29 July 2009

PETANI IKAN vs PETANI PADI

Memperkuat “Social Virtues” dalam Upaya Pengelolaan Sumber Daya Air Untuk Komunitas Petani Ikan dan Petani Padi di Perdesaan

Cahya Edi Wahyu Anggara & Yanu Endar Prasetyo


Gejala alih fungsi lahan dari sawah (padi) menjadi kolam ikan yang meluas di kalangan komunitas petani di kabupaten Subang telah melahirkan potensi masalah baru dalam hal alokasi dan distribusi sumber daya air. Perbedaan pola usaha antara petani padi dan petani ikan air tawar, nampaknya membutuhkan rumusan baru dalam pembagian jatah air agar lebih adil. Dari berbagai masalah yang diidentifikasi sementara, perlu adanya penguatan konsep “social virtues” (keutamaan sosial) dalam pengelolaan sumber daya air di perdesaan ini. Tujuannya adalah untuk mengurangi hasrat mengejar kepentingan diri sendiri (pure self-interest) dan meningkatkan pengendalian diri (self-restraint) dari masing-masing kelompok petani untuk mencegah konflik rebutan air yang lebih besar.

Potensi Pertanian dan Perikanan di Subang

Kabupaten Subang sebenarnya memiliki potensi Alam dan Sumber Daya Manusia yang cukup berlimpah. Secara umum wilayah Kabupaten Subang beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata 2.352 mm pertahun dengan jumlah hari hujan 100 hari (2005). Ditambah, Subang memliki lahan yang subur dan aliran sungai yang cukup banyak, menjadikan sebagian besar luas tanah Kabupaten Subang digunakan untuk pertanian. Bahkan, dari jumlah penduduknya yang berjumlah sekitar 1.422.028 jiwa, sebanyak 43,23% diantaranya bekerja dalam sektor pertanian (BPS, 2007).

Dengan terpenuhinya syarat-syarat sebagai daerah usaha tani (iklim, curah hujan, ketersedian air irigasi, kesuburan tanah) tersebut (Putra, dkk. 2008), maka wajar jika Subang menjadi salah satu daerah penyandang predikat lumbung padi nasional. Pada tahun 2007, Kabupaten Subang menyumbangkan produksi padi hingga 1.020.606 ton terhadap stok padi nasional. Produksi padi tersebut dihasilkan dari lahan basah (1.015.695 ton) dan sisanya dari ladang. Luas lahan yang digunakan seluruhnya mencapai 205.176 ha yang terdiri dari luas lahan basah mencapai 84.701 ha dan lahan kering 120.475 ha. Total Luas lahan basah/sawah yang sudah memiliki saluran irigasi sebanyak 84.167 ha (41,71%).

Di sisi lain, Subang ternyata juga memiliki potensi perikanan air tawar yang cukup signifikan. Terlihat dari produksi ikan air tawar pada tahun 2007 mencapai kurang lebih 9.258,80 ton, yang terdiri dari Kolam Air Tenang (KAT) sebanyak 4.827,50 ton, sawah/ mina padi sebanyak 2.895,30 ton, Kolam Air Deras (KAD) sebanyak 998,10 ton dan Perairan Umum sebanyak 537,90 Ton. Potensi tersebut digerakkan oleh kurang lebih 19.508 Rumah Tangga (RT) di Subang yang memiliki matapencaharian dari dunia perikanan. Dari jumlah RT perikanan tersebut, sekitar 8.951 RT (44,88%) adalah petani ikan sawah. Dari potensi kolam air tenang seluas 900 ha, kurang lebih 71,7 ha diantaranya digunakan untuk kolam pembenihan. Komoditi unggulan perikanan air tawar di Kab. Subang sementara ini adalah ikan mas dan nila.

Akan tetapi, kedua potensi tersebut belum dioptimalkan secara beriringan. Pemerintah daerah, melalui visi dan misi pembangunannya justru lebih berorientasi pada sektor Agribisnis, Pariwisata, dan Industri. Pertanian sawah – dalam hal ini padi - memang masih dipertahankan untuk menjaga status sebagai ikon lumbung padi nasional. Namun sayangnya, potensi perikanan darat yang mulai berkembang dan semakin meluas ini, belum mendapatkan perhatian atau kebijakan khusus dari pemerintah daerah. Padahal, di tingkat horizontal (komunitas petani) mulai terjadi perubahan orientasi dan alih fungsi sawah menjadi kolam.

Kondisi semacam ini potensial melahirkan berbagai bibit persoalan. Salah satunya adalah masalah distribusi sumber daya air untuk pertanian padi (termasuk palawija ) dan KAT. Sebab, lokasi KAT dan sawah padi ini pada umumnya masih berada dalam satu hamparan. Artinya, keduanya juga menggunakan air dari sarana irigasi yang sama. Hal ini memicu kekhawatiran terjadinya ketimpangan alokasi sumber daya air untuk dua komunitas petani ini. Mengingat, persoalan konflik perebutan air semacam ini juga telah terjadi di berbagai daerah

Kebutuhan Air Petani Padi dan Petani Ikan

Pada umumnya, pola tanam pada lahan sawah di kabupaten Subang adalah padi – padi – palawija. Dengan pola tanam tersebut, biasanya tanaman membutuhkan air lebih banyak pada awal musim tanam (40 hari pertama). Sedangkan kebutuhan air irigasi bagi petani ikan, hampir sepanjang waktu musim tanam. Selain itu, dengan pertimbangan kebutuhan oksigen dan kualitas air untuk pertumbuhan ikan, petani ikan lebih sering mengganti air di dalam kolamnya. Akibatnya, muncul ketimpangan distribusi air karena sumber daya air yang ada lebih banyak dialokasikan untuk petani ikan daripada petani sawah.

Petani ikan KAT sendiri, dapat dibagi menurut tahap budidaya yang dilakukan, ada petani kebul (pemijahan), petani burayak (pendederan I), dan petani ikan seratus (pendederan II). Untuk tahap pembesaran tidak dilakukan di KAT tetapi biasanya dilakukan oleh petani di Kolam Air Deras (KAD) atau di Kolam Jaring Apung (KJA). Petani kebul biasanya mengganti air seminggu sekali. Untuk kolam pemijahan ini, pengisian secara penuh membutuhkan waktu satu hari penuh pada musim hujan. Sedangkan pada musim kemarau waktu pengisian bisa memakan waktu hingga 3 hari. Artinya ketika air melimpah relatif semua kebutuhan pengairan petani terpenuhi, namun persoalan seringkali muncul ketika musim kemarau tiba. Kuantitas air yang terbatas, harus dialokasikan untuk semua kelompok.

Petani ikan ternyata membutuhkan pasokan air lebih banyak dan stabil sepanjang tahun. Hal ini disebabkan oleh persaingan usaha budidaya ikan air tawar lebih kompetitif dan mempunyai perputaran rantai tata niaga yang menuntut petani ikan untuk selalu mengikuti dinamika pasar. Dari sudut pandang solidaritas, kebersamaan yang terbentuk dalam komunitas petani ikan ini adalah solidaritas yang berbasis ekonomi (economy-based) dengan ciri kepercayaan (trust) yang rendah antar sesama petani (Prasetyo, dkk. 2009:5). Dengan kata lain, setiap kegiatan dan hasil budidaya ikan ini memiliki nilai komersial atau bisnis. Hal ini pula yang mendorong petani ikan untuk menjaga kontiunitas produksi dengan cara mengamankan pasokan air ke kolamnya secara terus menerus.

Hal ini berbeda dengan pola usaha tani yang diterapkan komunitas petani yang masih bisa disebut sebagai perekonomian keluarga (family economy) (Wolf, 1983:21). Artinya, komunitas petani padi lebih banyak memprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan keluarga terlebih dahulu daripada untuk dijual (semi komersial). Dalam komunitas petani padi yang lebih banyak diisi oleh golongan tua ini, kecenderungannya masih memegang tata kehidupan yang konservatif. Ritme kerja dan hidupnya memiliki kaitan erat dengan upaya untuk menjaga harmonisasi antara alam, sosial, budaya dan religi yang sudah diwariskan secara turun temurun. Kehadiran komunitas petani ikan di tengah-tengah mereka pada mulanya diterima dengan baik. Akan tetapi, lambat laun dengan semakin banyaknya petani ikan dan sumber daya air yang makin terbatas, muncul sikap alamiah untuk menjaga dan menyelamatakan aset pertanian masing-masing (safety first) dengan mulai mempertanyakan hak-hak mereka yang terkurangi.

Dalam kondisi semacam ini, seorang mantri air atau Ulu-Ulu memegang peranan kunci. Moralitas (keberpihakan dan keadilan) seorang Ulu-ulu sebagai operator teknis pengairan ke petak-petak sawah, seringkali mendapat ujian . Sebagai orang yang diangkat secara kolektif oleh desa dan masyarakat untuk mengelola air irigasi, maka Ulu-Ulu memiliki tanggung jawab secara moral dan sosial. Meskipun kesepakatan pola distribusi air sudah dibuat dan menjadi rutinitas desa, kenyataannya petani ikan relatif bisa dengan mudah memperoleh akses terhadap air, bahkan di musim kemarau. Hal ini memunculkan kontraversi di tengah masyarakat bahwa Ulu-Ulu telah bertindak tidak adil. Rasa saling percaya antar kelompok petani menjadi memudar. Kehadiran pendatang baru (petani ikan) dengan segala pola usaha/budidaya yang kontinu itu, telah melahirkan hubungan transaksional atas sumber daya air antara pengelola air (ulu-ulu) dengan petani ikan. Secara samar telah nampak peralihan dari air yang semula memiliki fungsi sosial (perekat) menjadi sesuatu yang berfungsi sebagai komoditas (ekonomi) untuk dipertukarkan (Atmanto, 1998)

Salah satu gejala lain yang nampak dari perubahan struktur pertanian desa ini adalah melunturnya kepercayaan (trust) dan kaburnya kebenaran (truth) menyangkut hak dan kewajiban dalam pengelolaan sumber daya air diantara komunitas petani ikan dan petani padi. Rasa saling tidak percaya antar kelompok petani ini seringkali hanya dipendam dalam perbincangan-perbincangan kelompok kecil dan cenderung menjadi desas-desus. Pemberian kompensasi oleh kelompok petani ikan kepada ulu-ulu pada setiap pergantian air (kurang lebih Rp.20.000-Rp.50.000 – berbeda di setiap desa), menjadi sinyalemen negatif dimata kelompok petani padi yang hanya memberikan kompensasi berupa beras (kurang lebih 10-20 kg) setiap panen kepada ulu-ulu. Dugaan akan tindakan-tindakan semacam ini, mengaburkan hak, kewajiban, dan aturan-aturan yang telah disepakati sebelumnya. Sikap diam dan seolah tidak tahu juga ditunjukkan oleh aparat pemerintah desa, yang seharusnya menjadi jembatan kedua kelompok. Hal ini melahirkan pula spekulasi dalam masyarakat bahwa pihak aparat juga terlibat. Lunturnya keutamaan dan kebajikan sosial (social virtues) semacam ini, akan menjadi masalah di kemudian hari jika terus didiamkan.

Diperlukan Kerjasama berbagai pihak, mulai dari kelompok petani ikan, petani padi, warga sekitar, pemerintah desa, dinas pengairan, pemerintah daerah, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, untuk mulai merumuskan upaya preventif konflik perebutan air yang mungkin akan terjadi. Ruang-ruang dialog antar kelompok dapat dikembangkan menjadi forum silaturahmi dan upaya penyamaan persepsi atas alokasi air irigasi di setiap komunitas. Perlu dipupuk kembali solidaritas masyarakat pedesaan yang mulai luntur akibat dari kompetisi usaha/bisnis yang telah menurunkan rasa saling percaya. Konflik perebutan air tidak akan terjadi jika setiap pihak mau mengendalikan ego dan kepentingan diri serta mendengarkan dan memahami kepentingan kelompok lain. Selain itu, semua pihak juga harus ikut menjaga kelestarian sumber-sumber penopang ketersediaan air di lingkungan masing-masing, termasuk ikut menghemat penggunaan air dan tidak menggunduli bukit atau hutan.

Kesimpulan


Perubahan struktur dan komposisi pertanian yang ditandai dengan hadirnya petani ikan dalam hamparan lahan pertanian padi, membawa implikasi pada perubahan alokasi sumber daya air. Bukan hanya permasalahan teknis irigasi, melainkan juga berdampak secara sosial. Perbedaan kebutuhan air yang dipicu oleh perbedaan pola budidaya antara tanaman padi dan ikan, melahirkan kecemburuan yang ditandai dengan lunturnya kepercayaan antar kelompok petani. Aturan tentang distribusi air, hak, dan kewajiban juga semakin kabur. Hal ini memicu menguatnya ego individu dan kelompok untuk menyelamatkan aset pertanian masing-masing tanpa mempedulikan kebutuhan pihak lain.

Kondisi ketegangan ini harus dicairkan dengan membuka ruang dialog yang terbuka untuk menumbuhkan kembali kepercayaan antar kelompok dan memperjelas kesepakatan tentang aturan pengelolaan sumber daya air lokal secara lebih adil. Langkah tersebut merupakan rangkaian dari tindakan strategis untuk memperkuat “social virtues” (keutamaan sosial) dalam pengelolaan sumber daya air di perdesaan ini dengan cara mengurangi hasrat mengejar kepentingan diri sendiri (pure self-interest) dan meningkatkan pengendalian diri (self-restraint) dari masing-masing kelompok petani.

Bahan Bacaan


Atmanto, Sudar. D : Air Untuk Kesejahteraan Rakyat Reformasi Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan dan Berdimensi Kerakyatan. Jakarta : Dinamika Petani Media Informasi Tentang Sumberdaya Air dan Pertanian, No 32 tahun X, PSDAL-LP3ES
Ormerod, Paul : Matinya Ilmu Ekonomi Menurut Paul Ormerod. Jilid I : dari Krisis ke Krisis. KPG, Jakarta, 1998
Putra, I Gede Setiawan Adi, Nurahimah Mohd Yusoff, dan Amri Jahi : Menemukan Masalah-Masalah Petani Untuk Dicarikan Solusinya Sebagai Upaya Menolong Meningkatkan Pengetahuan Dan Keterampilan Mereka, 2008
Prasetyo, Yanu Endar, dkk : Resistance to Innovation : Case of Appropriate Technology Implementation in Rural Agricultural Communities, Asia Pasific Sociological Assosiation (APSA) Conference, Bali, 2009
Wolf, Eric. L : Petani Suatu Tinjauan Antropologis. Rajawali Press, Jakarta, 1983
______________, Petani Padi Bersaing dengan Petani Palawija untuk Dapat Air, Jawa Barat : Kompas, Sabtu 18 Juli 2009, hal 22
______________, Subang Dalam Angka tahun 2007. Subang, Badan Pusat Statistik (BPS)

1 comment:

  1. kami DeSawah Fish "Specialist Nila merah super (Bangkok)"
    kolam di subang dan bandung dengan kapasitas 800kg-1ton/hari size 200 - 750g/ekor, dengan metode panen dgan cara di tangkap satu persatu,tidak memakai sirib atau jaring
    kualitas,kwantitas serta daya tahan ikan .. sya jamin, apabila ikan banyak yg mati lebih dr 10% atau kualitas ikan saya buruk, maka saya ganti 2x lipat dgan ikan yg baru, Phone 081222724891 Pin 5c7ab019

    ReplyDelete