23 March 2009

Eksploitasi Seksualitas Dunia Maya




Yanu Endar Prasetyo

Sarah dan Rahma Azhari baru saja menjadi saksi dalam uji materiil Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE) (Sindo, 21/03/09). Empati saya yang paling mendasar dalam kasus keduanya – yang tubuhnya menjadi objek eksploitasi di internet – adalah perihal sulitnya menjelaskan persoalan itu kepada keluarga dan khususnya anak-anak mereka. Buka hanya para artis, tapi juga bagi siapapun yang pernah menjadi “korban” pronografi di internet, pasti menanggung beban sosial dan psikologis yang sangat berat. Mungkin saat inilah, dimulainya era baru kehidupan manusia yang merapatkan batas dunia maya (internet) dan dunia nyata, dengan segala paradok, ironi, dan efek-efeknya.

Kasus eksploitasi tubuh artis seperti yang dialami oleh Sarah dan Rahma itu, menunjukkan dua sisi mata uang kehadiran teknologi. Internet dengan segala kecanggihan yang dimiliki, dikenal sebagai dunia maya tanpa batas. Kemampuannya menghubungkan informasi apapun di seluruh belahan dunia, menjadi magnet bagi setiap penggunanya. Ditambah dengan kemudahan dan kemurahan akses, kesederhanaan mesin pencari – seperti google - yang menakjubkan, serta sifat egaliter-permisif yang dimilikinya, telah menampung kreativitas individu-individu dengan latar belakang apapun untuk menjadi pengguna dan penyumbang informasi di dunia reka ini secara aktif. Sekaligus, sisi positif yang mengandung kebebasan berekspresi itu, turut pula ditumpangi oleh kreativitas lain yang cenderung eksploitatif, merusak, dan merugikan. Keduanya hadir dan harus kita terima dan sikapi dengan cerdas.

Sementara itu, fakta menurunnya minat dan konsumsi publik terhadap media cetak serta peralihannya ke media online (internet), nampak makin kentara. Baru-baru ini, surat kabar-surat kabar di Amerika Serikat sudah rontok bak daun kering. Sebutlah media-media seperti Chicago tribune, The Los Angeles Times, The Rocky Mountain News, dan terakhir The Seattle Post-Intelligencer (Tempo, 22/03/09), semua gulung tikar. Makin besarnya jumlah pengguna internet di tanah air yang mencapai 25 juta users (Kompas, Maret 2009), menjadi fenomena yang mendukung proses peralihan tersebut. Belum lagi jika kita memasukkan mereka yang tergabung dalam situs-situs pertemanan seperti friendster dan facebook yang sekarang sedang booming, jumlahnya bisa lebih banyak lagi.

Diantara jutaan pengguna internet itu, diantaranya adalah anak-anak dan remaja. Kemajuan dan mungkin kecerdasan otak anak, membawa mereka begitu mudah untuk belajar dan mempelajari internet. Remaja dan anak-anak saat ini adalah generasi yang bisa dibilang “melek” teknologi. Hal ini mungkin juga akibat punahnya berbagai pemainan tradisional dan lenyapnnya ruang-ruang bermain di lingkungan sosial, kecintaan mereka beralih pada Play Station (PS), komputer, games online, dan tentu saja internet. Namun sayangnya, para orang tua generasi 21 ini, ternyata banyak yang gagap dan bahkan buta terhadap teknologi informasi mutakhir ini. Akibatnya, para remaja dan anak-anak ini tidak semuanya belajar internet dengan bimbingan orang tua atau pendidik yang memadai.

Padahal, di internet itu berseliweran jutaan informasi yang tidak semuanya penting bagi anak atau remaja. Bahkan, cenderung banyak informasi dan situs-situs “sampah” yang beracun bagi perkembangan psikis anak. Ironinya, hal-hal yang beracun – seperti pornografi – ini justru menarik bagi mereka yang mulai menginjak masa puber pertama. Dorongan seks, yang diawali dengan pengenalan fungsi organ seksual dan ketertarikan terhadap lawan jenis, ternyata membutuhkan aktivitas-aktivitas tertentu untuk menyalurkannya. Dorongan seks pada remaja ini sifatnya universal dan bukan saja titisan biologis, melainkan juga hasil belajar secara sosial (Horton & Hunt, 1991:148)

Lebih jauh lagi, di realitas nyata kehidupan keseharian kita, segala hal yang berbau porno dan seks, ternyata selalu dinilai lebih “lucu” dan menarik. Mulai dari film, komedi, program televisi, hingga pada percakapan dan humor sehari-hari. Para remaja dan anak yang sedang mencari jati diri ini pun belajar dari konstruksi nilai sosial masyarakat yang senantiasa tertarik dan penasaran pada hal-hal yang berbau seks ini. Bisa dibayangkan, jika kemudian segala objek porno yang dianggap lucu dan menarik tadi itu adalah ibu, kakak, atau anggota keluarga kita. Masihkah kita bisa tersenyum dan menikmatinya?

Mungkin itulah perasaan dilematis yang menghinggapi korban eksploitasi seksual di internet seperti Sarah, Rahma Azhari, Dea Imut, serta korban-korban lainnya. Ketika foto telanjang mereka, baik yang sengaja maupun tidak, asli maupun rekayasa, disebarkan dan dengan mudah depelototi oleh jutaan pasang mata, maka yang terjadi adalah “pemerkosaan maya” yang dilakukan secara massal dan dalam jangka waktu yang mereka tidak tahu sampai kapan terus berlangsung? Lebih perih jika kemudian diantara jutaan pasang mata itu ada saudara, kerabat, atau anak-anak mereka. Tentu saja rasa malu tidak hanya menghinggapi korban, tapi juga anggota keluarga lainnya. Diejek, digunjing, dan direndahkan menjadi sanksi sosial yang akan mereka terima tanpa pembelaan.

Nampaknya, jika tidak ada intervensi yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, kasus-kasus eksploitasi tubuh dan seksual oleh pihak-pihak “kreatif” tapi tidak bertanggungjawab ini belum akan berakhir. Akan jatuh korban lebih banyak lagi di masa mendatang. Ada baiknya para orang tua di rumah, para pendidik di sekolah, para pemuka agama di tempat ibadah, seta para penegak hukum dan pemerintah ikut menanggulangi “kejahatan” dunia maya ini. Lebih-lebih pada mereka yang dengan sengaja mengeksploitasi seksualitas anak-anak. Termasuk, bagi mereka yang memang sengaja menjajakan kemolekan tubuh untuk difoto, direkam, dan berharap bisa mendulang rupiah, untuk lebih selektif memilih medianya. Sebab, dunia pornografi - dan prostitusi – ini memang telah merentang sepanjang jaman dan terbukti tidak pernah kehilangan penggemarnya. Dorongan seks manusia memang bukan untuk dilenyapkan, tetapi cukup dikendalikan.

Nah, cukup dewasa dan arif-kah bangsa kita mengendalikannya? Kita lihat saja.

7 comments:

  1. sulit membedakan antara 'pelaku' atau 'korban' di media publik semacam internet. bukan rahasia lagi kalau publikasi seorang figur publik di media menjadi penyambung hidup eksistensi mereka ditengah kerasnya persaingan, bukan?

    hehe.. menjadi sangat abu-abu untuk melihat dengan jelas yang mana 'korban sungguhan' dan 'korban rekaan' belakangan ini. ambil contoh kasus saiful jamil dan kiki fatmala, atau konflik antara dewi persik dengan andi soraya; yang ternyata disisipi aroma publikasi instant untuk mendongkrak film yang siap tayang. tidak terkecuali klan azhari di atas.

    layak memang bagi kita sebagai konsumen berita untuk sedikit skeptis, jika menilik rekam jejak ulah figur publik tanah air.. ;)

    anyway, this is hell a good story Yan..

    (^_^) salam!

    ReplyDelete
  2. betul bro..untuk kasus selebritis emang kita layak skeptis atas motif mereka. cuman, bisa nggak ya, anak-anak menikmati hak mereka berinternet dengan menu-menu yang sehat bagi perkembangan jiwa mereka? jika ortu pingin ngetop bikin sensasi lewat foto bugil, lalu bagaimana melindungi ke-malu-an anak2 mereka? hehehe....just a little empathy :)

    ReplyDelete
  3. kalo nggak salah sii pemerintaj bisa turun tangan masalah ini untuk banned beberapa site yg bermasalah,seperti konten pornografi itu..

    tp sistem block-sites ini pukul rata nggak cuman utk anak2 aja,nt mas yanu kehilangan beberapa site langgan juga deh.. hehe

    ReplyDelete
  4. goisp? lebih baik menonton gosip ketimbang sinetron. gosip selalu ada yang baru--berita2 basi itu. sinetron--duplikasi aja isinya.

    pornografi? wah, kayaknya saya belum cukup umur mendiskusikannya deh....

    ReplyDelete
  5. Kang Yanu, kapan mo ngirim tulisan tentang komunitas penulis subang. Boleh tuh buat dimasukin ke kolom komunitasnya http://kotasubang.com Ditunggu kirimannya di kotasubang@yahoo.com

    ReplyDelete
  6. Ternyata Mas Yanu peneliti dan penulis buku toh, salut deh. Klo saya baru mau coba kirim naskah ke penerbit. Mohon masukannya Mas, gimana biar naskah kita menarik di mata penerbit? Biar naskah saya kesampaian terbit jadi buku.

    ReplyDelete
  7. Assalamualaikum wrwb
    Terima kasih mas Yanu, isu dalam blog ini sangat menarik dan inspiratif, semoga persoalan trafiiking menjadi isu utama pemerintah agr generasi bangsa ini tdk semaki terpuruk dalam kenistaan.
    semoga ALLAH SWT melimpahkan rahmat dan kasih sayangNYA kepada anda. ameen
    Taufiq Sandra

    ReplyDelete