13 July 2009

Stabilitas Jadi Pilihan Daripada Perubahan



Artikel ini dimuat di Harian Tribun Jabar, Senin 13 Juli 2009 hal 5

Perilaku pemilih di perhelatan Pemilihan Umum Presiden dan Calon Wakil Presiden RI tahun 2009 ternyata telah memasuki babak baru. Terpilihnya pasangan SBY-Boediono menurut versi Quick Count (penghitungan cepat) dari berbagai lembaga survey menunjukkan fenomena perilaku pemilih yang berbeda dari Pemilu-Pemilu sebelumnya.

Ada beberapa catatan penting dari fenomena Pilpres tahun ini. Pertama, adalah soal pergeseran dari pemilih dengan basis politik aliran menjadi politik berbasis individual. Setiap individu pemilih tidak lagi memiliki garis ikatan yang jelas dengan afiliasi politik maupun keagamaan yang melekat dalam kehidupan sosial. Para kiai atau elit agama yang berbondong-bondong mendukung calon pasangan tertentu, ternyata tidak serta merta menarik umat di bawahnya untuk memilih pilihan yang sama. Hal ini nampak jelas pada fenomena di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur. Dimana tim sukses JK-Win yang getol menggunakan kendaraan elit-elit Nahdliyin pun, ternyata tidak mampu mendongkrak perolehan suara secara signifikan. Begitu pula fenomena di Sumatera Barat dan daerah-daerah lainnya. Artinya, setiap individu saat ini telah mewakili dirinya sendiri dan tidak mudah dibaca dari kaca mata politik aliran.

Kedua, pemilih telah melampaui fenomena politik primordial. Banyak isu-isu bernuansa primordialisme (kesukuan, kedaerahan, dan golongan) yang sering dan selalu keluar menjelang Pemilu, seperti isu Jawa-Luar Jawa, Militer dan Non-Militer, Islam-Nasionalis, dan lain sebagainya. Akan tetapi, berbagai isu primordial tersebut telah dilampaui oleh para pemilih saat ini. Perolehan suara pasangan SBY-Boediono (menurut versi quick count) yang merata secara mayoritas (lebih dari 20% suara di lebih dari 50% provinsi) mengindikasikan fenomena ini. Padahal kita tahu, latar belakang pasangan ini yang sama-sama dari Jawa Timur, sama-sama muslim, dan sama-sama laki-laki, tidak melahirkan sentimen negatif bagi pasangan ini.

Ketiga, pemilih Pilpres 2009 ini ternyata lebih memilih kondisi stabilitas (lanjutkan!) daripada kondisi perubahan (seperti isu yang diusung Mega-Pro dan JK-Win). Hal ini nampak sulit untuk dijelaskan. Namun benang merah keputusan itu dapat kita tarik sebagai gambaran dari suatu kondisi masyarakat yang telah bosan dengan konflik. Satu dekade pasca reformasi bangsa ini telah mengalami berbagai cobaan beruntun, konflik berdarah, musibah yang berturut-turut, dan berbagai persoalan ekonomi lainnya, justru menggiring alam pikir pemilih untuk mendambakan kedamaian, ketentraman, dan kepastian. Kondisi yang didambakan itu tergambar jelas dalam platform yang diusung oleh pasangan SBY-Boediono. Baik pemilih di perdesaan maupun di kota, nampaknya senada dalam hal ini. Capaian pertumbuhan ekonomi yang “hanya” 7%, ternyata justru dinilai rasional dibandingkan dengan yang ditawarkan pasangan lainnya yang diatas dua digit.

Keempat, masyarakat pemilih telah menjadi kritis terhadap media. Dengan kata lain, tidak selamanya opini yang digiring oleh media mampu menuntun dan menentukan pilihan publik. Sebagai incumbent, pasangan SBY-Boediono menjadi sasaran banyak kritik dan musuh bersama bagi pasangan calon lainnya. Kritikan tersebut tentu menjadi bahan pemberitaan yang sangat menarik bagi media, baik media massa maupun elektronik. Meskipun dibenturkan dengan banyak kritik dan “serangan” dari berbagai media, ternyata pasangan SBY-Boediono masih mampu “menguasai” persepsi pemilih bahwa kesantunan, pandangan optimis, dan kehati-hatian mampu mendinginkan kritik pedas maupun kampanye hitam lainnya.

Perilaku pemilih yang semakin terbuka, individual, dan kritis tersebut menggambarkan keinginan dan kehendak hati seluruh rakyat Indonesia. Proses Pemilihan Umum yang aman dan damai ini, hendaknya diikuti pula oleh sikap kenegarawanan para calon pasangan Capres dan Cawapres kemarin, baik yang menang maupun kalah. Bagi pemenang nanti (menunggu hasil perhitungan KPU) tidak boleh arogan dan menjadi otoriter. Mengingat, legitimasi yang sangat kuat (mayoritas dan satu putaran) bisa menjadi bumerang yang melenakan sehingga lupa untuk menuntaskan berbagai permasalahan bangsa. Begitu pun bagi yang kalah, hendaknya mampu menerima dengan lapang dada sehingga mampu memberikan pembelajaran politik yang baik bagi masyarakat. Kekurangan dan ketidaksempurnaan sebuah proses pasti ada, namun jangan menjadi alasan untuk merusak suasana demokrasi yang damai ini.

Catatan terakhir, meskipun masyarakat memilih stabilitas daripada perubahan, bukan berarti masyarakat tidak menginginkan perubahan. Justru sebaliknya, perubahan itu diamanahkan untuk dipimpin oleh pasangan pemenang secara lebih cepat dan lebih baik. Figur kepemimpinan SBY nampaknya lebih disukai para pemilih karena kesantunan dan kehati-hatiannya. Akan tetapi, apabila stabilitas yang dipilih ini dijawab dengan stagnansi dan politk yang masih sekedar “tebar pesona”, bukan tidak mungkin gejolak kekecewaan di tengah masyarakat akan muncul. Masyarakat pemilih telah berubah makin cerdas dan rasional, maka saatnya pula para pemimpin terpilih ini untuk ikut berubah, menjadi lebih cepat dan lebih baik, berpihak (pro) pada rakyat, dengan melanjutkan hal-hal baik yang sudah dilakukan maupun yang dijanjikan. Selamat berdemokrasi dengan damai.

Yanu Endar Prasetyo
Peneliti Studi Masyarakat Lokal B2PTTG-LIPI
Tinggal di Subang

3 comments:

  1. mas, hapeku ilang udah sebulan...(just info)

    ReplyDelete
  2. jadi gimana cara menghubungimu sen??? ada nomer baru kah? tak doakan semoga segera dapat gantinya..amiin..hehehe:)

    ReplyDelete
  3. Itulah kenyataanya, rakyat semakin dewasa dalam berpolitik. mereka memilih semakin rasional dan tak lagi terbelenggu aliran dan golongan.
    Sebaliknya para elit justru yang belum juga dewasa, emosional dan lebih mementingkan kelompok dan golongannya.
    Sekarang elit politik yang seharusnya belajar dari kedewasaan rakyat. Tingkah sebagian elit emang kadang seperti anak kecil, menggemaskan...hmh...kapan dewasanya?

    ReplyDelete