03 September 2009

PARADOK BULAN RAMADHAN

Nuansa Ramadhan memang khas. Masjid-masjid dan mushola yang biasanya sepi jamaah, mendadak hiruk pikuk. Sejak maghrib ketika pembagian takjil, saat tarawih, hingga tadarus Al Quran, yang atas nama bulan Ramadhan tiba-tiba merasa perlu disuarakan lewat corong pengeras suara. Mungkin untuk memperkuat kesan bahwa bulan ramadhan memang berbeda dari bulan-bulan lainnya. Walaupun, saat tadarus dikumandangkan, seketika itu pula volume televisi ikut kita naikkan. Tak hanya itu, semua yang berbau maksiat terpaksa dan dipaksa untuk rehat sejenak. Lokalisasi-prostitusi, ikut berpuasa meski untuk sementara waktu, anggaplah sebagai liburan. Pedagang minuman keras, yang konon menjadi pelengkap kemaksiatan, menyimpan rapat-rapat dagangannya. Diskotik dan tempat hiburan malam, mempersingkat jam tayang atau malah menutup diri, takut terkena gempur FPI.

Read More....



Di jalanan, pemandangan pun berubah. Warung-warung penjaja makanan yang umumnya ramai di pagi dan siang hari, tiba-tiba berubah sepi. Jalan-jalan yang biasanya macet dan semrawut saat jam makan siang, kini nampak lengang. Waktu keramaian bergeser dari malam hingga menjelang pagi, ketika jam sahur tiba. Justru para pendatang baru yang menghiasi siang dan sore hari. Mereka adalah para penjual melon, semangka, durian, mangga, dan buah-buahan lainnya yang hadir dan dalam waktu singkat membentuk deratan pasar dadakan. Kebanyakan mereka datang dari kota-kota satelit atau dari desa-desa tetangga. Sama seperti penjual bendera ketika momen Agustusan. Persis saat itu juga, dengan modus yang sama, rombongan pengemis nampak berlipat ganda jumlahnya dari hari-hari biasa. Praktis, trotoar pejalan kaki pun tak tersisa lagi. Tapi tak ada yang resah. Semua orang terlanjur larut dalam kegembiraan. Apalagi ketika melihat banyak pedagang dengan aneka rupa barang jajanannya. Ada ketenangan batin karena semakin banyak pilihan untuk berbuka puasa dan tentu saja banyak target untuk bersedekah di bulan suci ini.

Masih di jalanan, etalase pasar dadakan dan pengemis di atas, ternyata mampu menyedot perhatian para muda-mudi, orang tua, maupun anak-anak untuk menyerbu dan mendeklarasikan sebuah ritual bersama yang disebut Ngabuburit. Menjadi suatu legitimasi yang pas buat mereka yang sedang berpacaran untuk khusyuk menikmati suasana sore ramadhan yang romantis itu. Meskipun, kehadiran bulan ramadhan justru seharusnya membuat mereka menjadi lebih mampu menahan diri. Tak apalah jika mereka bisa bersikap sopan, berpenampilan mengesankan, dan berkendara motor dengan santun, sehingga tidak melunturkan kesejukan ramadhan. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, melihat penampilan seksi para jamaah ngabuburit itu mungkin membuat sebagian orang merasa puasanya tidak sempurna. Atau melihat mereka ugal-ugalan dalam momotoran, membuat macet, dan bersenandung seenaknya lewat suara bingar knalpot, membuat yang berpuasa harus menutup telinga dan mengelus dada menahan marah. Benar-benar batu ujian bagi yang berpuasa.

Geliat khas Ramadhan tidak hanya terjadi di jalanan. Di mall-mall dan pertokoan, gairah ikut meramaikan bulan suci juga menghebohkan. Mulai dari diskon besar-besaran, cuci gudang, banting harga hingga harga bantingan, menjadi headline etalase toko. Produk buruan utamanya adalah pakaian. Tentu saja ini terkait dengan antiklimaks dari bulan Ramadhan nanti adalah Lebaran atau Idul Fitri. Saat dimana setiap umat muslim yang sukses menjalankan ibadah puasanya kembali menjadi bersih laksana bayi yang baru lahir. Sayangnya, simbolisasi kesucian itu adalah baju baru, sepatu baru, cat tembok baru, dan barang serba baru lainnya. Meskipun tidak sepenuhnya salah, akan tetapi konsumerisme di bulan ramadhan dan lebaran, seolah mengurangi makna agung bulan suci yang mengandung spirit keprihatinan. “Ibadah puasa adalah satu-satunya ibadah untuk Tuhan”, begitu kata ustadz. Akan tetapi kita, umat muslim, telah menjadikan bulan milik Tuhan ini sebagai sebuah selebrasi yang memuaskan dahaga konsumsi belaka. Lalu, dimana letak keprihatinan itu?

Salah satu bentuk keprihatinan yang diharapkan dari datangnya bulan ramadhan adalah terbangunnya empati kita terhadap sesama yang kurang beruntung. Dari situ lahir tindakan-tindakan yang mencerminkan kesalehan sosial kita sebagai umat ber-Tuhan. Buka bersama dan sahur bersama, mungkin menjadi perekat kembali kehangatan keluarga yang selama ini tercerai-berai akibat rutinitas dan kesibukan. Maka alangkah indahnya, jika momentum Ramdhan ini bisa dioptimalkan menjadi kekuatan untuk mengkaitkan kembali hubungan-hubungan sosial yang selama ini renggang dan terhalang. Si kaya duduk bersama dan berbagi dengan si miskin. Bersua dan bersilaturahmi kembali dengan tetangga. Para atasan ikut turun merasakan keprihatinan bawahannya. Akhirnya, motto “mumpung Ramadhan dan Lebaran kita belanja diskon besar-besaran” sedikit dmi sedikit harus dirubah menjadi “ajang prihatin dalam-dalam, mengencangkan ikat pinggang agar bisa berbagi dengan sesama yang membutuhkan”, mumpung masih Ramadhan.

Semoga Ramadhan tahun ini jauh lebih bermakna dari bulan-bulan sebelumnya.

1 comment: