18 August 2009

Dirgahayu RI ke 64 dan LIPI ke 42

Sajak Pengingat
(Refleksi HUT LIPI 42, Subang 18-20 Agustus 2009)


........
Aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
…....
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
.............
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
(W. S. Rendra, Sajak Sebatang Lisong, 19 Agustus 1977, ITB Bandung)

read more...





Sajak si Burung Merak di atas bukanlah sindiran langsung untuk kita. Yang kemana-mana menepuk dada karena sederet ijazah dan gelar sarjana. Bukanlah cibiran bagi pejabat-teknokrat yang dengan bangga menyebut dirinya sebagai insan ilmu pengetahuan. Bukan pula himbauan yang meremehkan digdaya ilmu pengetahuan. Tapi sajak itu adalah sebentuk kegelisahan. Semburat kemuraman yang terpotret dari bangsa yang sejatinya masih terjajah. Bukan saja dijajah imperialis-kapitalis, tetapi juga dijajah sesama sendiri. Dari koruptor yang tampak mentereng, hingga oleh mereka yang lupa dengan tugas dan tanggung jawabnya, sebagai pelayan negeri.

Dan jika kemudian kita tersindir, terdamprat oleh sajak itu, jangan marah, mari mulailah berefleksi.

“Untuk apa kamu mengada ?”
“untuk menciptakan teknologi”
“itu saja?”
“terkadang kalau tidak mampu membuat, saya cukup menjual teknologi saja”
“lalu, sebenarnya kamu ilmuwan apa pedagang?”
“anggap saja keduanya, toh kita tidak akan diakui sebagai ilmuwan sebelum karya kita laku dijual”
“lalu untuk siapa?”
“untuk mereka yang mampu mendanai dan membeli”
“siapa mereka?”
“industri, asing, investor, swasta, bla..bla..bla”
“tapi kau tulis di proposalmu semua untuk masyarakat?”
“itu juga benar, jika tidak begitu tidak akan didanai”
“jadi yang sebenarnya untuk siapa?”
“aku juga bingung...?)”..$** ”
“Sontoloyo......:( ”

Dan rendra pun menggaris bawahi dalam sajaknya yang lain :

.......
Kita marah pada diri sendiri
Kita sebal terhadap masa depan.
Lalu akhirnya,
menikmati masa bodoh dan santai.

Di dalam kegagapan,
kita hanya bisa membeli dan memakai
tanpa bisa mencipta.
Kita tidak bisa memimpin,
tetapi hanya bisa berkuasa,
persis seperti bapak-bapak kita.
(Sajak Anak Muda, Jakarta 1977)

Dirgahayu Republik Indonesia ke 64 dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ke 42, mari kita luruskan niat dan perbuatan untuk pengabdian terbaik kepada jutaan saudara sebangsa yang sejatinya masih belum melek pengetahuan dan teknologi

Bogor, 18 Agustus 2009
Salam perdjoeangan!

1 comment: