15 March 2009

Petani Profesi Masa Depan



Yanu Endar Prasetyo

Dalam World Development Report tahun 2008 yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, tercantum agenda global untuk pertanian di Abad 21 (Laporan Pembangunan Dunia, 2008:376). Beberapa agenda pokok di dalamnya adalah : mengakhiri kelaparan dan kemiskinan, pemberantasan penyakit pendemis, menjaga kelestarian lingkungan, tantangan perubahan iklim dan keamanan pangan. Dalam satu kalimat sederhana, dunia internasional telah memandang bahwa pertanian saat ini dan masa mendatang merupakan bidang terpenting dalam menyelesaikan permasalahan global umat manusia. Akankah agenda pertanian itu dapat terwujud? Bagaimana peluang pertanian di Indonesia menghadapi tuntutan global itu?

Ironis. Jumlah manusia yang terus menerus bertambah, ternyata justru diikuti dengan makin menyempitnya lahan pertanian dan menurunnya jumlah orang yang berminat terjun menjadi petani. Kita paham, milyaran manusia di planet ini memerlukan makan sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Makanan sendiri merupakan hasil dari kegiatan pertanian dalam arti luas (production operations on the farm) yang meliputi tanaman pangan, hortikultura, obat-obatan, perkebunan, peternakan, perikanan laut dan air tawar, serta kehutanan (Saragih, 2001:2). Dengan peningkatan jumlah penduduk dunia, bagaimana pertanian yang makin sempit lahan dan sedikit tenaga kerja ini mampu memenuhi kebutuhan makan kita kelak?

Logika industrialisasi pada Abad 20 pernah menggiring kita pada satu gerakan kunci modernisasi yang disebut “intensifikasi pertanian”. Makna intensifikasi adalah upaya melipatgandakan hasil pertanian dari luasan tanah yang relatif sama atau tetap. Perkembangan teknologi menjadi instrumen utama pendukung gerakan intensifikasi pertanian ini. Dari sini kita mengenal istilah “Green Revolution” atau “Revolusi Hijau,” yang menjadi acuan kebijakan pertanian pada regim pemerintahan Orde Baru. Sejarah mencatat Indonesia memang pernah mencapai swasembada pangan pada masa kejayaan revolusi hijau ini. Namun, usaha pertanian yang mengandalkan teknologi benih, pupuk dan pestisida ini pada akhirnya menuai banyak kritik karena terbukti berakibat buruk terhadap lingkungan. Bioteknologi dan mekanisasi yang semula menjadi harapan dan dewa penyelamat pertanian, tiba-tiba berubah menjadi berwajah menakutkan bagi keberlanjutan kehidupan. Ketergantungan petani pada benih, pupuk, dan pestisida mengakibatkan eksploitasi terhadap petani-petani di negara dunia ketiga. Belum lagi soal keamanan pangan, pencemaran lingkungan, dan hama penyakit. Untuk kembali pada pertanian organik juga tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Sementara itu, abad 21 adalah era Globalisasi. Ia hadir dengan dua wajah sekaligus, sebagai ancaman dan peluang. Sebagai ancaman, globalisasi telah menyebarkan virus kehampaan ke seluruh dunia (globalization of nothing) (Ritzer, 2006). Dalam dunia pertanian, ancaman nyata dari globalisasai adalah punahnya keragaman (varietas) tanaman yang dianggap tidak memenuhi “standar” konsumsi global. Petani hanya akan menanam kentang yang dipesan oleh Mc Donald, beternak ayam untuk KFC, dan memelihara sayuran yang sesuai standar Supermarket atau perusahaan multinasional lain sebagai agen globaliasai. Bisa dibayangkan, jika bahan makanan yang orang makan dan pakaian yang orang kenakan di seluruh dunia ini sama, maka akan terjadi kepunahan massal dari jutaan varietas tanaman dan hewan yang ada.

Sebagai peluang, globalisasi mengisyaratkan bahwa hasil-hasil pertanian harus bebas mengalir ke seluruh dunia demi menghilangkan ancaman kelaparan. Ini menjadi kesempatan bagi negara agraris seperti indonesia, untuk menjadi pemain utama. Meskipun, dominasi negara-negara maju melalui badan perdagangan internasional seperti WTO masih saja melahirkan ketimpangan distribusi (maldistribution). Ketika negara berkembang, termasuk Indonesia, dilarang memproteksi dan memberikan subsidi penuh pada pertaniannya, negara maju justru sebaliknya. Itulah sebabnya, meskipun potensi pertanian negara berkembang lebih besar, tapi sistem tata perdagangan global telah menjadikan petani di negara berkembang tetap miskin dan terpuruk. Oleh karena itu, keberanian menteri pertanian RI menggelontorkan dana subsidi 17,5 triliun lebih untuk mendistribusikan pupuk bersubsidi secara langsung kepada kelompok tani di tahun 2009 ini, patut didukung sepenuhnya (Tempo, Februari 2009:143). Meskipun, pada implementasi dan distribusinya, harus terus kita pantau dan evaluasi bersama.

Jika negara baru-baru ini mengklaim telah berhasil swasembada beras – yang kemudian dikecilkan menjadi iklan politik – alangkah bijaknya jika kemudian diperdalam hingga pada peningkatan kesejahteraan petaninya. Arah pembangunan yang cenderung “meninggalkan” pertanian harus diluruskan. Industri-industri besar yang dibangun di republik ini, sebisa mungkin adalah industri yang mampu menyerap, mengolah, dan mengembangkan hasil-hasil pertanian dalam negeri. Sebab, negara saat ini tidak lagi bertanggungjawab atas ketahanan pangan rakyatnya sendiri, melainkan harus ikut menjaga ketersediaan pangan seluruh dunia. Ekspor pangan layaknya menjadi obsesi dan lambang kemakmuran suatu negara.

Kita juga tidak boleh dibodohi lagi dengan politik perdagangan internasional yang saat ini gencar menghembuskan isu kebutuhan biofuel bagi dunia. Kebutuhan bahan bakar dari hasil pertanian, seperti sawit dan jarak, jika tidak disikapi dengan bijak justru bisa menggoncang ketahanan pangan bangsa kita sendiri. Jika kita memfokuskan pada mengekspor bahan mentah untuk biofuel ini, maka kita akan tetap menjadi konsumen dan pasar bagi hasil akhirnya. Sebab, teknologi pengolahan bahan bakar nabati itu hanya akan dikuasai lagi oleh multinational corporate. Lagi-lagi kita akan dipaksa membeli kendaraan ramah lingkungan, bahan bakar yang renewable, dan produk-produk lainnya yang notabene bukan bangsa kita sendiri yang membuatnya. Sementara itu, hutan-hutan dan kesuburan tanah kita akan habis karena ramai-ramai ditanami jarak dan kelapa sawit.

Benang merah yang ingin digarisbawahi dari artikel pendek ini adalah bahwa pemenuhan kebutuhan dan ketersediaan pangan tetap menjadi prioritas nomor satu untuk keberlanjutan kehidupan planet ini. Keadilan dalam distribusi hasil pertanian di era globalisasi harus terus diupayakan untuk mengatasi kelaparan dan menjaga kesejahteraan negara-negara berkembang pengekspor bahan pangan. Siapapun yang menguasai pangan, selayaknya mampu memimpin dunia. Dengan demikian, pertanian merupakan lahan strategis bagi bangsa kita untuk berbicara banyak dalam percaturan ekonomi dan politik dunia di masa mendatang. Tapi itu semua tidak akan berhasil jikalau generasi muda masih memandang sebelah mata profesi petani dan terbius ilusi bekerja di sektor industri-kapitalis yang terbukti tak mampu bertahan dari badai krisis.

Semua argumentasi di atas menegaskan bahwa petani adalah profesi masa depan. Dunia membutuhkan petani. Lalu, mengapa tidak kita penuhi panggilan itu?

1 comment:

  1. nice posting, maen ke blog ku ya: kotakinformasi.wordpress.com

    ReplyDelete