06 March 2009

Problem Agen Pemberdayaan (Inventor) Pertanian



Tulisan saya beberapa lalu (27/02/09) di blog ini - yang juga saya kirim ke detik.com - dimuat hari ini (jum'at, 6 Maret 2009)di halaman suara pembaca-opini anda. Semoga bermanfaat buat pembaca setia detik.com.

sedikit catatan, foto saya yang ikut terpampang sebenarnya terlalu "formal", kurang sreg dengan harapan saya. tapi itu karena detik.com hanya bisa memuat foto dengan besar file 10 kb, dan -malangnya- saya belum punya file foto yang lain. tapi untungnya dasinya miring...hehehe


Yanu Endar Prasetyo - suaraPembaca


Jakarta - Sekurang-kurangnya ada lima problem umum yang biasa dialami oleh para agen penggerak (baca: inventor) kegiatan pemberdayaan masyarakat di lapangan. Khususnya bagi mereka yang bergerak dan bekerja bersama komunitas petani di pedesaan. Mulai dari para pengumpul data (enumerator), mahasiswa, pegiat LSM, penyuluh lapangan, birokrat, provider technology, aktivis corporate social responsibility (CSR), hingga peneliti dari lembaga litbang berpengalaman sekali pun.

Masalah dari sisi para inventor tersebut disebabkan oleh banyak faktor. Mulai dari persoalan "sederhana" seperti kesulitan dalam menyamakan persepsi, minimnya penghayatan kultural-historis, hingga cara pandang terhadap keberhasilan yang keliru.

Problem umum pertama adalah minimnya data based kondisi awal komunitas. Biasanya, ruang lingkup kegiatan pemberdayaan yang dilakukan ada pada level komunitas lokal, seperti dusun, desa, atau kecamatan.

Seringkali ditemui di lapangan pemetaan kondisi awal dilakukan seadanya. Seperti hanya menggunakan data sekunder dari monografi desa atau kelurahan. Padahal, jika mau sedikit menelusur, banyak angka-angka dari data desa yang kurang mencerminkan keadaan sebenarnya.

Semisal, sumbangan potensi peternakan, perikanan, pertanian padi, dan sebagainya. Seringkali petugas desa hanya menuliskan angka produktivitas yang paling kecil. Padahal, potensi atau pun hasil dari sektor itu sebenarnya lebih besar dari yang tertulis.

Hal ini bisa terjadi karena petugas dan warga desa belum sepenuhnya mengerti urgensi pendataan potensi desa tersebut. Akibatnya, bagi yang benar-benar ingin program kegiatan pemberdayaan-nya tepat sasaran, harus mengumpulkan data sendiri untuk menyusun peta potensi desa tersebut. Pada titik inilah lahir dua atau lebih data tentang komunitas yang sama dan terkadang membingungkan.

Problem umum kedua adalah lemah dalam pencatatan (record) perkembangan. Manajemen dalam proses kegiatan pemberdayaan maupun transfer teknologi pedesaan adalah persoalan tersendiri.

Setiap tahapan perkembangan harus diperhatikan dengan seksama. Sebab, keberhasilan atau kegagalan suatu kegiatan pemberdayaan, semisal dalam introduksi teknologi, tidak bisa hanya dilihat dari hasil akhir secara kuantitatif, melainkan juga harus dari sisi dinamika proses yang terjadi.

Dalam proses kegiatan inilah kita dapat menggambarkan perkembangan atau perubahan pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan tindakan (practice) para petani. Kebiasaan sebuah program, apalagi jika penyelenggara kegiatan berlokasi jauh di luar desa tersebut atau di pusat (Jakarta), hanya melaksanakan evaluasi tahunan. Padahal, jika terbatas waktu dan tenaga, dapat disiasati dengan melatih agen setempat untuk menjadi pencatat setiap perkembangan yang terjadi dari waktu ke waktu secara detail.

Ketiga, salah dalam menafsirkan sikap petani. Di beberapa wilayah pedesaan kita, banyak petani yang masih bersikap mendua. Mereka selalu bilang, "iya, bagus" di depan petugas lapangan atau penyuluh pertanian pemerintah. Padahal, mereka telah memiliki bangunan persepsi sendiri atas teknologi atau program yang ditawarkan tersebut.

Ada istilah, "petani percaya orangnya dulu, baru kemudian percaya pada sesuatu yang dibawanya". Kadangkala, para inventor tertipu dengan statemen awal positif para petani tersebut. Lupa, bahwa di balik itu kita harus melihat apakah pernyataan "ya, bagus" itu tadi diikuti dengan partisipasi aktif atau tidak di belakangnya.

Selain itu, ada sebuah sikap manusiawi dari petani bahwa mereka cenderung tidak mau rugi (safety first) dan berorientasi pada rupiah. Apalagi, mereka yang menjadikan lahan pertanian sebagai satu-satunya tumpuan ekonomi keluarga, akan sangat sulit untuk diajak berinovasi yang sifatnya coba-coba (spekulatif).

Keempat, lupa bahwa profit/peningkatan pendapatan tidak selalu terkait dengan
kesejahteraan. Hampir setiap kegiatan pemberdayaan masyarakat, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan. Para inventor, biasanya cenderung mereduksi kesejahteraan hanya pada peningkatan pendapatan (income) maupun keterampilan (skill).

Setelah terjadi inovasi dan pendapatan petani meningkat program dianggap berhasil dan sukses. Padahal banyak kasus menunjukkan bahwa ketika pendapatan naik maka kemungkinan sikap konsumtif pun meningkat. Ketika sebelumnya petani hanya mendapat untung ratusan ribu, ketika tiba-tiba mendapat uang jutaan rupiah, mereka lepas kontrol.

Seringkali, keuntungan itu bukan untuk memenuhi prioritas kebutuhan dasarnya, seperti pendidikan, kesehatan, atau untuk keberlanjutan usaha, melainkan untuk belanja-belanja konsumsi belaka. Dengan demikian, capaian kesejahteraan yang diimpikan dari setiap kegiatan pemberdayaan masyarakat, perlu diperluas hingga penyadaran prioritas dan pendampingan pasca keberhasilan peningkatan pendapatan.

Kelima, membangun kelembagaan dalam kelompok tani tidak pernah mudah. Selain peningkatan pendapatan, pembentukan kelompok petani biasanya menjadi indikator keberhasilan yang lain. Entah mengapa, seperti sudah ada suatu konsensus diam-diam, bahwa pembentukan kelompok merupakan resep jitu untuk pemberdayaan. Padahal, belum tentu demikian.

Ada beberapa tipologi masyarakat pertanian yang memang cocok dikelompokkan, dan ada yang tidak. Bahkan, kecenderungan kelompok-kelompok yang dibentuk, hanyalah untuk kepentingan sesaat, seperti menampung program bantuan pemerintah.

Setelah program selesai, kelompok pun bubar. Hal ini nampak makin jelas, ketika kita melihat banyak program pemberdayaan masyarakat yang ternyata berbaju sama: bantuan modal bergulir. Para inventor seyogyanya tidak hanya puas setelah berhasil membentuk sejumlah kelompok, tetapi juga perlu menjalankan suatu strategi pendampingan yang benar-benar mampu meningkatkan kapasitas kelompok dan individu-individu di dalamnya.

Di luar kelima problema di atas tentu saja masih banyak masalah lain yang menjadi
pengalaman berarti bagi setiap inventor. Cara mengatasi setiap masalah pun bermacam-macam. Tergantung konteks siapa dan di mana kegiatan ini dijalankan.

Di samping itu setiap kegiatan bertema pemberdayaan sejatinya adalah "seni" dalam panggung besar yang disebut rekayasa sosial (social engineering). Subyek dan penikmat hasil dari kegiatan itu sejatinya adalah masyarakat (dalam hal ini petani)
itu sendiri. Inventor hanyalah katalisator dan fasilitator belaka.

Sebagai pengemban misi mulia diperlukan moralitas yang berpihak dan konsisten pada prinsip kepedulian sosial dan kemanusiaan dalam diri setiap inventor. Terlepas dari segala problema lapangan itu kegiatan pemberdayaan adalah salah satu cara agar keadilan sosial, sebagai salah satu dari tujuan bangsa ini, bisa dirasakan secara merata oleh seluruh rakyat.

Yanu Endar Prasetyo
Peneliti Sosiologi Terapan di Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna (B2PTTG)-LIPI Subang.

No comments:

Post a Comment