10 December 2009

Bud, Kamu Dimana?


Perawakan yang kurus itu dibalut dengan kulit hitam, mendekati legam, membuatnya tampak berbeda diantara temanku lainnya. Kebiasaannya yang paling kuingat adalah hobinya mengemut batang korek api. Kadang-kadang, batang korek api itu dimain-mainkannya. Sebentar di dalam mulut, sebentar kemudian dikeluarkan lagi. Sepertinya dia sangat terinspirasi dengan akting bintang film mandarin kala itu, yang sambil berjudi mereka memainkan batang korek api di mulutnya. Budiono, nama teman sebangkuku ini.

Dengan postur yang tidak terlalu tinggi, rambut pendek namun tebal, dan – maaf – bekas kudis yang menandai beberapa bagian tubuhnya, sungguh tidak memperlihatkan bahwa dia adalah orang yang berpunya. Dan memang demikian kenyataannya. Sekali-kalinya kulihat budiono membawa tas ke sekolah itu pun bukan tas yang bagus, kalau tidak dibilang bekas. Tas satu tali warna biru jeans yang sudah mbulak (luntur dan berwarna keputih-putihan). Jika kita menaruh bolpoint di dalam tas itu, kemungkinan besar akan hilang terjatuh, karena kedua ujung bawah tasnya itu sudah jebol. Lebih sering dia hanya membawa satu atau dua buku tulis yang diselipkannya ke celana bagian belakang. Kadang-kadang, jika dia membawa tas keresek ke sekolah, itu tandanya ia sedang membawa buku yang lumayan banyak. Bukan karena dia bergaya, tapi sungguh temanku ini orang yang tak berpunya.



Meskipun dengan kecerdasan yang rata-rata, temanku yang yatim ini setidaknya memiliki dua kelebihan yang sepengetahuanku tidak dimiliki oleh teman satu SMP ku saat itu. Pertama adalah senyumannya yang luar biasa manis. Nampak sangat pas dengan warna kulitnya. Mungkin karena dibalut dengan ketulusan hati yang terbilang luar biasa untuk anak seusianya. Ditambah dengan pancaran kesabaran yang baru kusadari bahwa setelah masa itu aku belum menemukan senyuman semacam itu lagi. Bagaimana tidak sabar, dia harus melewati hari-hari yang berat untuk seorang anak bau kencur. Sepulang sekolah, dia akan pergi ke lapangan tenis. Untuk menyambung hidup dan membantu ibunya yang hanya berjualan es lilin titipan tetangga, dia menjadi pengambil bola di lapangan tenis. Dari pekerjaan itu, budiono punya banyak teman, mulai dari sesama pengambil bola hingga para pelanggan lapangan tenis yang rata-rata adalah orang kaya. Kadang-kadang, orang kaya yang berbaik hati itu memberikan uang tip yang cukup lumayan untuknya.

Akan tetapi, tidak setiap saat pekerjaan itu dilakukannya, karena harus bergantian dengan teman lainnya. Sebagai tambahan, pada musim kemarau dengan angin yang cukup kencang, dia akan memulai pekerjaan barunya sebagai pembuat layang-layang. Kadang dia menunggu lama di pinggir lapangan bola, tempat orang ramai bermain dan beradu layang-layang, menunggu kalau-kalau ada layang-layang yang putus. “Crash”. Begitu tampak ada layang-layang putus, sontak dia akan mengejarnya hingga dapat. Berlari menyusuri sawah, gang-gang kampung, menyeberangi sungai, melompati pagar rumah orang, hingga dimaki orang karena sembarangan masuk pekarangan, menjadi cerita yang seru esok paginya di sekolah.

Jika musim hujan tiba, rasanya menjadi musim yang cukup menyedihkan baginya. Dapat dipastikan rumah kecil reot yang ditinggalinya bersama ibu, adik, dan neneknya akan kebanjiran karena air yang masuk lewat atap rumah yang bocor itu. Sebenarnya lebih tepat jika disebut sebagai gubuk daripada rumah. Sekali aku pernah datang ke gubuk itu, sungguh tak terbayangkan keadaannya olehku. Jika dibandingkan dengan tetangga kanan kirinya, rumah budiono adalah yang paling memprihatinkan. Saat aku menatapnya dengan badan tegak, rumah itu miring ke kanan. Dindingnya yang terbuat dari anyaman bambu, sebelah kanan diganjal oleh tiga buah bambu agar tidak ambruk. Saat musim itu pula, dia akan jarang masuk sekolah. Maklum, seragamnya yang cuma satu stel tidak kering, sepatunya juga, dan dia akan memilih berburu keong atau bekicot sebagai makanan favorit dikala sempit rejeki.

Terkadang, ibunya yang ditinggal pergi oleh suaminya itu, pergi ke daerah lain untuk menjadi pembantu rumah tangga. Tak lain agar budiono bisa terus sekolah dan bisa memperbaiki nasib keluarganya kelak. Seandainya saja budiono tidak diterima di sekolah favorit dan terbaik di kota ini, mungkin ia sudah drop out dari kemarin. Ada kebanggaan tersendiri yang membuatnya bertahan. Kesabaran dan senyum tulusnya tatkala ditempa dengan berbagai kekurangan itu sering tertumpahkan dalam doa-doanya di gereja. Teman-teman muslimku manganggapnya “seorang miskin yang akhirnya terjebak masuk ke agama kristen”. Sungguh anggapan yang sangat picik. Sepertinya iman seseorang bisa terbeli oleh sebungkus mie instan dan sekilo beras. Tapi, saat-saat tertentu ketika dia bilang gereja sering membantunya, memberikan banyak hadiah ketika natal dan tempat berteduh yang gratis untuknya, membuatku juga sering berprasangka seperti yang lainnya. Baru belakangan kusadari, mereka yang sering bilang seperti itu, sungguh tidak pernah memberikan apapun untuk membantu budiono, termasuk aku, teman sebangkunya. Tetapi budiono tetap mempersembahkan senyum terbaiknya untuk orang lain. Mungkin itulah yang disebut kasih.

Kelebihannya yang kedua adalah bakat menggambarnya yang fantastik. Tatkala guru sibuk mengajar di kelas, sering kulihat budiono tidak terlalu memperhatikannya. Dia lebih sibuk mencoret-coretkan pensil ditangannya ke pojok bawah buku paket yang dipegangnya. Dia akan menggambar sesuatu dalam ukuran kecil-kecil, di samping nomor halaman buku itu. Setelah pelajaran selesai, sekitar 1,5 jam, dia juga telah merampungkan setengah buku. Lalu ditunjukkannya padaku mahakaryanya itu. Sungguh terhenyak aku waktu itu. Apa yang dari tadi ia lakukan ternyata adalah membuat cerita bergambar yang bergerak seperti animasi. Cara melihatnya adalah dengan membuka lembaran buku yang berisi gambar itu dengan cepat, sehingga terlihat seperti kita sedang menonton film kartun. Sungguh jenius! Bagi kami di sekolah itu, budiono adalah pembuat trend membuat cerita bergambar di pojok buku. Dia adalah pemegang paten untuk itu.

Dia juga tidak hanya bisa membuat cergam kecil-kecilan, tapi dia adalah pencipta karakter kartun yang tidak ada duanya di sekolah kala itu. Budiono bisa menggambar tokoh kartun yang ada dengan persis, mulai dari para tokoh Dragon Ball, sinchan, doraemon, hingga tokoh-tokoh di game nitendo dan ding dong. Dia juga beberapa kali menunjukkan komik buatannya, sungguh memukau, menghibur, dan yang pasti genuin. Saat itu dia bilang ingin menjadi seorang kartunis kelak. Aku hanya mengulum senyum, tidak tahu harus berkata apa atas mimpinya itu

Sekarang, sudah hampir 11 tahun aku tidak lagi mendengar kabarnya, tidak lagi bertemu muka, dan tidak lagi tahu karakter kartun seperti apa yang terakhir dia gambar? Mungkin kini budiono telah menjadi orang sukses, itu harapanku. Tetapi mungkin juga dia belum beranjak dari keterhimpitan nasibnya. Mungkin dia telah melupakan mimpinya menjadi kartunis karena menjadi tukang parkir lebih realistis untuknya, seperti ketika terakhir kulihat dia menata parkir di stadion dekat rumah gubuknya. Atau dia tidak beruntung bertemu orang kaya baik hati yang lantas mengentaskan ia dan keluarganya dari jurang kemiskinan. Mungkin, segalanya mungkin terjadi dalam sebelas tahun. Tetapi kemungkinan yang paling terlambat adalah simpatiku yang lantas tidak berbuah menjadi empati dan tindakan nyata yang bisa membantu mengubah arah hidupnya. Ya, mungkin memang kala itu aku belum dewasa dan sama-sama tidak punya apa-apa. Belum mengerti arti pentingnya uluran kita bagi orang lain. Tetapi setidaknya aku bisa memberikannya motivasi dan dorongan positif dan mengatakan padanya bahwa ia tidak sendirian, ada aku teman sebangkunya. Ternyata aku lebih banyak diam dan pura-pura tidak melihat itu semua.

Bisa jadi itu salah. Bukan karena aku belum dewasa. Sebab, semakin aku menginjak dewasa, makin sering pula aku melihat orang dewasa jauh lebih susah untuk mengulurkan tangannya. Sepertinya ketika kita tumbuh dewasa, kita diajari untuk mendahulukan apa yang harus kita punya, bukan mengutamakan apa yang orang lain butuhkan. Budiono yang aku kenal tidak pernah mengeluh karena orang lain tidak membantunya. Aku tak tahu ada dimana dia sekarang. Aku masih ingin sekali lagi bertemu dengannya, berharap bisa melihat kembali senyum dan cerita bergambar yang luar biasa itu.

Mungkin, Budiono-budiono yang lain saat ini berada di sekitar anda. Jangan tunggu lagi, bergegaslah untuk mengulurkan tangan Anda dan belajarlah darinya tentang arti kehidupan.

No comments:

Post a Comment