11 August 2009

DOKTER, BIDAN, ATAU PARAJI ?


Secara psikologis, pasangan yang sedang dalam masa menanti buah hati, akan digempur oleh banyak mitos-mitos seputar kehamilan. Ibu – dan juga calon ayah – akan berdiri pada suatu kondisi serba bimbang jika mendengarkan semua saran dari semua pihak. Akan tetapi, jika tidak mendengarkan berbagai anjuran tersebut, tak urung ketakutan juga akan menghantui. 




read more....
 
Konon, kehadiran bidan dan dokter perlahan mampu menghapus berbagai mitos-mitos menyesatkan seputar kehamilan yang diyakini di tengah masyarakat. Dengan segala kemajuan ilmu kedokteran, banyak persoalan-persoalan yang dulunya serba spekulatif, menjadi terang benderang. Sebagai contoh, kehadiran teknologi USG (Ultrasonografi) telah menggugurkan berbagai spekulasi orang-orang tentang jenis kelamin si calon bayi. Misalnya, jika si ibu senang berdandan saat hamil, maka anaknya kelak perempuan. Atau jika perut ibu hamil meruncing maka akan melahirkan anak laki-laki, tetapi jika bundar maka anaknya perempuan. Berbagai spekulasi yang cenderung menjadi mitos tersebut, akan lenyap seketika saat si ibu melakuan pemeriksaan USG. Artinya, mitos yang lahir dari ketidakmampuan rasio menjawab, saat ini telah banyak yang terjawab.

Masyarakat nampaknya juga mulai selektif dalam menentukan pilihan konsultasi ketika ada anggota keluarganya yang hamil. Kemajuan pendidikan, terbukanya arus informasi, dan gencarnya pembangunan puskesmas hingga ke desa-desa, menjadi faktor pendorong masyarakat untuk mulai beralih pada pelayanan kesehatan modern, seperti dokter atau bidan. Apakah berarti dukun bayi atau paraji telah ditinggalkan? Mari kita amati melalui beberapa sudut pandang.

Pertama, jika dilihat dari persentase tenaga penolong persalinan bayi di desa-desa secara umum, memang terlihat kecenderungan persalinan oleh paraji mengalami penurunan. Pada tahun 2000, persentase ibu-ibu di pedesaan Indonesia yang proses kelahirannya dibantu oleh paraji cukup besar, mencapai 46,8%. Akan tetapi, di tahun 2006, persentase tersebut menurun hingga tinggal 33,9%. Sebaliknya, mereka yang persalinannya dibantu oleh bidan, meningkat dari 45,7% (2000) menjadi 55,6% (2006) dan yang persalinannya dibantu dokter meningkat dari 3,6% (2000) menjadi 7.1% (2000) (Laporan Sosial Indonesia, 2006)

Kedua, peningkatan pelayanan oleh bidan atau dokter tersebut terlihat belum maksimal kemungkinan karena persebaran tenaga bidan yang belum merata di seluruh perdesaan. Sebagai contoh, dari 5.863 desa di Jawa Barat ini, baru 4.805 bidan yang tinggal di pedesaan (dari 7.593 orang tenaga bidan) (BKKBN, 2009) Sehingga masih ada 1000 desa lebih yang belum terjangkau tenaga bidan dan otomatis peran paraji masih signifikan. Lebih-lebih untuk daerah lain di Indonesia yang lebih terpencil, akan lebih sedikit lagi jumlah tenaga bidan yang ada.

Ketiga, peran paraji sebagai penolong persalinan masih belum tergantikan sepenuhnya juga karena banyak kesan positif dari masyarakat ketika mereka berhubungan dengan Paraji. Dari sisi biaya, Paraji jelas jauh lebih murah dibanding dengan bidan ataupun dokter. Sebagai contoh, di Kabupaten Subang, ketika ibu memeriksakan secara rutin kehamilannya kepada dokter, ia dipungut biaya rata-rata lebih dari 100.000 setiap kali periksa, belum termasuk jika kandungan si ibu mengalami masalah atau kelainan sehingga membutuhkan perawatan khusus. Ketika ia memeriksakan kandungan pada bidan, ia hanya dipungut biaya antara 17.000-25.000 rupiah saja. Sedangkan dengan paraji, biaya pemeriksaan rutin itu bersifat sukarela atau semampunya.

Secara psikologis, Paraji dikenal memberikan perhatian yang lebih kepada calon ibu. Mulai dari pijatan-pijatan tambahan, pelayanan yang penuh keibuan, dan kharisma “orang pintar” yang membuat banyak perempuan merasa aman. Sepulang dari paraji pun, si ibu masih dibekali dengan jampi-jampi, bawang putih, telur ayam kampung, atau barang-barang lainnya untuk sebagian masyarakat kita masih mampu memberikan rasa aman dan percaya diri. Pelayanan penuh empati itu, rupa-rupanya masih jarang ditemukan pada para dokter yang serba prosedural dan memiliki jarak sosial yang jauh dari kebanyakan pasiennya. Sedangkan di puskesmas atau tempat praktek bidan, lebih sering digunakan menjadi sarana magang para calon bidan yang justru mengurangi kenyamanan dan kepercayaan para ibu hamil. Terkenal pula sugesti yang muncul di tengah masyarakat bahwa “ kalo pengen lahir normal mah, ka paraji ato bidan we, kalo ka dokter mah pasti ceasar!”. Sugesti semacam ini lahir barangkali dari pengalaman-pengalaman yang dialami ketika berhubungan dengan tenaga medis maupun tenaga non medis, seperti paraji.

Keempat, jika ada ibu hamil yang sempat mencoba konsultasi atau penanganan dari ketiga pihak (dokter, bidan, dan paraji) mungkin akan dibingungkan oleh diagnosa yang berbeda satu sama lain. Mulai dari perkiraan berat bayi, perkiraan hari kelahiran, jenis kelamin, hingga proses persalinan yang disarankan. Namun, jika kita melihat secara lebih dalam, calon ibu tidak perlu bingung. Perbedaan diagnosa itu lebih disebabkan oleh basis pengetahuan yang berbeda. Seorang dokter akan menggunakan perhitungan dan peralatan modern, sementara bidan menggunakan perhitungan dan peralatan sederhana, dan paraji, menggunakan pengalaman, ilmu penanda, dan kekuatan batin.

Soal si Ibu akan memilih dibantu oleh Dokter, Bidan, atau Paraji, maka yang akan menentukan pilihan itu bukan saja faktor mana yang paling ilmiah atau rasional ? Akan tetapi, preferensi itu akan dipengaruhi secara kuat oleh kondisi sosial ekonomi, referensi dan pengalaman dari orang-orang dekat (suami, orang tua, tetangga, saudara, dll), akses terhadap tenaga kesehatan, kondisi geografis, dan hal-hal yang bersifat kasuistis lainnya. Oleh karena itu, harapan kita untuk menurunkan angka kematian ibu (307 per 100.000 proses melahirkan) dan bayi (35 per 1000 kelahiran) yang masih tinggi di Indonesia ini (BPS, 2008) ini, membutuhkan kerjasama semua pihak, termasuk kita sebagai warga masyarakat yang harus “siaga”.

Terobosan yang dilakukan oleh Pemprov Jabar bersama Unpad (23/06/09) yang memberikan beasiswa terhadap 1.200 calon bidan desa, patut didukung dan diapresiasi. Semoga semangat itu bukan hanya untuk sekedar “menggusur” keberadaan paraji, namun lebih bijak dari itu adalah untuk memberikan alternatif pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi masyarakat.

1 comment:

  1. siip. semoga kebijakan ini dalam tataran untuk memberi pelayanan yang baik untuk masyarakat.. namun dunia kesehatan indonesia juga harus mampu berubah. unpad salah satu PT khsusnya kedokteran menjadi favorit bagi mahasiswa luar negeri.. namun untuk berobat masyarakat kita malah senang keluar..
    izin di share juga ke ayobai
    http://www.ayobai.com/berita.php?posts=316200
    terima kasih

    ReplyDelete