29 July 2009

BALADA ULU-ULU


Moralitas dan Rasionalitas Mantri Air dalam Pengelolaan Sumber Daya Air di Perdesaan


Yanu Endar Prasetyo & Tita Irama Susilawati



Menggadaikan kepercayaan masyarakat dengan sejumlah materi tentu saja menjadi pantangan utama bagi seorang tokoh masyarakat. Sebab, jika ia menodai kepercayaan, ia akan kehilangan otoritas dan bahkan mendapatkan hukuman sosial dari masyarakat. Namun di sisi lain, tuntutan kebutuhan ekonomi dan kekuasaan – sebagai implikasi kepercayaan yang dilegitimasi secara kolektif – seringkali sangat menggoda untuk disalahgunakan. Tarik-menarik kepentingan ini, secara mikrososiologi nampak jelas dalam keberadaan seorang Ulu-Ulu (mantri air), khususnya dari kasus yang kami temukan di perdesaan Subang, Jawa Barat. Melihat status dan peran kompleks Ulu-Ulu dari bebagai sudut pandang akan membantu kita memahami dinamika moralitas dan rasionalitas seorang “penjaga air” di tengah perebutan kuasa atas Sumber Daya Air dan alat-alat produksi pertanian lainnya.


Ulu-Ulu sang Pelayan Cai : Hubungan Status dan Peran

Masalah pengairan merupakan bagian penting dari setiap kebudayaan dan organisasi sosial (Planck, 1993:280). Di dalam komunitas masyarakat perdesaan-pertanian, Sumber Daya Air tidak hanya berguna untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, tetapi juga sebagai sumber daya utama untuk kegiatan ekonomi produktif mereka. Pengaturan Sumber Daya Air ini, seperti melalui sistem irigasi, telah dikenal masyarakat Sunda (Jawa Barat) sejak abad ke V dan makin diperkuat ketika masa kolonialisme.

Lewat sistem Tanam Paksa (1830) pada masa kolonialisme Belanda ini, ditetapkan seorang Hoofd Ingenieur, yaitu seorang insinyur berpengalaman yang menjadi kepala Irigatie-Afdeling. Kepala kantor irigasi tersebut, dibantu oleh para teknisi menengah (Opzichters) yang disebut mantri Waterbeheer atau mantri irigasi atau mantri Ulu-Ulu. Sedangkan untuk pemeliharaan bangunan irigasi di lapangan dikerjakan oleh mandor-mandor irigasi (Beambte Waterbeheer) dan sekelompok pekerja (Ploegkoelies).

Dari masa kolonialisme hingga pasca reformasi saat ini, banyak sekali perubahan dan penambahan peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan Sumber Daya Air. Seiring dengan berbagai perubahan tersebut, banyak pula perubahan menyangkut posisi dan peran seorang Ulu-Ulu atau pengatur distribusi Air (pelayan caik) di desa-desa. Ulu-Ulu dalam pembahasan ini adalah mereka yang menjaga di saluran air pada petak tersier yang langsung menyalurkan air ke lahan-lahan milik petani.

Secara sosiologis, otoritas yang dimiliki seorang Ulu-Ulu sangatlah strategis, karena ia memegang “kuasa” atas distribusi air. Namun demikian, semakin hari, menjalani profesi menjadi Ulu-Ulu semakin tidak mudah. Hal ini terkait dengan masalah-masalah degradasi alam (nature), perilaku manusia (culture), kebijakan pengelolaan Sumber Daya Air (state) dan komodifikasi air (market/liberalization) yang berimbas langsung terhadap peran Ulu-Ulu.

Dari sisi alam, tingkat kesesuaian (level of fitness) antara kebutuhan dan ketersediaan Air ternyata semakin lama semakin timpang (Dikun, 2004:2). Hal ini akan nampak jelas jika dilihat dari dimensi waktu dan jumlah (musim hujan dan kemarau) serta ruang dan mutu (perbedaan curah hujan tiap daerah). Dari sisi sosial budaya, perilaku manusia yang eksploitatif dan kurang bertanggung jawab terhadap alam menyebabkan krisis air semakin meningkat. Bahkan disinyalir kerusakan lingkungan di dunia ini justru paling besar disebabkan oleh hasrat manusia menguasai alam itu sendiri (ekspansi kapitalisme) (Leahy, 2008:475).

Seorang Ulu-Ulu - dalam konteks ini – seharusnya mampu dioptimalkan perannya menjadi ujung tombak dalam upaya pencegahan dan penyelamatan lingkungan – khususnya Sumber Daya Air – dengan melakukan penghematan, pengaturan teknis, peringatan-peringatan, pencegahan, pemberian informasi, dan menterjemahkan aturan perundangan (maupun adat) langsung kepada anggota masyarakat, khususnya petani. Akan tetapi, apakah benar seorang Ulu-Ulu masih memiliki otoritas dan kemampuan untuk mengemban tugas mulia itu saat ini? Dimanakah posisi Ulu-Ulu ketika terjadi tarik menarik antara kepentingan negara, pemodal, dan komunitas petani?

Ulu-Ulu merangkap Bujang Balong : Moralitas dalam Jerat Kapitalisme

Dalam berbagai kasus, seorang Ulu-Ulu mula-mula merupakan orang yang ditunjuk dan diangkat oleh pejabat yang berwenang. Namun di beberapa tempat – termasuk di Subang, Jawa Barat – Ulu-Ulu ini dipilih dan diangkat oleh warga masyarakat dan disahkan oleh aparat desa. Nampaknya tidak ada keseragaman terkait dengan posisi Ulu-Ulu ini di dalam birokrasi pemerintahan. Sama halnya dengan persepsi petani terhadap tugas dan peran ulu-ulu yang seringkali berbeda. Ada yang menjadi bagian dari aparatur desa, namun ada pula Ulu-Ulu yang memiliki wewenang secara informal saja. Ada pula desa yang memberikan jabatan kepada Ulu-Ulu itu seumur hidup, namun ada pula desa yang membatasi. Status yang disandang oleh Ulu-Ulu ini, pada akhirnya akan sangat menentukan moralitas yang dianut (dalam hal ini keberpihakannya ketika terjadi persoalan-persoalan menyangkut pengelolaan Sumber Daya Air).

Dalam dimensi sosial, setiap individu memiliki seperangkat peran (role set) yang mengindikasikan bahwa seseorang tidak hanya memiliki satu peran saja, akan tetapi sejumlah peran yang melekat. Akan tetapi, seringkali berbagai status dan peran yang melekat dalam diri seseorang itu mengalami ketidaksesuaian atau keganjilan (discrepancy/incongruity) (Horton & Hunt, 1991 : 120,129). Dalam kasus seorang Ulu-Ulu, dia bukan hanya seorang yang berperan mengatur distribusi air, melainkan juga memiliki kemungkinan peran sebagai kepala keluarga, pegawai pemerintah, tokoh agama, tokoh adat, atau sesepuh. Ketidaksesuaian status dapat dilihat dari peran sebagai suami yang harus memberi nafkah kepada keluarga dengan peran sebagai sesepuh yang diangkat secara musyawarah oleh warga. Di satu sisi ada dorongan ekonomi, namun di sisi lain ada dorongan moral yang sama-sama kuat.

Pada kenyataannya, dorongan ekonomi dan moral ini seringkali berbenturan di lapangan. Seorang Ulu-Ulu yang sudah 20 tahun menjalani profesinya , memiliki sumber pendapatan hanya dari pemberian petani di desanya ketika panen. Besar kompensasi yang diterimanya adalah 10-20 kg beras/100 bata luas tanah untuk hasil panen dari sawah. Sedangkan dari petani ikan, ia mendapatkan Rp. 10.000-Rp. 20.000/panen ikan. Pemberian tersebut sebenarnya merupakan bentuk “balas budi” (asas timbal balik) dalam konsep jejaring tradisional (Sajogyo & Sajogyo, 2002:15). Artinya, bukan kekuatan hukum yang mengikat pertukaran antara petani dan Ulu-Ulu, melainkan rasa kewajiban dan nilai-nilai yang telah disepakati secara kolektif.

Persoalan terjadi ketika mulai nampak perubahan orientasi petani dari yang semula hanya menanam komoditas untuk pertanian sawah (padi, jagung, palawija, dll) kemudian beralih menjadi petani ikan air tawar (ikan mas, bawal, nila, dll). Artinya, terjadi peningkatan kebutuhan air dari sumber air yang secara natural itu semakin terbatas. Pada kondisi seperti ini, keberpihakan dan keadilan distribusi air dari seorang Ulu-Ulu dituntut. Apakah ia akan berpihak kepada petani sawah? yang jumlahnya lebih banyak tetapi hanya memberikan kompensasi berupa beras ketika panen, atau memihak kepada petani ikan? yang jumlah petaninya lebih sedikit tetapi memberikan rupiah lebih besar dan lebih cepat, walaupun meminta jatah air dalam jumlah yang lebih banyak.

Persoalan yang sering terjadi adalah kecemburuan petani sawah di hilir sungai yang sering tidak kebagian air. Sebab, posisi kolam para petani ikan biasanya ada di hulu (lebih tinggi atau sama dengan posisi sawah). Selain itu, kemudahan akses dan kesempatan untuk berganti-ganti air seperti yang dilakukan para petani ikan, menimbulkan prasangka di kalangan petani bahwa petani ikan telah “membeli” Ulu-Ulu untuk mendapatkan kemudahan memperoleh air. Hal ini diperkuat dengan pekerjaan sampingan dari Ulu-Ulu di desa Sumur Gintung ini yang ternyata menjadi Bujang Balong (penjaga kolam ikan) milik seorang pengusaha pakan ikan (pemodal) dari luar desa setempat.

Peran ganda (sebagai Ulu-Ulu dan Bujang balong) ini menunjukkan tarik-menarik kepentingan antara petani ikan – yang di dalamnya ada pemodal – dan komunitas petani sawah pada umumnya. Secara moral, seorang pelayan caik seharusnya mendahulukan kepentingan petani pada umumnya, daripada kepentingan pemodal atau segelintir petani ikan saja. Akan tetapi, secara manusiawi, seorang Ulu-Ulu juga membutuhkan penghidupan yang layak dan merasa harus menjaga aset-aset yang menjadi sumber pendapatannya, dalam hal ini adalah dengan memberikan pelayanan “lebih” kepada petani ikan dan pemilik balong yang dijaganya. Apakah dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa Ulu-Ulu tersebut telah terjerat pada godaan materi dan menanggalkan nilai-nilai moral (keadilan) yang harus dipegangnya?

Dalam pandangan teori rasionalitas, seperti yang diungkapkan Popkin (1979) dalam Mustain (2007:44) bahwa petani adalah juga manusia-manusia yang rasional, keatif, dan ingin menjadi orang kaya. Ketika mereka memiliki akses yang lebih luas untuk mendapatkan keuntungan, maka bukan tidak mungkin mereka akan memanfaatkannya, termasuk jika kesempatan itu dimiliki oleh seorang Ulu-Ulu. Maka perilaku semacam itu menjadi wajar. Di sisi lain, konservativisme dalam masyarakat tradisional – sekalipun sudah mulai bergerak ke arah keterbukaan – barangkali masih menjadi pelindung bagi sang Ulu-Ulu. Kelompok petani sawah yang mendengar dan mengetahui “rahasia umum” tentang ketidakadilan distribusi air irigasi yang berkembang melalui desas-desus, tidak akan bergerak sebelum konsolidasi kelompok terbentuk secara bulat. Artinya, petani cenderung diam dan menghindari konflik secara terbuka. Lebih-lebih pada golongan petani tua.

Meskipun demikian, secara sporadis riak-riak kekecewaan yang muncul ke permukaan juga sering terjadi, khususnya pada musim kemarau ketika petani sawah merasa semakin sulit mendapatkan jatah air. Sementara di lain pihak, mereka melihat kolam-kolam ikan (yang luasnya 40-200 bata lebih dengan kedalaman 1,5-2 meter) tidak pernah kering. Pada kondisi kekecewaan yang berujung pada saling ancam antar kelompok, kepala desa harus mengumpulkan kedua kelompok (petani ikan dan petani sawah), Ulu-Ulu, serta mendatangkan pihak ketiga yang dianggap netral untuk mendinginkan suasana. Hingga saat ini, janji akan keadilan dan pemerataan air masih mampu meredam konflik, tapi entah sampai kapan cara ini akan bisa berhasil?

Mengembalikan Peran Strategis Ulu-Ulu


Salah satu upaya untuk menyelesaikan akar persoalan ketidakadilan distribusi air antara petani sawah dan kolam sebenarnya dapat dimulai dengan menengok kembali status dan peran seorang Ulu-Ulu. Ketika pemerintah “hanya” memposisikan Ulu-Ulu sebagai sekedar operator teknis pengairan ke petak-petak sawah petani dan tidak melekatkan peran yang lebih strategis (menjadi ujung tombak penyelamat dan pengelola Sumber Daya Air yang adil), maka kemungkinan seorang Ulu-Ulu untuk terbeli oleh kaum pemodal (yang biasanya datang dari luar desa atau kota-kota besar) menjadi lebih tinggi. Cara pemodal (seperti bandar ikan dan pakan) menundukkan Ulu-Ulu relatif sangat mudah, salah satunya adalah dengan mempekerjakannya sebagai bujang balong (penjaga kolam) miliknya, dengan demikian Ulu-Ulu lebih mudah “diatur”.

Pertarungan antara moralitas yang diharapkan dari seorang Ulu-Ulu dengan jeratan kapitalisme yang sistematis mengkooptasi berbagai aset perdesaan, tidak bisa didiamkan. Konflik terbuka untuk memperebutan air bisa terjadi sewaktu-waktu dan dapat menghancurkan integrasi serta keharmonisan kehidupan sosial. Ketika krisis Sumber Daya Air makin nyata, maka perlu dikedepankan upaya untuk membuka ruang dialog dan memperkuat solidaritas warga petani. Ego individu atau kelompok harus ditanggalkan demi kepentingan bersama.

Mengganti seorang Ulu-Ulu yang dianggap kurang adil memang langkah yang mudah, namun sifatnya hanya jangka pendek. Siapapun yang menjadi Ulu-Ulu tidak akan berhasil mendistribusikan air secara adil jika kesejahteraan, kehormatan, dan “kesakralan” peran sebagai Ulu-Ulu tidak dijaga secara kolektif oleh warga dan pemerintah. Jangan salahkan jika kemudian mereka yang berpunya (the have) dengan kekuatan kapitalnya akhirnya bisa mendapatkan privileged yang lebih dari kebijakan sang Ulu-Ulu.

Bahan Bacaan

Dikun, Dr. Ir. Suyono. 2004. Perspektif Kebudayaan dalam Pengelolaan Sumber Daya Air. Yogyakarta : ___________
Horton, Paul. B & Chester L. Hunt. 1991. Sosiologi. Edisi Keenam. Jakarta : Penerbit Erlangga
Leahy, Terry. 2008. Discussion of ‘Global Warming and Sociology’. SAGE (Los Angeles, London, New Delhi and Singapore) : Current Sociology Vol. 56(3): 475–484 © International Sociological Association
Mustain, Dr. 2007. Petani vs Negara : Gerakan Sosial Petani Melawan Negara. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 32/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi
Planck, Ulrich. 1993. Sosiologi Pertanian. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo. 2002. Sosiologi Pedesaan Kumpulan Bacaan. Jilid 2. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

1 comment:

  1. Itulah sebabnya, posisi yg strategis ini (pembagi air) hrs dikelola secara demokratis melalui wadah P3A, GP3A dan IP3A. Sangat bermanfaat infonya.. terima kasih

    ReplyDelete