkaran tradisi yang kental. Hampir setiap tahapan dan perisitiwa dalam kehidupan seseorang, memiliki arti dan selebrasinya masing-masing. Mulai dari kelahiran anak, kita mengenal istilah neton (peringatan hari lahir), selapanan, tujuh bulanan, dan sebagainya. Kemudian perayaan pernikahan, khitanan, mendirikan rumah, hingga peringatan kematian seperti pitung dinan (selamatan selama tujuh hari berturut-turut), nyatus (seratus hari), dan sewon (seribu hari).Tradisi ini diyakini merupakan akulturasi dari kebudayaan hindu Jawa dan kebudayaan Islam. Hakekat dari tradisi nyumbang itu sendiri adalah untuk meringankan beban anggota masyarakat lainnya. Maka wajar jika tradisi nyumbang dalam setiap perayaan ini pun tetap eksis dan bertahan selama puluhan generasi.
Selain sebagai bentuk warisan tradisi, tentunya ada alasan yang lain mengapa masyarakat terdorong untuk nyumbang? Padahal, tradisi ini semestinya hanya akan bertahan dalam sebuah bentuk masyarakat paguyuban, dimana solidaritasnya memang masih bersifat mekanistis. Di era modernitas dengan bentuk solidaritas masyarakatnya yang makin organis seperti saat ini, ternyata tradisi nyumbang masih saja kita temui. Bukan saja di desa, tetapi juga di kota-kota besar. Setelah ditelusuri, tradisi nyumbang ini ternyata memiliki nilai atau jaminan sosial tertentu bagi masyarakatnya. Dapat dikatakan, tradisi nyumbang merupakan bentuk asuransi sosial yang paling sederhana dalam kehidupan. Masyarakat bersedia nyumbang, karena hal itu merupakan usaha untuk meminimalisir dan mendistribusikan beban kehidupan mereka, khususnya untuk meghadapi resiko dan ketidakpastian masa depan.
Umpamanya, ketika kita nyumbang kepada tetangga X berupa beras lima kilo dan uang lima puluh ribu. Hal itu sama artinya bahwa beras dan uang itu nanti akan dikembalikan oleh X pada kita, saat kita juga menyelenggarakan sebuah hajatan. Memang, tidak ada kontrak dan perjanjian tertulis seperti ini dalam tradisi nyumbang. Tetapi, akan ada sanksi sosial tertentu kepada orang yang tidak memberikan timbal balik kepada para penyumbang. Misalnya, ia akan menjadi bahan gunjingan masyarakat, dikucilkan, dan sangat mungkin tidak akan dibantu atau hanya sedikit undangan yang datang ketika ia mengadakan hajatan.
Ada pula fenomena, karena tuntutan gengsi (agar dianggap mampu), biasanya pemilik hajatan mengembalikannya dalam jumlah nominal yang lebih besar. Di Madura dan di beberapa daerah lain, penulis menjumpai para hadirin yang nyumbang dicatat namanya dalam buku absen, sekaligus beserta besar sumbangannya. Hal inilah yang menjadikan nyumbang dapat disebut sebagai mini risk insurance dalam kehidupan sosial masyarakat.
Bertradisi Dalam Kapitalisme
Namun sayangnya, tradisi nyumbang mulai mengalami pergeseran nilai saat ini. Pertama, makna tradisi nyumbang telah berubah wajah menjadi semakin kapitalis. Hajatan beserta tradisi nyumbang-nya, menjadi ladang untuk mengakumulasi modal bagi pemilik hajat. Sementara itu, bagi anggota masyarakat yang lain, nyumbang justru menambah beban ekonomi di tengah masa sulit seperti saat ini. Nyumbang yang dulu berdasar atas asas suka dan rela, sekarang bergeser pada usaha pengumpulan materi atau tepatnya uang.
Sebab, tenda dan makanan untuk hajatan yang dahulu bisa dibuat dan menjadi sarana gotong royong, sekarang diserahkan kepada bisnis persewaan dan catering. Akibatnya, tetangga yang sebenarnya hanya mampu menyumbang tenaga dan pikiran, terpaksa harus menyumbang uang. Ada pula undangan yang di dalamnya digambar "kendi", yang secara simbolik bermakna "hanya menerima sumbangan dalam bentuk uang!". Artinya, pemilik hajat sudah menentukan bentuk bantuan yang seharusnya bersifat suka rela ini. Tak pelak, tradisi nyumbang menjadi ajang untuk mencari untung.
Kedua, tradisi nyumbang ternyata menjadi beban ekonomi yang semakin nyata pada bulan-bulan tertentu. Sebab, dalam tradisi Jawa, terdapat mangsa tertentu yang memiliki aspek mitos yang kuat dan diyakini pengaruhnya oleh sebagian besar masyarakat. Semisal, dipercaya ada bulan yang baik untuk hajatan tertentu, dan ada bulan yang akan mendatangkan petaka atau ketidakberuntungan jika dilakukan perayaan. Akibatnya, pada bulan-bulan yang dianggap "baik" itu, undangan untuk menghadiri hajatan bisa menumpuk sangat banyak. Semakin luas relasi seseorang, maka akan semakin banyak kemungkinan ia menerima undangan.
Bagi orang kaya, hal ini tentu tidak menjadi masalah, namun bagi masyarakat ekonomi menengah atau miskin, banyaknya undangan hajatan itu bisa mengguncang perekonomian rumah tangga mereka. Untuk menutup kebutuhan sehari-hari saja sulit, belum lagi untuk biaya pendidikan anak, masih harus ditambah lagi dengan biaya "nyumbang" tadi. Maka tidak heran, jika kita jumpai ibu-ibu yang rela hutang sana-sini, untuk sekedar modal nyumbang. Tradisi yang seharusnya meringankan beban masyarakat itu, kini telah menjadi "kewajiban sosial" yang memaksa dan "mencekik" leher, meski dilakukan secara halus dan sopan.
Bagaimana reaksi masyarakat? Saya tidak habis pikir, ketika sebagian besar masyarakat banyak mengeluh, namun masih saja tidak mampu untuk menghindar. Menjadi dilematis, karena jika tradisi ini diikuti akan terasa berat, tapi jika ditinggalkan akan kehilangan jaminan sosial. Dalam sejarah perjalanan manusia, tradisi kebudayaan dapat langgeng jika masih memiliki nilai manfaat bagi anggota masyarakatnya. Mungkin, tradisi nyumbang ini tidak akan mengganggu ekonomi rumah tangga, jikalau disesuaikan dengan kemampuan riil seseorang, tanpa dipengaruhi gengsi atau sungkan. Menjadi pertanyaan besar, apakah tradisi mulia yang telah bermetamorfosis menjadi beban ekonomi ini, akan tetap langgeng atau justru mungkin akan segera ditinggalkan? Kuncinya ada pada kreativitas dan kesadaran masyarakat itu sendiri. Mampukah masyarakat mengembalikan tradisi nyumbang ini pada aspek sosial dan kemanusiaannya? Atau justru ikut tenggelam dalam arus budaya kapitalistik yang mendewakan materi di atas segala-galanya?