27 October 2008

Berharap Pada Litbang (?)


oleh : Yanu Endar Prasetyo

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk membangkitkan bangsa ini dari keterpurukan. Akan tetapi, semua persoalan krusial di negeri ini, tentu tidak akan selesai dengan saling menyalahkan dan lempar tanggung jawab. Sebagai bagian dari masyarakat ilmiah, tentu optimisme dan penjelasan yang gamblang terhadap setiap persoalan, menjadi pegangan kita bersama. Tantangan terberat insan ilmiah sekarang adalah, bagaimana agar lembaga Litbang (Penelitian dan Pengembangan), sebagai salah satu institusi penggali dan pemecah masalah, mampu menuntaskan persoalan riil di tengah masyarakat? Khususnya dalam upaya menggerakkan sendi ekonomi masyarakat, melalui berbagai aktivitas yang memberdayakan.
Saat ini, untuk mampu bertahan dalam pusaran globalisasi dan perdagangan bebas, diperlukan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas produk dalam negeri. Tujuannya, agar mampu bersaing dengan produk luar negeri. Namun permasalahannya, industri yang ada di Indonesia sebagian besar didominasi oleh Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), dengan tingkat produktivitas yang masih rendah. Kualitas produk yang dihasilkan pun belum dapat sepenuhnya memenuhi permintaan pasar. Padahal, penyerapan tenaga kerja di sektor ini cukup besar. Bahkan, pemerintah mulai berharap UMKM ini menjadi ujung tombak untuk pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Mengutip BPS (2005), Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (2007), serta dari Bank Indonesia (2008), jumlah pelaku usaha kecil di tahun 2006 sebesar 48.822.925 unit, meningkat 3,86 % dari tahun 2005. Sedangkan pelaku usaha menengah tahun 2006, sebesar 106.771 unit, meningkat 11,33 % dari tahun 2005. Sementara itu, tenaga kerja yang terserap sebesar 83.233.793 orang atau 96,28 % dari total penyerapan tenaga kerja. Bahkan, UMKM ini memberi kontribusi sebesar 53,4 % atau setara dengan 1.491,06 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tanah air (Litbang Kompas, 29/02/08).
Belum lagi laporan dari UNTACD tentang mengeliatnya industri kreatif di seluruh belahan dunia. Tercatat, pada tahun 2005, nilai ekspor perdagangan barang dan jasa kreatif sebesar US$ 424,4 miliar (Rp. 3.200 triliun), meningkat dua kali lipat dibanding tahun 1996 (US$ 227,5 miliar) (TEMPO, 28/09/08). Di indonesia, Industri kreatif ini digerakkan oleh kreativitas generasi muda yang muncul akibat keterbatasan dan kebuntuan. Dalam hal ini, kota Bandung menjadi salah satu ikon industri kreatif yang terkenal, disamping Yogyakarta dan Bali. Namun, ide-ide cemerlang yang bernilai ekonomi ini, seringkali mentok karena teknologi pendorongnya yang kurang mendukung atau tidak terjangkau.
Kondisi semacam ini, tentu bisa dibaca sebagai peluang pengabdian para insan Litbang untuk mendedikasikan ilmunya demi kesejahteraan bangsa. Caranya, dengan meneliti dan mengembangkan berbagai potensi yang ada, untuk menghasilkan teknologi yang tepat guna. Yaitu, teknologi yang mampu memberikan nilai tambah ekonomi, tanpa mengurangi kualitas lingkungan, baik fisik maupun sosial. Mendekatkan Teknologi Tepat Guna (TTG) ini kepada masyarakat, tidak semudah menebar benih kelapa yang tanpa dirawat pun bisa tumbuh dengan sendirinya. Aspek sosio-kutural, termasuk ekonomi dan pengetahuan, seringkali menghambat difusi (penyebar-serapan) teknologi ini. Sehingga, perlu perencanaan dan pendampingan yang matang dan berkelanjutan.
Dengan demikian, membumikan teknologi sebagai hasil Litbang ini, ternyata memerlukan konsep Pemberdayaan Masyarakat (community empowerment) yang matang. Paradigma insan Litbang harus dirubah. Tidak hanya berhenti di belakang meja atau laboratorium saja, melainkan juga harus mulai berpikir, bagaimana mendistribusikan hasilnya kepada masyarakat yang membutuhkan? Tidak hanya mempublikasikan, melainkan juga menciptakan media transfer yang efektif, efisien, dan tepat sasaran.
Budimanta & Rudito (2008:39), memasukkan konsep pemberdayaan masyarakat ini ke dalam ruang lingkup Community Development (CD). Pemberdayaan disini diterjemahkan sebagai program-program yang berkaitan dengan upaya memperluas akses dan kapabilitas masyarakat untuk menunjang kemandiriannya. Sementara itu, Peter Dreier mengemukakan bahwa “The heart of the new community empowerment movement is grassroots organizing to solve social problem and improve economic condition in distressed urban neighborhoods” (A Journal of Policy Development and Research, vol 2, no 2, may 2006). Melengkapi teori pemberdayaan masyarakat ini, terdapat pula konsep-konsep lain seperti pelayanan masyarakat (community services), hubungan masyarakat (community relation), pengorganisasin masyarakat (community organizing), dan sebagainya.
Sebagai catatan, pemberdayaan masyarakat ini tidak boleh berhenti hanya sebatas pada konsep. Sebab, konsep secantik apapun tidak akan berguna sebelum ada tindak praksis kepada komunitas-komunitas yang membutuhkan. Diperlukan puluhan, bahkan ratusan trial and error dalam upaya menyebarluaskan hasil Litbang kepada masyarakat. Komitmen masyarakat litbang untuk mulai berpihak pada kepentingan masyarakat luas, sangatlah diperlukan. Meskipun, “kebenaran ilmiah” seringkali harus bertarung dan kadang mengalah terhadap kekuatan modal atau kekuasaan, tapi janganlah tanggung jawab dan respek insan litbang juga tunduk olehnya. Jika keberpihakan insan Litbang itu pun luntur, kemana lagi masyarakat yang “tak berdaya-teknologi” akan berharap?

21 October 2008

Teknologi Untuk Petani



Oleh : Yanu Endar Prasetyo

Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Salah satunya, adalah dengan difusi (penyebar-serapan) teknologi kepada komunitas tersebut.

Untuk urusan budidaya, sebagian besar petani kita, lebih sering mengandalkan ilmu yang diperoleh dari pengalaman. Baik yang bersifat turun menurun maupun yang dialami dalam keseharian. Hanya sedikit petani yang dapat mengakses berbagai hasil penelitian dan pengembangan (litbang) dunia pertanian, termasuk berbagai teknologi yang terus berkembang didalamnya. Padahal, dengan adanya perubahan iklim secara global, degradasi lingkungan, dan berbagai masalah penyebab kerawanan pangan lainnya, petani mutlak melakukan berbagai inovasi untuk bisa bertahan. Inovasi tersebut bisa berjalan, apabila para petani ini mampu menyerap dan sekaligus menyebarluaskan teknologi yang dihasilkan dunia litbang.
Teknologi yang dimaksud, tidak melulu berupa peralatan yang canggih dan mahal, namun bisa dimulai dari teknologi murah tapi tepat guna. Persoalan sepele, seperti memendekkan pegangan (gagang) cangkul supaya lebih efisien dan ringan dalam membuat bedengan (pematang), ternyata menjadi hal baru dan aneh bagi petani tradisional di Lombok. Padahal, hal tersebut sudah lumrah bagi petani di pulau Jawa. Mereka sudah terlanjur terbiasa dengan cangkul bertuas panjang. ternyata, inovasi sederhana tersebut, bisa jauh menghemat tenaga dan keringat. Begitu juga teknologi kincir sederhana guna meningkatkan kadar oksigen dalam kolam ikan di air tawar, masih sangat jarang petani ikan di Jawa Barat yang mengembangkan. Pun dalam pemanfaatan kotoran ternak, limbah tanaman, dan sumber-sumber energi lokal, hingga dalam hal pemeliharaan, pemuliaan, pencegahan hama penyakit dan penguatan pasar untuk produk pasca panen, sebenarnya dapat ditingkatkan efisiensinya dengan teknologi tepat guna yang dikembangkan berbagai lembaga litbang di tanah air.
Namun sayangnya, dalam kajian tentang difusi Teknologi Tepat Guna (TTG) sektor pertanian, disimpulkan bahwa dalam penerapan TTG kepada masyarakat, baik yang melalui mediator ataupun langsung dari provider, hanya 60 % yang berhasil, sekitar 40 % lainnya mengalami kegagalan atau mubazir, (Angkasa dkk, 2003:140-145). Dengan demikian, difusi pengetahuan maupun hasil pengembangan teknologi, khususnya dari lembaga Litbang, masih perlu dijembatani oleh konsep pemberdayaan mayarakat berbasis riset yang tepat dan teruji.
Jauh Panggang dari Api
Lembaga litbang yang concern terhadap pertanian, baik milik pemerintah, universitas, maupun swasta, sebenarnya memiliki potensi untuk ikut mendifusikan teknologi secara langsung kepada para petani. Dilihat dari sisi belanja lembaga Litbang pemerintah, kegiatan paling banyak ternyata adalah untuk penelitian terapan (46,03%) (Indikator IPTEK Indonesia, 2007:133). Meskipun, bila diteliti lebih lanjut, belum terbaca berapa persen dari penelitian terapan tersebut yang secara langsung dan spesifik bertujuan memberdayakan masyarakat petani? Sehingga, nampak jelas bahwa tingkat difusi teknologi yang secara aktif dilakukan oleh pemerintah masih sangat rendah. Maka tak heran, jika Wakil Presiden mengakui riset pertanian kita masih lemah dan perlu didorong supaya lebih berdaya saing (01/08/08)
Jika ditilik lebih lanjut, keasyikan lembaga litbang untuk meneliti, seringkali tidak nyambung dengan apa yang sedang dan sangat dibutuhkan oleh petani. Kita seringkali lupa, bahwa bertani bukanlah sekedar kegiatan budidaya atau hobi semata, melainkan juga sebuah kegiatan ekonomi. Dunia pertanian tidak hanya sekedar produktif, tetapi juga terkadang eksploitatif terhadap petani itu sendiri. Eksploitasi itu akibat dari perangkap “politik pangan” negara maju dan cengkeraman gurita kapitalisme global. Didukung pula oleh para komprador ekonomi yang memancing rupiah di air keruh ini, yang tak lain dan tak bukan adalah para pembuat kebijakan yang tidak berpihak pada petani. Dunia litbang pun, tak ketinggalan mengikuti trend riset yang diciptakan donor dan pemodal-pemodal besar, daripada riset-riset kecil yang sebenarnya bisa meringkankan beban petani.
Sementara itu, dari sisi komunitas petani juga tak kalah rumit problem yang dihadapi. Khususnya yang terkait dengan lemahnya tingkat difusi teknologi ini. Pertama, lemahnya kepercayaan petani terhadap setiap kepanjangan tangan pemerintah. Baik itu lembaga-lembaga pemerintah, maupun para penyuluh pertanian. Ironi di lapangan, para penyuluh pertanian ini seringkali dianggap tidak lebih pintar dari petani sendiri. Akibatnya, apa pun yang disampaikan penyuluh tidak didengar oleh petani. Petani bosan dengan “teori-teori” pertanian yang disampaikan penyuluh, padahal ketika saatnya pembuktian dan praktek, para penyuluh ini banyak yang enggan berkotor dan berkubang lumpur secara langsung bersama petani. Pun dengan bantuan-bantuan pemerintah, para petani kecewa karena banyak yang mereka terima, tidak sesuai dengan yang dijanjikan sebelumnya.
Kedua, faktor sosial budaya, sangat menentukan terhadap penyerapan teknologi. Ada suatu bentuk masyarakat petani yang tertutup, terutama yang berada di pelosok. Ikatan keluarga besar yang kuat (komunalisme), tingkat pengetahuan dan keterampilan yang terbatas, kadang-kadang menjadi masalah tersendiri ketika kita melakukan kegiatan pemberdayaan melalui difusi teknologi ini. Misalnya, dalam upaya pembentukan kelompok petani, sentimen antar klan, keluarga, agama, suku, hingga ekonomi dapat melahirkan persaingan yang tidak sehat. Bahkan, suatu kelompok bisa menjadi eksklusif dan enggan menyebarluaskan teknologi yang telah mereka terima. Alasannya, selain karena perbedaan nilai-nilai tadi, secara ekonomi mereka juga takut tersaingi. Padahal, harapan setelah didifusikan teknologi, adalah munculnya beragam adopsi dan inovasi, sehingga kesejahteraan dapat meningkat, merata, dan meluas.
Dari sini, ternyata bukan hanya penelitian dan pengembangan pertanian saja yang menjadi penting. Tetapi, dibutuhkan juga konsep pemberdayaan dan strategi difusi yang utuh, untuk mengantarkan teknologi tepat guna ini kepada petani. Jika ingin petani kita kuat dan bertahan, maka bantulah mereka merespon perubahan melalui riset, teknologi, dan kebijakan yang tepat. Saatnya berpihak pada petani!

03 October 2008

Dilema Tradisi Mudik


Dimuat di Harian Tribun Jabar, 29 September 2008, hal 5, Referat


Oleh :
Yanu Endar Prasetyo


Dibalik tradisi mudik yang dianggap sebagai kearifan budaya masyarakat Indonesia, terkuak pula tabir ketimpangan sosial yang luar biasa.

Mudik, atau kembali untuk sementara waktu ke kampung halaman, telah menjadi budaya yang mendarah daging. Lebih-lebih bagi para perantau atau migran yang mengadu nasib ke kota-kota besar. Tradisi mudik ini kemudian menjadi fenomenal. Sebab, mudik tidak dilakukan secara periodik atau berkala, melainkan hanya dilakukan pada satu moment waktu tertentu secara besar-besaran. Paling mencolok adalah pada waktu menjelang puasa dan hari lebaran.
Kita akan menyaksikan, di televisi maupun di koran-koran, kesibukan yang luar biasa untuk mengatur arus mudik dan arus balik para pemudik ini. Pulau Jawa tiba-tiba menjadi riuh oleh gelombang migrasi penduduknya. Hampir semua media transportasi antar daerah, khususnya darat, penuh sesak dan hampir-hampir tak mampu memuat penumpangnya. Kemacetan, kriminalitas, dan kecelakaan meningkat tajam dimana-mana. Belum lagi, instabilitas ekonomi yang tercipta akibat ulah pengusaha yang mencari untung dari momen tahunan ini.
Sayangnya, sebagian besar orang masih memandang tradisi mudik ini semata-mata positif, dan membiarkan segala kerumitannya menjadi hal biasa. Bahkan, tradisi ini sengaja dilanggengkan untuk menunjukkan solidaritas dan rasa kekeluargaan masyarakat kita yang dianggap masih tinggi. Padahal, jika dianalisis secara mendalam, tradisi ini justru secara gamblang telah menelanjangi berbagai masalah dan ketimpangan sosial di negeri ini. Ketimpangan sosial itu, dapat dilihat dengan mencermati beberapa hal yang terjadi dalam tradisi mudik, khususnya di hari lebaran ini.
Pertama, fenomena lengangnya kota-kota besar dan ramainya desa-desa. Ini menunjukkan, bahwa beban berat kota besar di Indonesia selama ini adalah disebabkan oleh menumpuknya manusia disana. Industrialisasi dan modernisasi menjadi daya tarik tersendiri bagi para perantau. Sementara, kemiskinan di daerah asal, menjadi faktor pendorong sebagian besar sumber daya manusia ini rela untuk meninggalkan tanah kelahiran sekaligus tradisi-tradisinya. Fakta inilah yang kemudian dikenal dengan fenomena urbanisasi. Meski Otoda telah dijalankan, tingginya tingkat urbanisasi yang terlihat ketika mudik ini, meyakinkan kita bahwa pembangunan negeri ini jauh dari merata. Kemajuan di kota tidak lantas seiring dengan pertumbuhan di desa. Justru sebaliknya, desa-desa kehabisan tenaga produktifnya, yang berakibat pada lingkaran kemiskinan di desa selamanya sulit untuk diputus.
Kedua, carut-marutnya manajemen transportasi. Hampir setiap tahun, kita disuguhi berita tentang semrawutnya infrastruktur transportasi kita. Baik di darat, laut, maupun udara. Baik persoalan jalan, jalur, hingga armada yang seolah tak pernah cukup. Padahal, jumlah maupun rasio angka pemudik dengan infrastruktur yang ada, dapat dihitung kecenderungannya dengan sangat mudah. Tidak lebih sulit dari memprediksi kapan sebuah gunung berapi akan meletus? Namun, kenyamanan pemudik di perjalanan, masih menjadi sesuatu yang mahal dan mewah. Kenyamanan mudik hanya dapat dinikmati oleh mereka yang berduit dan mampu membayar untuk duduk di kelas eksekutif. Bagi yang hanya mampu membeli tiket ekonomi, prinsipnya “asal terangkut” saja. Itu pun mereka masih harus dipermainkan oleh harga tiket yang tak menentu. Demikian ini menunjukkan perlakuan negara kepada si kaya dan si miskin, masih begitu jauh jaraknya.
Ketiga, instabilitas ekonomi dan keamanan. Membumbungnya bahan-bahan kebutuhan pokok menjadi hal yang biasa berulang tanpa kendali. Mulai dari beras, minyak goreng, telur, hingga pakaian dan tiket-tiket kendaraan, semuanya naik. Fenomena ini pula yang barangkali hanya terjadi di Indonesia. Selain ketidakmampuan negara dalam mengontrol laju inflasi, juga disebabkan mentalitas masyarakat kita yang aji mumpung dan menghalalkan segala cara demi meraih keuntungan sesaat. Padahal, akibat mencari untung seperti ini, tanpa disadari telah mendorong kriminalitas menjadi semakin tinggi. Kejahatan bukan hanya karena ada niat, tapi karena ada “tekanan”. Sebab, tekanan ekonomi pada taraf tertentu dapat memaksa seseorang nekad dan menghalalkan segala cara. Mulai dari mencopet, menjambret, mencuri, hingga merampok. Lengkap sudah kegelisahan di hari lebaran, instabilitas ekonomi telah menyebabkan keamanan masyarakat terancam.
Pada kondisi seperti ini, tradisi mudik menjadi dilematis. Di satu sisi, perasaan rindu berjumpa keluarga dan kampung halaman tidak begitu mudah untuk dihilangkan. Belum lagi, jika dihubungkan dengan prestise sebagai pekerja atau perantauan di kota besar, semakin menaikkan gengsi seseorang untuk menunjukkan kesuksesannya dihadapan keluarga dan kerabat. Namun di sisi lain, tekanan ekonomi dan jaminan keamanaan masih menjadi barang langka bagi kebanyakan pemudik. Pemerintah tidak selamanya bisa diandalkan untuk menangani dua hal tersebut. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada jalan keluar untuk problem ini.
Jalan keluar paling efektif bagi dilema mudik ini adalah, pertama, dengan melakukan pembagian energi sosial secara lebih arif. Caranya, dengan tidak memaksakan diri untuk mudik hanya pada satu waktu tertentu. Dengan kata lain, mudik tidak harus ketika lebaran. Memang sulit untuk meyakinkan setiap orang akan jalan keluar ini, sebab, seolah sudah ada konsensus secara nasional, baik oleh negara, pengusaha, dan masyarakat sendiri yang terwujud dalam hari libur nasional. Sehingga, setiap individu akan menyesuaikan agendanya dengan hari libur tersebut untuk melakukan mudik. Dengan demikian, negara atau pemerintah harus menata ulang kebijakan hari libur nasional tersebut, agar lebih memperluas kesempatan bagi warga negara untuk libur dan melakukan mudik beberapa kali dalam setahun.
Kedua, cara di atas tidak akan efektif jikalau tidak ada dekonstruksi teologis oleh para pemuka agama terhadap setiap anjuran-anjurannya. Sebab, kita tidak menutup mata, anjuran untuk saling bermaaf-maafan, sungkem kepada orang tua, dan berlebaran secara meriah, sedikit banyak adalah campur tangan dari anjuran tokoh agama. Harus ada penafsiran ulang atas anjuran tersebut agar lebih arif dan kontekstual, tanpa menghilangkan substansi dan nilai-nilai luhur agama itu. Ketiga, kesejahteraan dan keadilan sosial yang menjadi cita-cita bersama, mutlak diwujudkan oleh negara. Sebab, kemiskinan itulah pangkal dari segala dilema kehidupan sosial di negeri tercinta ini. Selamat merayakan Idul Fitri 1429 H, mohon maaf lahir dan batin.